Kashmir to Ladakh: Day 8, “The Tso Moriri Seekers”

28 September 2017 – Leh, Chumathang, Kyagar Tso, Karzok
Hari kedelapan kami di Ladakh, kami berkumpul dengan para petualang. Mereka travelers dari beberapa negara, yang dipertemukan oleh Ancient Tracks dan telah saling committed membuat geng untuk menuju Tso Moriri, kami adalah The Tso Moriri Seekers.
Ikhanul Irfan. Ikhsanul adalah travel mate saya dari Indonesia. Teman dari kuliah yang sama-sama hobby traveling dan lari. Sepanjang kuliah sebenernya kami malah jarang kemana-mana bareng. Trip pertama bareng karena sama-sama nganggur setelah kuliah dan nggak ada kerjaan. Saya ngajak temen-temen buat gabung open trip ke Karimun Jawa. Ikhsanul menyambut ajakan saya, 2013 kami menuju Karimun Jawa dan dilanjut hiking ke puncak Sikunir di Dieng. Masih inget tuh, habis tiga hari digosongin snorkeling sana sini, main-main di pantai, hari berikutnya langsung lanjut hiking dengan suhu satu-digit derajat celcius. Bentukan saya beneran ancur dah. Saat trip ke Ladakh ini saya dan Ikhsanul dari dua kota yang berbeda. Saya dari Medan dan Ikhsanul dari Semarang. Tapi saat tulisan ini dibuat, saya sudah pindah dinas ke Semarang. Jadilah saya satu kantor sama Ikhsanul. Looking forward to more trips, buddy?
“We’ll pick you up at the pool near your hotel, at EIGHT STRAIGHT“, begitu kata Kesang saat malam sebelum trip ke Tso Moriri. Jadi setelah beberes dan perpisahan dengan Silver Line, penginapan yang sederhana tapi nyaman banget, kami bergegas menuju kolam yang dimaksud. Hanya sekitar 15 meter dari penginapan kami. Nggak ada satu menit kami nunggu di kolam, mobil yang menjemput kami datang. Saat kami naik ke dalam mobil, sudah ada Stanzin dan Frans.
Stanzin. Stanzin adalah driver untuk trip kami ke Tso Moriri, berbeda dengan driver kami di trip sebelumnya, Gyal, yang pendiem, Stanzin adalah lelaki Ladakhi yang super kocak. Yes, he is funny. Dari awal ketemu udah sering ngajak ngobrol dan ngelawak. Ketawanya lucu, dan paling seneng kalo ngisengin Claire.
Francisco. Frans, the Spanish Guywhich I don’t recall his last name. Frans adalah turis yang berasal dari kota Santa Cruz de Tenerife. Baru denger? Yak sama. Kalo kamu search di google map, lokasinya bukan ada di satu daratan dengan Madrid dan Barcelona. Tapi kepulauan Canary di sebelah barat Morocco. Yang mana kalo kemana-mana harus transit dulu di Madrid. Frans solo traveler ke Ladakh dan sudah menghabiskan lima hari di Ladakh sebelum perjalanan ke Tso Moriri. Dia adalah salah satu penyelamat dari trip Tso Moriri buat ngebagi cost traveling. Yang saya suka dari Frans, dia tepat waktu dan jadi orang yang ngeburu-burin trip kalo anak-anak geng lain terlalu nyantae. Frans pertama kali ketemu saya langsung menunjuk saya dan dengan sangat yakin bertanya, “Japanese?No! Saya beberapa kali dikira orang Asia Timur, biasaya dikira Chinese dan baru kali ini dikira Japanese. Dulu sempet pas di Macau mau ngantre mau naik ferry nyebrang ke Hong Kong, tiba-tiba datang cewek seumuran saya nanya panjang lebar luas alas dan volume, tapi pakai bahasa mandarin. Hmpph.
Setelah menaruh barang-barang bawaan di bagasi, saya duduk di kursi tengah dengan Ikhsanul karena kursi depan sudah dipakai Frans. Dan belum ada Claire di sini. Pas kami tanya ke Stanzin, memang pas mereka berangkat dari Ancient Tracks, Claire belum datang. Jadi kami memutuskan untuk menunggu Claire di kantor Ancient Tracks. Lumayan lama kami menunggu Claire, sekitar 15 menitan baru dia muncul dengan celana belelnya.
Claire Narraway. Claire, the British Girl, si pecinta butter tea – si wanita pemburu ‘burung’. Cerita tentang kenapa saya bilang Claire si wanita pemburu ‘burung’, saya ceritakan di cerita hari kesembilan ya. Claire yang berasal dari UK (dan menolak menyebutkan UKnya sebelah mana), udah duluan muter-muter di Ladakh dua bulan sebelum kami sampai. Tujuan utama Claire ikut trip kami justru malah bukan ke Tso Moriri, tapi sebuah danau yang jaraknya hampir 80 kilo dari Tso Moriri, Tso Kar. Sebenernya saya agak bingung dengan peletakan kata ‘Tso’. Tso dalam Ladakhi berarti danau, tapi saya bingung juga tuh untuk peletakannya: antara diterangkan sama menerangkannya. Kadang di depan kayak Tso Moriri dan Tso Kar. Kadang juga di belakang kayak Pangong Tso dan Kyagar Tso. Ini pelajaran Bahasa Indonesia kelas berapa ya?
