A Very Bad Night in Tangkahan

Beberapa waktu lalu, saat Wishnutama release video di platform Instagramnya, video lima menit yang membuat saya melotot itu berjudul, “The Heart of Toba”. Video itu membuat saya berpikir, back in years when I lived more than 4 years in Medan, kemanaaa aja aiiiing? Dah nonton belom? Ada yang reshare di Youtube kok.
Termasuk Tangkahan.
4 Desember 2020 malam, pesawat saya disambut gerimis di Bandara Kualanamu. Hampir semua starting point setiap cerita di blog saya dimulai di sini. Kali ini sebuah cerita pun dimulai di bandara ini. Nggak terlalu lama saya menunggu di area pick up, Andri dan Bang Asta datang jemput saya. Ah, dua kawan ini terakhir ketemu di BTS Ultra, November 2019 lalu. Selain Andri dan Bang Asta, ada Bang Goklas yang nanti bakal nemenin saya mengisi hari libur Pilkada tanggal 9 Desember nanti. Maaf ya weei, gara-gara awak kita nggak ikut coblosan.
Ada yang berbeda dari cara jalan saya hari itu. Mirip kodok lagi jalan. Lah? Kodok kan lompat bro? Yah, bayangin aja kalo kodok yang biasanya lompat, terus dia jalan. Dah kayak gitu lah jalanku kalo habis duduk lama. HNP saya kumat! Awal mula HNP saya ini udah saya ceritain lengkap di postingan saya tentang CTC Ultra yes. Nyeri yang menjalar dari pinggang bagian bawah, apalagi setelah duduk lama lalu dipake buat berdiri.
Kondisi saya ini akhirnya mencoret rencana awal kami: Hiking ke Gunung Sibuatan. Pun juga mencoret rencana cadangan kami: ngetrail ke Gunung Sibayak. Yaa, gimana mau hiking apa ngetrail kalau untuk jalan aja masih aduhai.
Sesaat sebelum saya sampai di Medan, beberapa group WA keluarga sudah beberapa kali ngeshare foto dan video kondisi Medan yang banjir paraaah. Karena memang curah hujan yang sedang tinggi-tingginya, ditambah ada tanggul di Berastagi yang jebol.
Lagi-lagi, mencoret cadangan rencana berikutnya, cari tempat camping di sekitaran Berastagi. Dan akhirnya, kami memilih Tangkahan.
Ada apa di Tangkahan? Tangkahan adalah kawasan ekowisata di area Taman Nasional Gunung Leuser di Kabupaten Langkat. Jaraknya 97 KM dari kota Medan. Area hutan Tangkahan berisi perbukitan yang ditumbuhi hutan hujan tropis. Walaupun ketika perjalanan ke sana, kami lebih banyak ditemani lahan kelapa sawit. Mungkin karena baru di pinggir-pinggir area Tangkahannya aja kali ya?
Area yang bisa diexplore di Tangkahan ada beberapa sungai, sumber air panas, gua, lembah, dan air terjun. Banyak juga ya? Karena memang ternyata kalo ke Tangkahan beneran nggak cukup sehari!
Tangkahan juga tempat konservasi bagi gajah. Ada setidaknya delapan gajah dewasa dan beberapa gajah remaja dan balita. (Bener nggak sih? Soal jumlah saya kurang yakin) Pada intinyaaa, kami pingin ketemu gajah yang hidup beseberangan dengan alam liaaar. Bukan yang dikerangkeng atau diikat.
Foto lama dari gallery Bang Goklas.
Saya dan Andri nungguin Bang Goklas sampai beberapa kali tertidur. Kami berencana memulai perjalanan jam 10 malam. Tapi sudah hampir jam 11, Bang Goklas belum juga datang. Jam 11 lebih, baru Bang Goklas dengan motor Nmaxnya sampai di rumah Andri. Terpaksa selimut tebal yang kelewat nyaman, dan kasur empuk dipadu dengan dingin AC harus saya tinggalkan. Bang Goklas beneran memutus perjalanan saya menuju alam mimpi yang tinggal selangkah lagi.
Dari rumah Andri, kami bertiga jemput Bang Asta dulu, baru kemudian kami berangkat menuju Tangkahan hampir jam 1 pagi. Kami reserve satu malam di penginepan. Harusnya sih enaknya kalo kami berangkat siang apa sore gitu ya, jadi bisa santai-santai dulu di penginepan.
Saya sengaja duduk di sebelah Andri. Karena orang-orang di belakang keliatan udah kelewat ngantuk. Sementara saya sendiri sangat jarang ketiduran. Jadi kawan ngobrol Om Supir. Walaupun sepanjang 3 jam perjalanan mata udah kerasa sepet banget. Sekilas teringat enaknya tidur di kasur empuk dan selimut tebal di kamar si Andri.

