Membayar Janji Manis di Borobudur Marathon

Setelah tahun lalu dapat menuntaskan Borobudur Marathon 2018, dengan tertatih-tatih mulai KM 27, mencoba sekuat tenaga mengejar waktu finish empat jam tiga puluh menit, dan setelah finish air mata nggak berhenti ngucur karena perasaan campur aduk: antar sedih, kecewa, tapi memaksa untuk berbangga hati dapat menyelesaikannya dengan catatan waktu official 04:42:45. Personal Best memang, walau terlambat 12 menit dari target. Saya pun memutuskan untuk kembali berlaga di event yang sama tahun 2019, untuk membayar janji menyelesaikan FM di Borobudur dalam empat jam tiga puluh menit!
Sejujurnya, mulai pertengahan tahun 2019 saya sudah mengesampingkan target 4:30 di Borobudur. Karena memang sejak akhir 2018, race yang jadi target utama tahun 2019 adalah Bromo Tengger Semeru (BTS) Ultra kategori 70K yang diselenggarakan tanggal 1-3 November, tepat dua minggu sebelum Borobudur Marathon. Artinya, waktu dua minggu di sela-sela BTS dan Borobudur Marathon harus saya habiskan untuk recovery sekaligus tapering.
By the way, cerita lengkap tentang BTS Ultra kategori 70K, sudah bisa dibaca di sini ya.

This slideshow requires JavaScript.

Introducing my running buddies: Aulia dan Andre yang bareng sama saya berangkat dari Semarang. Lalu ketemuan juga bareng Adityo. Dan beberapa anak runmdn yang sebenernya nggak janjian, tapi setelah saya finish, pada nyempetin nungguin buat foto bareng dulu. Karena memang cuma saya doang yang ambil FM.
Sebenernya banyak ketemu temen-temen dari BC Runners, LRR, Magelang Runners, Frelatics Semarang, sama Semarang Runners yang sempet papasan di cheering. Tapi nggak sempet nemuin karena begitu finish, saya memilih buat duduk-duduk di sebelah tenda Pacer.

REGISTRATION

Ada yang berbeda dari pendaftaran Borobudur Marathon tahun ini. Saat tahun lalu panitia membuka pintu pendaftaran menjadi beberapa bagian, mulai dari Fast Track yang pakai sistem ballot, lalu ada Dynamic Duo, Group Registration, baru akhirnya Reguler Registration. Tahun ini, Borobudur Marathon hanya membuka pendaftaran dua pintu, Fast Runner yang tentu saja saya nggak (belum) masuk kriterianya dan Ballot System.
Peserta diberi kesempatan selebar-lebarnya untuk melakukan pendaftaran Ballot System mulai tanggal 1-31 Mei 2019 untuk semua kategori, dan baru masuk ke announcement dan payment pada tanggal 19-25 Juni 2019. Efektif sih. Cuma, ada beberapa temen yang batal ikut padahal sudah masuk di ballot, bahkan dibayar pun enggak. Terus slot yang sisa-sisa karena nggak ada pembayaran begini nasibnya gimana ya? Hangus?
Saya sendiri termasuk yang beruntung untuk dapetin slot Full Marathon bersama 10,000 peserta lainnya. Untuk kategori FMnya sendiri jumlah peserta lebih banyak dari tahun lalu. Saya kurang tahu jumlah peserta total ada berapa, tapi melihat dari resultnya, tahun ini 1,665 peserta yang dinyatakan finish, sementara tahun 2018 hanya 965 peserta FM yang dinyatakan finish.
Biaya pendaftaran tak ada diskon untuk early bird. Semua dipukul rata 550 ribu! 😦