Dengan berkumpulnya Claire, lengkap sudah geng The Tso Moriri Seekers untuk memulai perjalanan. Tapi, entah kenapa si Stanzin nggak juga menjalankan mobilnya. Malahan dia turun dari mobil dan berjalan menuju kantor Ancient Tracks, padahal kantor Ancient Tracks juga masih tutup jam segitu. Saya melongok dari jendela belakang, saya lihat di depan kantor Ancient Tracks ada satu orang laki-laki berdiri. Stanzin ngobrol sebentar dengan dia, lalu mereka berdua datang menghampiri mobil kami. Stanzin bilang kalo geng kami ketambahan satu orang lagi, kali ini turis asal Jepang, Hayato. Saya langsung bilang sama Frans, “Frans, this guy is Japanese. I am not.” Frans hanya membalas dengan ketawa receh.
Hayato Kitatani. Hayato (yang saat dia sebut selalu terdengar Hyato), the Japanese Kid, adalah mahasiswa asal Kyoto yang sedang ada proyek selama tiga bulan India – yang saya lupa nama kampusnya. Hayato paling muda di antara kami, masih 21 tahun dan pergi ke Ladakh untuk menghabiskan weekend, mumpung libur tiga hari katanya. Dia berencana untuk mengunjungi Pangong Tso saja, sebelum hari Sabtu pagi kembali ke Mumbai. Seperti yang saya ceritakan di tulisan saya tentang transportasi selama saya di India, dia pun kesulitan untuk menuju Pangong Tso. Dan akhirnya terdampar juga di Ancient Tracks malam sebelumnya. Sayangnya, tidak ada trip ke Pangong Tso hari itu, trip dua hari satu malam yang available cuma trip kami ke Tso Moriri. Terpaksalah dia bergabung dengan geng kami. Hayato baru sampai di Leh sore hari (atau siang?) sebelum keberangkatan. Hal ini juga yang bikin saya khawatir dia kena AMS (please, be careful with AMS. Read my post about AMS here). “Hayato, are you okay? Are you acclimatized already?” Dan dia jawab, dia baik baik saja. Karena dia anggota geng kami yang paling baru, jadi dia duduk di belakang, di samping tumpukan ransel bawaan kami.
Tips untuk teman teman pembaca budiman sekalian, kalo memang kepikiran untuk trip dua hari satu malem dan berencana cuma ke Pangong Tso. Lebih baik digeser ke Tso Moriri. Tso Moriri deserves your visit more. Sebagai pertimbangan aja nih, kalau dari Leh, Tso Moriri lebih jauh dari pada ke Pangong Tso. Tapi kalau memang ngejar Pangong Tso, ada baiknya digabung dengan trip lain ke Nubra Valley atau seperti saya misalnya, tiga hari dua malam, Turtuk-Nubra Valley-Pangong Tso. Atau yang lebih seru lagi: Leh-Turtuk-Nubra Valley-Pangong Tso-Tso Moriri-Leh. Trip empat hari-tiga malem!
Hampir pukul 9 dan akhirnya kami berangkat menuju Tso Moriri, tepatnya menuju desa Karzok. Saat pertama kami naik mobil, Claire tanya saya, apa saya bawa earphone. Dia bilang saya wajib pakai dan setel musik sendiri, karena Stanzin’s music taste is so awful. Mobil berjalan dan Stanzin mulai memainkan musiknya. Not so bad sih menurut saya, campuran antara lagu-lagu Hindi, Ladakhi, EDM, Pop, dan yang paling menjengkelkan: musik house semacam lagu-lagu dangdut pantura yang di translate ke bahasa Inggris. Seenggaknya ada lagu-lagu EDM dan Pop yang saya ngerti. Kalo Gyal, sepanjang jalan lagu Hindi dan Ladakhi terooos. Baru beberapa jam terakhir Rina yang nemu kabel Aux dan minta HP saya buat dicolok. Ingat Rina kan ya? Yang mau nostalgia sama Rina mampir silahkan di cerita saya hari kelima, enam, dan tujuh.
Tujuan pemberhentian kami pertama adalah Chumathang. Sebuah tempat di tepi Indus River dengan sumber air panas. Terbayang saya bakalan berendam di air panas dengan udara yang dingin (walaupun terik) sepertinya boljug tuh.
Tapi, saya dan Ikhsanul belum sarapan. Ajakan kami untuk sarapan dulu ternyata disambut baik oleh anak-anak geng Somiker (The Tso Moriri Seekers). Dan baru berhenti di desa Upshi, sekitar 30 menit setelah ngelewatin Thiksey. Kami memilih salah satu restaurant di pinggir jalan. Frans, Ikhsanul, dan Claire duduk-duduk sambil menunggu pesanan. Saya dan Hayato ke toilet sekaligus jalan jalan melihat desa. Toilet yang kami singgahi berada persis di dekat Indus River.
Setelah sarapan, saya dan Ikhsanul beli beberapa buah. Di sini saya pertama kali ketemu apricot seger. Rasanya tidak terlalu manis.
Lalu kami melanjutkan perjalanan. Sempet ketemu perbaikan jalan lumayan lama saat menuju Chumathang. Gladly, view selama perjalanan di Ladakh tidak pernah membosankan. Setiap saat ketemu perbaikan jalan yang bikin kami harus nunggu, kami turun dan hunting foto sana sini.