Dari jalan yang awalnya aspal muluuus, keluar dari Medan, masuk ke Binjai, ngelewatin Stabat, sampai akhirnya tiba di persimpangan yang memisahkan CR-V hitam ini dengan aspal mulus. Jalanan berganti menjadi tanah berbatu, sesekali ketemu lubang-lubang berisi kubangan air. Saya mendongak ke langit, bersyukur cuaca sedang lumayan baik. Nggak hujan meskipun mendung.
Bang Goklas sudah lama nggak ada suaranya. Bang Asta sesekali ngecek jalan, atau menjawab setengah sadar pas si Andri nanya jalan. Selain itu, si Andri hanya ditemenin saya, google maps, dan lagu-lagu dari stasiun radio terdekat yang mulai kemresek.
Di sebuah persimpangan, Andri mengambil jalan ke kanan sesuai dengan petunjuk Mbak-Mbak Google Maps. Tepat di tengah persimpangan saya melihat petunjuk arah ke kiri. Saya yang nggak pake kaca mata, membaca sekilas petunjuk arah itu. Oh petunjuk arah evakuasi.
“Going straight.”
“Turn left.”
“Turn right.”
Teruuus saja di tengah hutan sawit, suara Mbak Google ini memandu Andri. Hanya diterangi lampu mobil, jalanan semakin rusak membuat saya harus meringis menahan sakit pinggang setiap mobil bergeronjal.
“Wei, ini kekmana lah ya?”
Mobil Andri berhenti. Saya yang dari tadi nemenin Andri ngobrol sambil merem-merem, memicingkan mata. Jalanan rusak parah, bercampur becek menghadang. Bang Goklas dan Bang Asta di belakang mulai ikut berkomentar.
“Ini bisa Ndri lewat sana, kau ginikan.”
“Bisa itu Ndri ambil yang jalan lebih padat, kau gitukan.”
Saya diem aja, mulai deg-degan ketika mobil Andri mulai melaju pelan. Mencoba mencari jalanan yang lebih padat. Setiap kali roda ban masuk ke kubangan, suasana mobil semakin hening, saya komat-kamit baca doa dalam hati. Namun, Andri selalu berhasil membebaskan kami dari ranjau-ranjau lumpur. Lintasan sekitar 10 meter ini dengan mudah kami lewati.
Satu hal yang saat itu belum saya sadari: Kami ternyata sedang berada di game balapan yang setiap area lumpor punya tingkatan level yang berbeda.
Level 1 Complete! Get ready for the next level.
Merasa cobaan hanya ada di level 1 yang easy, kami ketawa-ketiwi merasa ploooong mobil aman nggak pake acara nyungsep di lumpur. Dah nggak ngantuk lagi, perjalanan pun berlanjut dengan meriah ditemenin aba-aba instruksi dari Mbak Gugel. Tuk wak tuk wak tuk wak.
Andri menginjak rem lagi.
“Woy, ini kekmana? Makin parah ini jalannya berlumpur.”
Kali ini kami bertiga diam. Jalanan rusak bekas jalanan basah lalu digilas truk-truk besar panen kelapa sawit. Level 2 ternyata lebih susah. Kubangan lebih banyak. Bang Asta dan Bang Goklas akhirnya turun. Mencoba memastikan jalan yang paling padat agar mobil kami bisa lewat.
Saya akhirnya ikut turun juga, lebih ke penasaran aja sih sebenernya. Dan biar ngurangin beban mobil pas ngelewatin arena lumpor level 2.
Nyuut. Nyuut. Nyuut. Saking sakitnya pinggang pas saya pake buat berdiri, saya harus pegangan handle hand grip pas kedua kaki saya lurusin. Ada sekitar 2 menit saya posisi bergelantungan, sampai lama kelamaan sakit pinggang berkurang, dan kedua kaki bisa kuat menopang badan.
Begitu kaki saya mendarat, plop! Lumpur langsung merendam sendal baru saya. Baru cuuy! Baru beli begitu sampai di Medan. Meskipun merknya Indomaret 40 ribuan. Untunglah nggak jadi beli yang gambar gajah 120 ribuan.
Photo taken by: @andrisatriaa