PREPARATION

Cerita tentang target untuk finish sub 04.30 sudah saya ceritain dikit di awal tulisan. Target ini pun sebetulnya muncul karena janji saya sendiri yang gagal menamatkan FM di Borobudur Marathon 2018 di bawah 04:30.
Walaupun target segini sudah coba saya kejar di Bali Marathon, dan finish molor sampai 04:57. Ehehehehe.
Untuk preparation Borobudur sendiri, sebetulnya lumayan ngawur! Karena setelah Bali Marathon, mulai pertengahan September saya lebih rajin latihan di gunung. Hampir tiap minggu saya latihan di gunung, jarang banget latihan interval. Long run? Ya di gunung. Karena memang agenda setelah Bali Marathon, saya fokus latihan untuk MesaStila 100 dan BTS Ultra 100.
Tepat setelah BTS Ultra, dua minggu menjelang Borobudur Marathon saya habiskan satu minggu untuk recovery yang cuma bisa lari delapan kilo dengan pace aduhai santai, dan seminggu lagi masuk tapering.
Sehari sebelum race, saya sempet main ke hotel tempat Pacer nginep. Awalnya cuma mau nemuin si Kyky yang tahun ini jadi Pacer 10K. Ketemu Mas @dieyan dan @doditadit terus jadi ngobrol panjaaang, dan di salah satu celutakannya, Coach Adit bilang begini, “Jangan salah, nggak papa kalo nggak pernah latihan interval buat Marathon. Udah diganti latihan di tanjakan-tanjakan gunung. Ntar tanjakan-tanjakan di Borobudur cuma geli-geli aja di kaki.” Pun juga ketika ngobrol dengan Bang Asta, partner FM di Borobudur Marathon tahun lalu, dia bilang gini, “Finish BTS 70K dengan elevasi begitu, Borobudur kerasa geli-geli aja lah.” Sak pleg bahasa ‘geli-geli’ ini.
Oke, kita llihat seberapa menggelitik kah tanjakan-tanjakan di Borobudur.
Apakah saya merasa siap? Definitely not. Road run is so much different from trail. But marathon is a mental game. So let’s play this game.

RACE PACK COLLECTION

Race Pack Collection kembali digelar di hall hotel Grand Artos. Nggak ada janjian sama siapa-siapa, jadi sekitar jam 2 siang saya langsung meluncur ke Artos, setelah sepanjang hari cuma gegoleran aja di rumah. Eh di sana malah nggak sengaja ketemu sama Rama dari Sampit. Yang udah baca tulisan saya tentang SCKLM 2018 pasti inget.

Kali ini pengambilan race pack dipecah-pecah jadi beberapa part. Ambil racepack berisi BIB dan bonus-bonusnya yang rame…

This slideshow requires JavaScript.

Dan setelah beres, kami diarahkan buat ambil running tee di ruangan lain. Yang somehow… menurut saya cara ini sangat efektif untuk memecah antrean. Antrean ngambil race pack memang panjang, tapi terasa cepat. Rasa-rasanya nggak ada di antrean sampe berhenti lebih dari semenit aja. Majuuu aja terus antrean, tau-tau udah sampe meja panitia. Bahkan setelah ambil race pack pertama ini, berlanjut ke pengambilan running tee yang sudah dibagi per size. No queue! Dan RPC selesai!

Setelah itu, kita bisa mampir ke Pasar Harmoni. Pasar Harmoni ini Exponya Borobudur dengan nama yang tradisional tapi mengusung konsep yang sangat futuristic! Pintu masuknya didesign dengan lorong gelap dengan aksen lampu-lampu terang warna warni yang tentu saja, mau foto aja antre berjubel. Mending kalo antre fotonya rapih satu-satu. Lah, ini pada bergerombol dan lebih ke cepet-cepetan.

This slideshow requires JavaScript.

Di dalem Pasar Harmoni banyak booth-booth sponsor dan partner Borobudur Marathon. Seperti biasa, nggak beli apa-apa cuma keliling sebentar, lihat-lihat barang yang dijual mana tau ada yang menarik.