This slideshow requires JavaScript.

Setelah tiga jam setengah perjalanan dari Leh, kami sampai di Chumathang. Jauh ya. Dan ternyata hotspringnya tidak seperti yang kami bayangkan. Hot spring di Chumathang sebetulnya kalau dikelola lebih baik, pasti akan jadi tempat tujuan wisata yang lebih menarik. Lokasinya bener-bener di tepi Indus River, dengan pemandangan pegunungan Himalaya. Coba dibuat kolam-kolam yang disusun dari batu, ada tempat istirahat, tempat makan, tempat untuk ganti baju atau showeran. Sampai saat saya di Chumathang, air panas hanya dialirkan di pipa-pipa yang bisa dibuka dengan sejenis kran. Orang-orang yang akan mandi air panas, membuka pipa-pipa itu dan langsung menggunakan air yang ngucur untuk mandi. Saya berharap lebih sih.
Akhirnya setelah ambil beberapa foto, ngerasain air panasnya buat cuci kaki, kami mampir untuk makan siang di restaurantnya. Tapi Frans nggak kelihatan. Ternyata dia cepet-cepet balik ke mobil dan minta biar perjalanan cepet dilanjutkan. Dia bahkan sempet nyamperin kami ke restaurant untuk segera melanjutkan perjalanan. Ya, saya setuju sih sama Frans. Biar nggak buang-buang waktu terlalu lama.