Mobil Andri mulai berjalan pelan, dipandu Bang Asta dari depan, goyang ke kanan, goyang ke kiri. Setiap bergeronjal ikut jantungan juga, ndorong nggak nih, ndorong nggak nih.
Level 2 pun complete!
Setelah melewati level 2, saya baru sadar. Nggak mungkin cuma ada dua level rintangan kami. Mulai kepikiran kalau kami nekat, gimana pulangnya? Kalo pas kami sampai di tempat konservasi gajah nanti, terus hujan, yakin deh ini jalanan lumpor biarpun udah dilewatin nanti levelnya berubah jadi hard semua.
Tapi saya diem aja, dibatin aja dalam hati. Wan kawan ini masih semangat nemenin saya ke Tangkahan, masa malah saya yang minta abort mission. Jadi, mari kita melanjutkan permainan ini.
Meski bergeronjal, jalanan kini sudah cukup padat, mobil kami bisa berjalanan meskipun pelan. Sampai kemudian kami bertemu dengan Level 3.. yang.. sungguh.. meresahkan.
Photo taken by: @andrisatriaa
Level 3 terasa lebih panjaaang dan jauh lebih susah dari level 2 tadi. Ibaratnya kami harus upgrade mobil dulu biar jalanan berlumpor di depan kami bisa dilewatin. Becek parah. Saya, Bang Asta, dan Bang Goklas turun untuk cari pijakan yang padat, sekalian mengurangi beban mobil ketika level 3 dilewatin.
Beberapa kali kami mencoba mengarang skenario, tapi sepertinya level 3 sudah kelewat mustahil. Kami sepakat, level 3 terlalu difficult. Skenario terbaik adalah mencari jalur lain. Google maps kami zoom sana zoom sini, udah nggak lagi menghiraukan arahan dari Mbak google maps yang nyuruh kami puter balik karena salah jalur.
Ada pertigaan sebelum kami berjumpa dengan level 3. Kami memutuskan mencoba peruntungan untuk mengambil jalan putar. Lebih jauh memang, lebih meresehkan memang, karena baik Andri, Bang Asta, ataupun Bang Goklas yang sebelumnya sudah beberapa kali ke Tangkahan, nggak pernah ngelewatin jalur lain.
Jalur puter ini lebih sempit dari jalur suggestion dari google maps. Beberapa tanah becek, bisa kami lewatin dengan mudah, ada sebuah jembatan yang di sisi kanannya sudah langsung masuk ke parit, pelan-pelan si Andri mengendalikan mobil, dan terlewati. Meskipun saat ban depan sebelah kanan agak masuk ke dalam parit, mulut komat kamit berdoa jangan nyemplung… jangan nyemplung… jangan nyemplung.
Sampai kemudian Andri mengerem kembali mobilnya. Level baru menghadang di depan mata. Sepertinya tak lebih mudah dari level 3 tadi. Tapi kami tak punya pilihan selain mencoba level 2.5 ini, atau putar balik. Lagi-lagi saya, Bang Asta, dan Bang Goklas harus turun. Lagi-lagi, nyeri di pinggang terasa berdenyut setiap saya mencoba berdiri setelah lama duduk.
Photo taken by: @andrisatriaa
Setelah skenario melintasi level 2.5 disusun, Andri menjalankan mobilnya pelan, putar setir sana, putar setir sini, mencoba mencari pijakan yang paling padat, sampai kemudian SRUK! Ban belakang sebelah kanan masuk ke kubangan lumpur, beberapa kali digas, dan ban hanya muter-muter di tempat.
Yeaaa.. saatnya dorong-dorong. Sabar ya pinggang.
Dengan satu aba-aba dan kami bertiga mendorong CR-V hitam ini sampai terlepas dari kubangan. Daaaan level 2.5 accomplished!
Kami kembali masuk ke mobil. Dari perkiraan kami, masih sekitar 5-7 kilo lagi sampai kami tiba di penginapan. Nggak jauh dari level 2.5 tadi, kami ketemu dengan pemukiman. Waw, nggak nyangka sih. Ada pemukiman di tengah kebun kelapa sawit begini. Aksesnya aja susah banget.