THE RACE

Nggak seperti tahun lalu yang ikut rombongan Adityo nginep di sekitar Borobudur, tahun ini saya lebih memilih buat tidur di rumah aja. Jarak sekitar 20 kilo saya perkirakan bisa ditempuh sekitar 40 menit dengan memperhitungkan crowdednya jalan ke race central. Tahun lalu, saya berjuang keras buat tidur dan berakhir badan malah nggak nyaman karena sepanjang malam saya nggak bisa tidur. Kali ini saya bisa dengan nyenyaknya tidur, jam setengah tiga pagi saya bangun dan badan udah kerasa sangat seger.
Jam 3.15 saya bareng Aulia dan Andre (yang nginep di rumah saya) berangkat ke race central. Seperti dugaan, mendekati tempat parkir, jalanan sudah macet banget, dan baru bisa parkir mobil sekitar jam 4 lebih. Karena udah adzan subuh, saya dan Aulia cari musholla di dekat tempat parkir… yang ternyata ngantre untuk wudhunya pun panjaaaaang bener. Kami baru beres sholat subuh jam 4.30! Sementara kategori FM bakal flag off jam 5 tepat.
Saya ngajak Aulia dan Andre buat mulai berlari kecil, karena ngebayangin jalanan yang bakal rame orang dan kondisi di tempat start yang udah penuh berjubal. Tapi baru berapa puluh meter, saya malah udah kepisah sama Aulia dan Andre. Ya sudah laaah. Sampai jumpa di garis finish ya bro!
Saya masuk dari pintu 9, nggak jauh dari gerbang masuk, sudah ada beberapa mobil elektrik yang nungguin, karena kami para pelari bakal dianter ke titik terdekat dari garis start, gratis! Sebagian besar peserta di sekitar saya pelari kategori HM, karena saya yakin peserta FM pasti udah sampai di tempat start.
Mobil menepi dan saya langsung berlari ke tempat start, nggak ngerti jalan sebetulnya, cuma ngikutin arah jalan orang-orang ini. Di kejauhan pun udah terdengar lagu Indonesia Raya dinyanyiin ribuan peserta. Sampai ketemu gate masuk ke area start, dan betul saja, jangankan kategori FM, para peserta HM aja udah pada mulai ngantre di belakang rantai yang dijaga panitia. Tau saya peserta FM, saya langsung dipersilakan masuk. Peserta pun terlihat sudah panjaaaang, ternyata udah kurang dari sepuluh menit! Gelang coral sok sokan 3 jam saya pun jadinya nggak kepake.
Saya mencari celah-celah di antara peserta, nyelip-nyelip sebisa mungkin dapat tempat start di depan. Sempet ketemu temen-temen Bocah Playon Gunung: Mas Dakon, Mas Iwan, Ko Yonathan, Ko Adi. Juga sendirian ketemu Pak Tua yang nggak sempet foto, juga temen aing dari Siksorogo, Adinto.

This slideshow requires JavaScript.