This slideshow requires JavaScript.

Pernah saya bercerita di tulisan saya sebelumnya. View yang kami dapat dari perjalanan satu tempat ke tempat lain berbeda-beda. Kali ini setelah kami meninggalkan Chumathang, kami melewati sungai yang disekitarnya ditumbuhi entah tumbuhan apa, dengan ranting yang banyak dan daun-daun kecil berwarna merah tua, sebagian masih ada yang berwarna hijau dan kuning.
Dari Chumathang kami terus berkendara sampai tiba-tiba Stanzin menepi di jalan. Lalu dia duduk di sekitar sungai dan tiduran. “I’m sleepy. I need to take a rest.” Dah gitu aja, terus dia merem. Saya bengong, ha? Yowis, kalo driver kecapekan memang paling tepat untuk istirahat dulu.

This slideshow requires JavaScript.

Begitu Stanzin melek dan duduk, kami anak-anak geng Somiker duduk duduk dulu, ngobrol banyak hal. Setelah lumayan lama dan harus sampai di  Karzok sebelum gelap, kami melanjutkan perjalanan. Baru setengah jam mobil kami berjalan, kami ketemu danau kecil cantik yang dikelilingi rerumputan coklat dan gunung gunung tertutup salju di kejauhan. Kami minta Stanzin untuk berhenti sebentar.
Menurut maps.me dan google maps, danau ini bernama Kyagar Tso. Tapi kok pas saya tanya ke Stanzin, dia bilang ini Yaya Tso. Yaya Tso tidak muncul saat saya search di google maps, tapi di maps.me, ketemu Yaya Tso dengan posisi yang lebih jauh ke utara. Jada saya bersikeukeuh kalo danau ini adalah Kyagar Tso.
Yang sangat menarik dari Kyagar Tso, di sekitaran danau kita temukan banyak kuda-kuda sedang merumput. Pelan-pelan kalau mau mendekat ya atau mereka bakalan lari. Tapi pelan-pelan pun mereka juga selalu jaga jarak dengan kami. Beberapa kali malah udah sangat deket, tapi mereka ambil posisi membelakangi kami. Dari pada kena sepak, saya menjauh aja.
Setelah capek dan nyerah mau ngelus elus kuda tapi nggak kesampean, saya mendekat ke tepi danau. Dari jauh danau ini terlihat berwarna hijau tosca gelap dan semakin terang saat mendekati pantulan sinar matahari. Dan permukaan danau menjadi berwarna putih silau saat mata kita beradu dengan bayangan matahari yang tertangkap sebagian permukaan air danau.
Semakin mendekati ke tepi danau, rerumputan coklat yang dari tadi menemani kami semakin habis. Digantikan dengan salju putih yang membentang menuju tepi danau. Beneran salju? Hehehehe, bukan. Pasir putih yang menutupi daratan sebelum sampai di tepi danau adalah garam. Teori saya sih garam sebanyak ini berasal dari air danau (yang asin), mengering karena dijemur matahari. Tau dari mana Bar itu garem? Yes, I licked it.

This slideshow requires JavaScript.