Nggak jauh setelah ngelewatin pemukiman tadi, satu belokan lagi, dan kita akan kembali ke jalur utama yang diarahkan google maps. Jadi sebenernya kita muterin level 3 tadi. Dan di belokan ini…
Oh no… oh no… oh nonononono…
Jalanannya menanjak, dan penuh tanah nggak rata, bercampur dengan kubangan di sana sininya.
Ku ingin maraah…
Terpaksa kami turun kembali. Menyusun strategi kembali menghadapi level 2.7! Yang dengan sekilas saja udah keliatan kalo sebenernya level 2.7 ini jauh lebih susah dari pada level 3 tadi.
Photo taken by: @andrisatriaa
Strategi sudah oke, Bang Asta dan Bang Goklas sudah siap di depan kasih aba-aba. Saya pupuk bawang melipir aja di pinggir lintasan.
“Siap Ndri?”
Andri mulai ngegas pelan, mobil mulai berjalan pelan. Ban ia belok-belokkan agar nggak terperangkap ke kubangan.
“KIRI NDRI! Kiri!”
“Kanan Ndri! Kanan sikit.”
Baru sekitar 3 meter berjalan, dan SRUK!
Ban depan sebelah kiri nyungsep ke kubangan lumpor sodara sodara. Gas.. gas.. gas.. ban terus muter tapi posisi mobil sama sekali nggak bergerak.
Kembali kami ambil posisi dorong mobil. Kami dorong mobil sekuat tenaga, dan mobil ini bergerak memutar. Setelah terbebas dari kubangan, kami kembali masuk ke dalam mobil. Jalan menuju konservasi sudah di depan mata, kaki kami sudah kotor semua kerendam lumpor. Karpet dan jok mobil udah nggak keruan lagi kotornya. Kali ini Andri nyerah. Dah nggak mungkin lagi mobil kami ngelewatin level 2.7.
Mobil sengaja berhenti, posisi mobil sudah berbalik arah. Karena sangat nggak mungkin kami memaksa menerjang level 2.7.
Kami berunding.
“Aku dah nyerah wei. Nggak bisa ini kita lewat sini.” – Andri
“Yang aku takutin kalo nanti hujan. Jalan balik kita lebih payah nanti.” – Goklas
“Nah itu Bang Gok. Yang dari tadi aku takutin. Kalo sekarang kita maksa sampe Tangkahan, lalu hujan, makin nggak bisa ke mana-mana kita ini.” – Bardiq
“Tadi harusnya bisa itu kita lewatin, ada jalan yang padet bisa kok. Atau paling nggak kita nunggu agak terang, kita nitip mobil di rumah warga. Terus kita jalan kaki sampe konservasi. Paling 6 kiloan aja ini.” – Asta.
Kelihatan kan, dari empat orang ini, Bang Asta satu-satunya yang masih optimis dengan kondisi seperti ini. Sekali lagi, saya terbayang hangatnya selimut dan empuknya kasur di kamar dingin berAC si Andri.
Keputusan kami? Sepertinya memang paling bijak untuk istirahat dulu. Kami puter balik dan kembali ke pemukiman yang sempet tadi kami lewatin, walaupun dalem hati terbesit, “Pemukiman manusiaaaa kan iniii?” Nggak lucu jumpa begu ganjang di sini.
Pemukiman masih nampak sangat sepi, saya ngecek jam dan ternyata udah sekitar jam 4.30 pagi. Mobil menepi di dekat pohon besar nggak jauh dari sebuah bangunan yang nampak seperti kantor. Mesin dimatikan, beberapa kaca mobil kami buka setengah, jok saya turunkan sedikit tanpa mengganggu Bang Goklas di belakang saya. Kaki saya naik ke dasbor, posisi nekuk sana sini, entahlah kekmana bentuk tidur saya, pokoknya biar pinggang ini nggak terlalu nyut-nyutan.
Lagi, saya terbayang hangatnya selimut dan empuknya kasur di kamar dingin berAC si Andri.
Ngiiing.. ngiiing.. ngiiiing..
Percuma sih, saya nggak mungkin bisa tidur dengan kondisi seperti ini, mana ternyata banyak banget nyamuk. Nyoba mereeem aja, biar nggak terlalu pedes ini mata. Karena mengeluh tidak akan membantu.
Sayup sayup terdengar adzan subuh. Wah, ada mushola! “Sholat subuh yuk?”