Tak lama, beneran tak lama… kedengeran MC udah mulai hitung mundur. Jantung langsung berdegup kencang, masih mencoba mencari-cari celah di sela-sela kerumunan.
Jam 5 tepat, hampir dua ribu peserta FM dilepas!
Okaaaay, sampai juga di bagian paling seru, the race itself! So, let’s talk about my strategy first.
Setiap race, menurut saya pelari harus punya strategi. Apalagi para pelari Full Marathon yang bakal lari menempuh jarak 42,195 kilo! Bukan jarak yang dekat. Saya sendiri sering berpikir kalo orang-orang yang keranjingan dengan lari marathon itu sudah mulai gila. Jarak segitu jauh kok ya dilaluin sambil lari. Orang naik motor aja boyok udah kerasa capek. Lah ini lari! So, dearest full marathon participants, you need strategy.
Karena pola latihan saya yang lebih sering ketemu tanjakan, batu dan pasir, saya nggak punya strategi khusus untuk menghadapi tanjakan dan turunan di Borobudur Marathon. Kali ini, saya membagi perlarian ini menjadi empat pertahanan.
Pertahanan pertama ada di KM 10, pertahanan kedua ada di KM 20, pertahanan ketiga ada di KM 30, dan pertahanan terakhir ada di KM 35. Karena di KM 35, Borobudur Marathon memberlakukan Cut Off Points selama 6 jam. Artinya, pelari yang sampai di KM 35 lebih dari 6 jam, akan dinyatakan DNF (Did Not Finish).
Di tiga pertahanan pertama, setiap pertahanan harus saya selesaikan dalam waktu 60 menit. Dan di pertahanan terakhir, di KM 35, harus saya selesaikan dalam waktu tiga jam tiga puluh menit. Coba dihitung, kalo keempat pertahanan saya berhasil, berapa waktu yang akan saya habiskan untuk menuntaskan FM? 4 jam 12 menit! Saya tahu, still impossible. Alasan saya memasang empat pertahanan ini karena saya tahu mulai ketemu KM 27, tenaga saya akan mulai habis. Jadi saya mencoba untuk menjaga pertahanan ini agar punya banyak tabungan di sisa-sisa kilometer yang menyakitkan. Well, that’s my game, so let’s play it!
Target saya untuk finish dalam 4:30 menit adalah gun time, jadi ketika sampai tepat di garis start. Saya udah kecolongan waktu 1 menit 37 detik! Maka, pertahanan pertama punya PR yang lumayan berat. Dan lagi, dengan posisi start saya yang lumayan di belakang, tentu jarak lari saya bisa nambah 20-100 meter sendiri. Makanya, besok lagi dateng lebih cepet biar dapet tempat start di depan!
Selain terlambat 1:37, di satu kilo pertama space antar peserta masih terlalu sesak. Masih susah untuk berlari dengan pace idaman. Hasilnya, KM1 saya hanya mendapatkan waktu 7:30!
Mari kita belajar matematika, saya masih punya hutang 9 kilo di pertahanan pertama. Sementara untuk mencapai sub 60 menit di 10 KM pertama, waktu saya tinggal 50 menit 53 detik! Berarti 9 kilo ini harus saya tempuh dengan pace rata-rata 5:50an.
“Ini beneran itung-itungan begini nih Mas Bardiq sambil lari kemaren?”
Tentut tidak! Ahahahahaha. Ini buat gambaran aja, selama sepuluh kilo pertama saya hanya mencoba berlari dengan pace 5:45an sambil menjaga heart rate saya tetep di Zona 4. Walaupun agak susah karena di lima kilometer pertama di Borobudur justru para peserta langsung ditemanin tanjakan ringan.
Jam tangan bergetar di KM 10, waktu yang saya peroleh: 59:51! Pertahanan pertama berhasil! Walaupun lebih banyak ke luck sih dari pada ngendelin itung-itungan. Karena pertahanan pertama berhasil, kini saatnya untuk pace down. Strategi saya paling terasa enak di pertahanan kedua, di sepuluh kilometer kedua. Tenaga masih banyak, dan menghabiskan 60 menit untuk sepuluh kilo terasa memungkinkan.
Tantangan utamanya adalah track yang mulai ketemu dengan turunan curam dan disusul dengan tanjakan yang mengerikan. Saya masih ingat di map elevasi Borobudur Marathon 2018 yang saya cek di Strava, turunan dan tanjakan ini membuat seperti palung-palung laut. Saya sesekali merasakan kondisi kaki, ada pegel-pegel nggak, ada potensi-potensi bakal kram enggak, dan tentu saja mencoba mengira-ngira posisi blister yang muncul gara-gara BTS Ultra dua minggu lalu, kerasa sakit enggak, dan semua amaaaan.