Pendekatan dua arah juga nggak berhasil. Tetep kabur tuh Mas Kuda.
Frans: “It’s so beautiful. Tomorrow morning, I will run around the lake. Tso Moriri’s so small.”
Me: “Frans? This is not Tso Moriri. Tso Moriri is still one hour to the south.
*poker face
Begitu tahu itu bukan Tso Moriri, langsung dia bergegas balik ke mobil dan ngajak anak-anak geng Somiker buat buruan balik ke mobil. Ya, sekali lagi saya setuju sama dia. Di sini, Hayato mulai menunjukkan gelagat aneh. Dia bilang kerasa pusing karena carsick. Saya sih curiga dia mulai kena gejala AMS. Ditawarin obat sama Claire dia nggak mau, jadi kami cuma nyaranin buat minum air putih banyak banyak.
45 menit kami berkendara, Tso Moriri akhirnya kelihatan. Mobil kami menyusuri sepanjang tepian jalan yang berada di tepi danau. Danau ini membentang jauh di depan kami, dengan warna biru tua, jauh lebih tua dari langit yang sangat cerah sore itu. Kalau ada buku gambar mewarnai dengan Tso Moriri sebagai salah satu gambarnya, saya pasti pilih pensil warna biru tuanya Luna. Karena warnanya sama.
Dan akhirnya kami sampai di desa Karzok. Di sini kami langsung mencari penginapan. Karzok ini desa kecil yang penduduknya adalah keturunan Nepal. Jadi, selain “Jullay” untuk saling menyapa, mereka juga ber- “Namaste”.
Kami akhirnya memilih untuk bermalam di Goose Homestay. Dengan harga satu kamar Rs. 700 yang boleh ditempati berapa orang, dan belum termasuk makan. Untuk makan bisa mencari warung makan di sekitar penginapan, atau mau makan bareng dengan pemilik penginapan, Skalzang. (Tidak gratis)
Yang menantang dari penginapan kami, kamar mandinya tidak ada air bersih. Air bersih dibawa dalam ember-ember kecil oleh anak Skalzang yang paling tua, sekitar 7 tahun. Air-air ini diambil dari sungai di dekat rumah mereka. Apanya yang menantang? Dinginnya cuy! Naadzubillah. Mandi? Enggaklaaah. Nggak mandi selama di Ladakh adalah hal biasa.
Saya membujuk Ikhsanul untuk mengambil kamar yang paling depan, walaupun tidak disarankan oleh Skalzang karena kalau malam anginnya langsung menerpa ke dinding penginapan, jadi bakalan dingin banget. Satu kamar kami pakai untuk bertiga, saya, Ikhsanul, dan Hayato. Sedangkan Claire memakai kamar sendiri. Frans? Tauk tuh, pas kami keluar mobil dan masuk ke Goose Homestay, dia kepisah (atau misah?) dari geng.
Pas saya masuk kamar saya, ada dua kasur dengan dipan, dan satu kasur di lantai. Sudah saya cup tuh salah satu kasur yang pake dipan. Gile aja, udara sedingin itu tidur di lantai. Tapi pas saya balik ke kamar dari kamar mandi, dua kasur yang pake dipan udah didudukin sama Ikhsanul dan Hayato. Haaah, janc***k! Akhirnya karena Claire tidur sendiri, saya nyolong dua kasur dari kamar dia plus satu selimut. Jadi saya tidur di atas tiga tumpukan kasur dan dua selimut tebal.
Setelah beres sholat, saya sempet naik dulu ke atas penginapan. Ada rooftopnya gaes. Dari situ saya bisa lihat Danau Moriri dari kejauhan. Luar biyasa. Dan pas saya turun, si Ikhsanul udah nggak ada di penginapan. Jadi afternoon walk saya sore itu dengan Hayato-kun.
Tso Moriri adalah danau yang berada di ketinggian 4.530 meter di atas permukaan laut. Lebih tinggi dari Pangong Tso. Untuk mencapai Tso Moriri diperlukan waktu sekitar 7-8 jam dengan jarak sekitar 210 kilometer dari Leh. Satu-satunya desa yang berada di tepi Tso Moriri adalah Karzok (atau Korzok). Jadi akomodasi bisa didapat di desa ini. Bisa berupa homestay-homestay yang disediakan oleh warga Karzok, atau mau penginapan berbentuk camp yang tentu lebih dingin dan lebih mahal. Saat winter, danau ini membeku sepenuhnya. Tso Moriri termasuk tempat yang untuk mengunjunginya diwajibkan Innerline Permit. Baca cerita saya di hari keempat ya kalo mau tau tentang Innerline Permit.
Dengan ketinggian seekstrem ini tentu kadar oksigen tipis, untuk sekedar berjalan mondar mandir, naik ke lantai dua, saya aja ngos ngosan. Di Pangong yang lebih rendah aja saya cuma sebentar. Sedangkan di Karzok, saya bakal menginap satu malam.
Tso Moriri adalah destinasi utama saya di Ladakh, bukan Pangong Tso. Magnet awal memang Pangong Tso, tapi saat browsing sana sini, Tso Moriri lebih worth a visit, karena Pangong Tso sudah terlalu ramai. Tapi, untuk menuju Tso Moriri, saya memerlukan effort yang lebih, pun hampir gagal. Jarak yang jauh, travel mate yang sedikit, dan jadwal yang terbatas adalah tiga masalah utama untuk saya. Bahkan beberapa kali saat membahas Tso Moriri, disepakati bahwa Tso Moriri adalah tujuan plan B. Artinya, kalo dapat ya syukur tapi kalo karena kendala ini itu terus batal ya sudah. Berat bagi saya. Dan akhirnya, sampailah saya di Tso Moriri.
Salah satu sore yang paling saya nikmati dalam hidup saya. Jalan-jalan sore di sekitar Tso Moriri disuguhi dengan rerumputan yang luas, domba-domba digembala, kuda-kuda berlarian bebas, gunung-gunung mengitari kami; mengitari Tso Moriri dan Karzok, langit biru cerah dengan bulan yang sudah bertengger di atas kepala kami. Satu hal yang saya sesali, kami terlalu sore sampai di Tso Moriri. Danau ini memperlihatkan warna terbaiknya saat terkena sinar matahari secara langsung. Siang hari sampai jam 5 sore sebelum permukaan danau tertutup bayangan pegunungan adalah waktu yang paling tepat. Seperti halnya dengan Pangong Tso dan Kyagar Tso, Tso Moriri juga danau air asin. Bagaimana air asin bisa sampai di ketinggian ini sudah saya ceritakan di cerita hari ketujuh ya, saat saya mengunjungi Pangong Tso.