Saya dan Andri turun dari mobil, nggak tau juga sih di mana musholanya, asal jalan aja dan nemu mushola nggak jauh dari mobil diparkir.
Kotor, air nggak nyala, untung ada ember besar isi air jernih. Nggak tau juga itu air PDAM, sumur atau malah air hujan. Kondisi di dalam mushola pun berdebu, hanya satu baris karpet dengan motif sajadah dibentang, sisanya digulung di sisi ujung mushola.
Saya sholat di dekat mimbar, dua rakaat yang terasa lamaaa, karena setiap gerakan, pinggang terasa nyut nyutan. Setelah selesai sholat, saatnya tidur! Ini sebenernya alasan utama saya ngajak sholat di mushola, biar bisa rebahan. Walaupun tidur dengan beralaskan karpet mushola yang berdebu, dan berbantalkan lantai mimbar.
Lagi, terbayang hangatnya selimut dan empuknya kasur di kamar dingin berAC si Andri.
“Bang, balik yo? Dah terang.”
Andri yang dari tadi tidur sambil nyender di dinding ngajak saya balik ke mobil. Ternyata saya ketiduran hampir sejam. Lumayan banget, mata nggak terlalu sepet, meskipun sebenernya pingin balik merem.
Setelah balik ke mobil, kami berunding. Di antara kami, masih Bang Asta seorang diri yang mencoba meyakinkan untuk lanjut sampai ke tempat konservasi. Masih jam 6.30 dan cuaca mulai mendung. Saya jauh lebih kepikiran perjalanan pulang kami nanti kalau ternyata hujan deras. Level permainan balapan bakal berubah jadi Very Hard. Sebetulnya semua terserah saya, tamu jauh yang belum tau kapan lagi bisa sampai sini. Sementara tempat konservasi gajah tinggal segas dua gas lagi.
“Balik aja lah yo kita ya? Aku takut malah terjebak pulak kita di sini kalo maksa lanjut.” Yaah, keputusanku yang berat. Tapi ya sudah, mungkin memang belum rezeki buat ketemu gajah-gajah di Tangkahan.
Photo taken by: @andrisatriaa
Perjalanan pulang kami pun ternyata tak mudah. Pas berangkat boleh lah saya nilai level setiap obstacle medium, eh entah kenapa pas pulang malah semakin susah. Setiap obstacle kami harus turun, lebih dari dua kali ban mobil nyungsep lumpor, dan harus dorong-dorong.
Photo taken by: @andrisatriaa
Bentuk mobil dah acak adut, mandi lumpor sana sini.
Photo taken by: @andrisatriaa
Dan setiap kami ketemu orang, selalu ditanya,
“Mau ke mana Bang?”
“Nyasar ya Bang?”
“Jangan lewat sini Bang.”
“Muter jalan depan aja Bang, dah dekat kok Bang.”
Sampai sudah jam 9 lebih, dan kami tiba di persimpangan jalan yang saat malam, saya membaca penunjuk arah evakuasi. Yang ternyataaaaaa…
Bukan arah evakuasi, tapi… “Ekowisata Tangkahan.”
Tapi keputusan kami untuk pulang sudah bulat. Kami berbelok ambil jalan pulang. Heniiing suasana di dalam mobil. Sampai Bang Asta nyeletuk, “Kayaknya tadi malem kita disasarain google maps deh. Nggak mau coba nanya orang? Gimana Bang Bardiq?”
Suasana di dalem mobil tetap hening.
Saya menjawab, “Gimana? Boleh deh coba nanya orang itu di depan.”
Mobil menepi, Andri turun. Ngobrol sebentar dengan seorang Bapak di pinggir jalan.
Dia balik ke mobil sambil ketawa-ketawa.
“Betol kan, disasarin google maps kita. Itu ngikutin aja penunjuk arah ke Tangkahan. Jalan dah bagus sampai Tangkahan.”
Sekali lagi, google maps nyasarin saya. Setelah pengalaman buruk di Banyuwangi tahun 2016 dulu.
Jadi gimana?
Tentu saja kita putar balik! Nggak jadi pulang Medan. Medan can wait, Tangkahan’s still waiting for us! So, this story doesn’t end here! 😉
Geng Lumpors.