Jam tangan bergetar di KM 20, waktu yang telah saya tempuh: 1:58! Pertahanan kedua berhasil! Dua puluh kilometer saya habiskan dengan sangat nyaman. Everything went well. Jalanan masih ditemani sawah-sawah dan pemukiman. Udara masih segar, matahari mulai bersinar, suasana masih menyenangkan.
Sebetulnya, setelah melewati KM 20, saya mulai merasa grogi. Menjelang titik yang selalu menjadi musuh saya setiap berlari marathon: KM 27. Saya mencoba meredam grogi, marathon is a mental game. I just need to remember my game.
Memasuki KM 24, pace yang susah payah saya pertahankan di 6:00 mulai terasa berat. Setiap ketemu Water Station (WS), saya selalu mengusahakan untuk minum air mineral, sesekali isotonic. Tapi di situ pula godaan datang. Godaan datang berupa rasa malas untuk kembali berlari setelah ketemu setiap WS. Ada bisikan, “Bentar Bar, jalan bentar nggak papa sekalian nurunin heart rate.”
Ah pande kali kau rasa malas bisikin godaan!
Di pertahanan ketiga, saya bisa menguatkan kaki untuk terus berlari meskipun lutut selalu mengeluh dan minta jalan setiap ketemu tanjakan. Apalagi menjelang KM 29, saat track sampai di Jalan Magelang-Purworejo, sampai di Jalan lintas kota yang begitu penuh kendaraan, polusi terasa begitu sesak, dan matahari mulai terasa menyengat. Rasa malas seolah menciptakan seribu satu alasan agar badan ini ogah-ogahan untuk berlari. Jalan sepanjang dua kilo ini saya habiskan dengan berlari dengan pace yang buruk. KM 30 pace malah ngelokor sampai 7:13. Satu-satunya hal yang menyadarkan saya dari rasa malas adalah saat jam tangan bergetar. KM 30 saya habiskan dengan catatan waktu 03:02! Saya terlambat dua menit. Saya kebobolan di pertahanan ketiga. Tapi tak apa, memang sudah saya perhitungkan kalo pertahanan saya bakal hancur di pertahanan ketiga. Paling tidak tabungan waktu saya sudah lumayan banyak untuk finish sub 04:30.
Dan sampailah saya di kilometer-kilometer penyesalan. Pertahanan keempat memang paling berat. Lima kilometer yang saya harapkan untuk finish dalam tiga puluh menit, dengan berlari dengan pace 06:00, ternyata masih sangat susaaaaah.
Selepas KM 34, jalanan mulai terlihat turunan. Perasaan mulai campur aduk, antara kesal, capek, dan kepanasan karena matahari mulai terasa menyengat. Namun, juga merasa excited karena sebentar lagi saya menyelesaikan pertahanan terakhir. Pertahanan keempat, di COP KM 35 mulai terlihat. Tanjakan sadis yang menjadi penanda KM 35 mulai terlihat. Ya sudah, jalan kaki aja menempuh tanjakan ini, nggak perlu ngoyo, dari pada heart rate naik nggak keruan.
Saya sampai di CP KM 35 dengan catatan waktu, 03:39. Terlambat sembilan menit. But that’s okaaay…