This slideshow requires JavaScript.

Liat beginian pinginnya ikut kejar kejaran sama Mas Kuda. Tapi percaya deh sama saya, nggak akan sanggup. Buat jalan aja ngos ngosan.
Di sini si Hayato tiduran di pinggir danau, pas saya tanya selalu dijawab karena carsick. Saya tau dia mulai kena AMS.
Seru juga keknya ya, gegoleran macem Hayato-kun begitu.
Karena sudah mulai gelap, kami memutuskan untuk kembali ke penginapan, karena lumayan jauh juga untuk berjalan dari tepi danau ke desa. Saat saya sampai di desa, kami sempet merapat ke salah satu halaman rumah yang sedang menyalakan api untuk memanaskan tungku, saking dinginnya. Tentu dong kami minta ijin dulu sama Ibu-ibu yang ada di situ. Sudah semakin gelap tapi listrik belum nyala. Listrik baru nyala jam 7 malam. Jadi saya dan Hayato-kun menuju tenda tempat seorang Ibu-Ibu berjualan. As usual, saya memesan hot ginger tea with honey.
Asli dingin banget Karzok hari itu. Tidak ada sinyal, tidak ada internet, jadi saya nggak bisa ngecek berapa suhu udara Karzok saat itu. Dulu waktu traveling ke New Zealand, suhu terendah yang saya rasain ada di suatu pagi di kota Te Anau, dua derajat Celcius. Tapi yang saya rasain di Karzok jauh lebih dingin. Jadi saat listrik sudah menyala, kami kembali ke penginapan. Saya ngecharge HP (yang sudah mati dari tadi karena kebanyakan buat foto), sedangkan Hayato langsung nyungsep di balik selimut.
Ini kamar kami di Goose Homestay. Katanya Skalzang, kamar ini terlalu dingin. But I’ll show you on the next post, why I chose this room.
Tak lama Ikhsanul masuk ke kamar, dia ngajak makan malam karena orang-orang sudah berkumpul di rumah Skalzang, di lantai bawah. Untuk turun aja saya malas malasan karena saking dinginnya. Begitu masuk ke rumah Skalzang, Ya Allah anget bangeeeet. Skalzang yang lagi masak untuk kami, tungkunya diletakkan di dalam ruangan itu. Suhu panas dari tungku memenuhi ruangan. Ruangan sudah penuh dengan tamu penginapan. Ada geng Somiker kecuali Frans, adik Skalzang, dua anak Skalzang, dan beberapa tamu lain orang Punjab sekitar 4 orang. Kami makan malem dengan rice with daal, minumnya tentu saya minta teh jahe.
Saat makan malem ini Hayato kelihatan udah makin parah, nggak mau makan dan tidur-tiduran aja. Karena udah nggak tahan akhirnya dia mau minum obat. Salah satu turis orang Punjab tadi memberi beberapa obat untuk meredakan pusingnya. Setelah diminum, Hayato kembali ke kamar untuk langsung tidur. Selesai makan malem bareng, kami sempet ngobrol-ngobrol dulu, termasuk saling share tentang pengalaman terkena AMS, sebelum akhirnya saya memutuskan untuk balik ke kamar dan istirahat.