16 thoughts on “A Very Bad Night in Tangkahan

      1. Lebih buruknya lagi malah aku yg ngga bisa baca peta, hiks! Aku sllu mengandalkan GPS (guide penduduk setempat) aja hahaa.
        Pernah sih tp ngga buruk2 amat cm mentok di gg buntu doang 😆😆

        Liked by 1 person

      2. Hahahaha. Iya banyak yang sering begitu Mbak. Tinggal ngikutin panah juga sebenernya.
        Aku malah sering bingung kalo ngikutin petunjuk warga sekitar, apalagi kalo di daerah Jogja sekitarnya sini, nunjukinnya pake arah mata angin. Alhasil kalo nanya orang, tiap belokan nanya lagi. 😀

        Liked by 1 person

  1. Saking banyaknya setan di bumi nusantara, sampe susah ngehapalnya (untung gak ada tesnya macam ngapalin nama-nama menteri zaman orde baru). Tadi abis googling soal begu ganjang dan… serem juga (ya kalau lucu bukan setan atuh bang!)

    Ngeliat jalannya ini persis juga jalanan menuju Bayung Lencir, arah Jambi sana. Dulu kalau mau ke dusun Bayat (tempat keluarga besar dari sebelah ayah) jalannya ya begini. Tak jarang mobil harus ditinggalin aja dan jalan kaki ke arah dusunnya hahaha.

    Seru amat mas. Tapi jadi nano-nano dikarenakan NHP ya. Ditunggu kelanjutan kisah ke Tangkahannya.

    Liked by 1 person

    1. Ya ampun, ini komen dari blogger panutan aing baru dilike doang ternyata. Maafkan aku Mas Yayan. 😀

      Aku juga baru tahu si begu ganjang ini dari temen yang orang Batak, awalnya denger cerita dia agak ‘wagu’ Mas. Kok kayak nggak serem, tapi pas googling ya mohon maaf ngacir juga kalo ketemu.

      Aku dah bisa ngebayanginnya betapa malesnya kalo diajak ke sana Mas. Huhuhu, maklum aku anaknya paling males kalo disuruh ikut ‘ujung’ pas lebaran.
      Eh kalo di tempat Mas Yayan, istilahnya ‘ujung’ juga kah?

      Lebih ke sedih sebenernya Mas. Hahahaha. Tapi ya sudah, alhamdulillah masih bisa diajak jalan nih pinggang. Nggak cuma tiduran di rumah temen. 😀

      Like

  2. Hahahahahah ya Allah perjuangannya beraaat ya mas :D.

    Ini rutenya ingetin aku pas ke Sibolga, cari jalan pintas, nemunya lumpur gini :p. Nasib pake family car, ga sanggub dia ngelewatin.

    GMaps itu yaa kdg2 kalo udah luar kota apalagi masuk pedalaman lgs ragu2 aku. Udh sering disasarin Ama dia kalo kami jalan di area kampung ato yg blusuk2lah :p. Kalo masih di kot besar , gpp bisa diandelin :D.

    Tapi untungnya Nemu rute yg bener mas :D. Iyalaah rugi ga lanjutin kalo udh tau jalannya. Aku baca percakapan di atas, kangen juga Ama logat2 Medan itu :D. Udh lama kali ga balik lah

    Liked by 1 person

    1. Huhuhuhu.. mana semalaman lagi itu kesasarnya Mbak. Kalo siang mah kesasar masih bisa sambil lihat jalan, bakal ketemu banyak orang juga. Ini sampe lokasi kesasar dah dini hari. 😀

      Wah seruuu sampe Sibolga. Kadang kepikiran empat tahun tinggal di Medan kok ya nggak roadtrip keliling Sumut apa nembus ke Aceh sekalian. 😦

      Iya beneeer. Padahal ini tiga orang temen juga udah ke Tangkahan beberapa kali, dan ternyata mereka nggak sadar kalo selama ini mereka disasarin. Hahahahaha.

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.