This slideshow requires JavaScript.

Saya berharap bisa menutup cerita hari kedelapan ini dengan kata-kata kayak tadi, ‘kembali ke kamar dan istirahat’. Terus cerita habis, dan berlanjut ke postingan untuk cerita hari kesembilan. Ternyata oh no. Malam itu saya hampir nggak tidur. Saya pikir dengan tidur beralaskan kasur tiga lapis, selimut tebal dua lapis, pake sweater didobelin jaket, dan pake kaos kaki; saya bisa tidur. Ternyata tidak. Saya masih kedinginan. Mau tidur ngeringkuk meluk kaki tapi pinggang sakit karena seharian di perjalanan cuma duduk. Mau kaki diselonjorin, nggak kuat dingin banget. Bangeeeet. Berjam-jam saya menggigil dan cuma berganti ganti posisi hadap kanan-hadap kiri, gitu terus.
Sampai kemudian tiba-tiba kepala saya pusing, badan saya lemes, udara dingin -yang dari tadi berjam jam bikin saya selimutan tebel aja masih serba salah mau meringkuk atau ngelurusin kaki- tiba tiba ilang, diganti badan saya keringetan. Kalang kabut saya ngos-ngosan. Langsung saya buka tuh semua selimut-selimut yang nutupin badan, jaket juga resleting langsung diturunin. Saya sadar, saya kena AMS tingkat lanjut. Kepala keliyengan. Saya tarik nafas panjang-panjang, udah kepikiran mau bangunin Ikhsanul, sampe udah merangkai kata-kata yang kira-kira nggak bikin dia jengkel karena saya bangunin. Lalu saya ingat kata-kata Claire waktu makan malem tadi, “And sometimes, when AMS hits you, it’s only in your head.”
Don’t panic.
Breathe.
Breathe.
Breathe.
It will be okay.
It’s only in my head.
It’s only in my head.
It’s only in my head.
Don’t panic.
Don’t panic.
Baru beberapa menit kemudian, udara dingin mulai datang lagi. Lalu kerasa berkali lipat lebih dingin karena badan saya yang keringetan kena semilir angin dari lubang jendela. Kesadaran saya perlahan kembali lagi sepenuhnya. Saya betulkan lagi resleting dan selimut saya. Saya mengucap syukur.
To Ikhsanul: You were lucky I didn’t wake you up that night.
Click here to see all my stories from Kashmir to Ladakh

2 thoughts on “Kashmir to Ladakh: Day 8, “The Tso Moriri Seekers”

  1. salah satu pertimbangan utama knp msh ragu-ragu buat ke ladakh adalah karena takut kena AMS.
    padahal udah jalan2 disana berhari2 tapi masih bisa juga ya kena di hari-hari terakhir.

    Liked by 1 person

    1. Waah. Bentar lagi Mbak Tita menyelesaikan cerbung saya. Hehehehehe.
      Iya Mbak, saya juga udah PD bakal aman dari AMS, eh ternyata hari hari terakhir kena juga. 🤕

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.