Di KM 38, jam tangan bergetar, menunjukkan waktu yang udah saya tempuh, 3 jam 58 menit. Di sisa-sisa tenaga yang saya punya, saya mencoba hitungan matematika ringan.
“Ya adek-adek, sekarang kita coba ujian mencongkak yaaa. Yang bisa langsung tunjuk tangan. Begini soalnya: Mas Bardiq, peserta Borobudur Marathon kategori Full Marathon, saat ini berada di KM 38, dan waktu tempuhnya sudah 03:58. Kalau Mas Bardiq ingin finish dengan catatan waktu di bawah 4 jam 30 menit, berapa pace lari paling lambat untuk Mas Bardiq?”
Saya, murid yang nggak suka dengan pelajaran matematika, mencoba berpikir cepat menjawab pertanyaan Pak Guru. Sisa jarak kurang lebih empat kilo, dengan sisa waktu 32 menit. Ah, gampaaang ini mah. Nggak bisa apa Pak Guru ini kasih pertanyaan yang lebih susah.
“DELAPAN MENIT PAK GURU!!!”
So let’s finish it. Remember your game, keep your pace below 08:00!
Saya berlari menantang terik panas yang mulai menyengat kulit, tepat memasuki KM 41, barisan pagar berwarna hijau khas Candi Borobudur mulai terlihat. Saya mulai merasa ada power tambahan, ada senyum yang tak sengaja muncul setiap berpapasan dengan pelari Half Marathon dan 10K yang telah finish. Bebarengan juga dengan beberapa pelari Half Marathon yang juga sedang mengerahkan sekuat tenaga untuk finish. Karena target 4 jam 30 menit saya bersamaan dengan COT kategori Half Marathon: 2 jam 30 menit.
Beberapa orang menyemangati saya, “Semangat Mas, ayooo… lima menit lagi. Masih cukup waktunya.” Saya hanya merespon senyum, karena beberapa mengira saya peserta Half Maraton.
Beberapa puluh meter sebelum finish, area cheering udah ramai. Ketemu beberapa temen yang kasih support, tak terasa pace lari sampai di bawah 05:30. Garis finish sudah terlihat dengan karpet merah menyambut saya, menyambut para pelari yang sudah mengerahkan seluruh effortnya untuk sampai di titik ini.
Saya finish dengan catatan waktu official 04:28:15 (gun time) dan 04:26:38 (net time). Jam tangan saya bergetar-getar menunjukkan Personal Records saya untuk Full Marathon: 04:24:50!
Perasaan senang memenuhi dada, rasa bahagia membuncah karena kali ini saya mampu membayar hutang saya sendiri. Saat tahun lalu saya terlambat 12 menit 45 detik, kali ini saya dapat memangkas waktu finish sampai 14 menit 30 detik.
Ini official ceritificate dari panitia. Bisa dipake untuk apa ya kalo certificate road marathon gini? Daftar pacer kah?
Mari yang mau ngintip detail lari saya di Strava, bisa mampir ke sini.
Tahun ini saya bisa berlari dengan jauh lebih nyaman. Nggak ada kram, nggak ada tumit sakit, bahkan tempurung kaki yang sering kali nyeri setelah KM 25an pun kini nggak ada keluhan. Bahkan heart rate sangat berbeda dengan tahun lalu.

Tahun ini saya mulai selektif buat ikut race, apalagi untuk kategori Full Marathon. Hanya Bali Marathon dan Borobudur Marathon. Dua race yang digaung-gaungkan punya Best Marathons sepanjang tahun 2018.
Dan di Borobudur, saya merasa apa yang sudah saya perjuangkan selama setahun terakhir terbayar dengan senyum. Dengan perasaan semakin percaya, memang benar bahwa setiap perjuangan tidak akan mengkhianati hasil. Meskipun latihan untuk Borobur Marathon lumayan tersisihkan porsinya karena saya harus lebih banyak berlatih di gunung untuk persiapan BTS Ultra.

Saya sudah memahami track Borobudur, tanjakan dan turunan bertubi-tubi. Tak perlu memaksa saat bertemu tanjakan, dari pada stamina habis hanya untuk berlari di tanjakan yang terasa sia-sia, lebih baik dijalanin aja. Karena tanjakan di Borobudur itu curam, tapi tidak panjang. Jadi setelah pace hancur karena ketemu tanjakan, masih ada waktu untuk membalas. Saat turunan, biarpun lutut terasa ngilu, pace masih bisa diatur agar tak banyak ketinggalan saat nanti ketemu tanjakan.
Saya lebih seneng ketemu dengan tanjakan dan turunan di Borobudur dari pada dengan track seperti Bali Marathon 2019 yang saat tanjakan tak habis-habis, sekuat tenaga mempertahankan pace, lalu tiba berjumpa dengan turunan, tenaga sudah loyo.

Semua peserta Borobudur Marathon pasti merasakan hal yang serupa, puas! Borobudur Marathon sekali lagi dapat menyelenggarakan pesta perlarian yang menyenangkan. Pendaftaran dengan system ballot yang sangat fair, race pack collection yang sangat teratur, terkonsep, dan berjalan rapih. Isi race pack yang komplit banget, medali yang solid dan keren, lalu tentu saja race tee dan finisher tee yang asik dan bahan yang bagus: design minimalis dengan pemilihan warna yang sangat casual.
Hari H pun Borobudur Marathon berjalan dengan lancar. Fasilitas yang oke: parkir luas, musholla ada di beberapa tempat, toilet umum memadai. Waktu start yang tepat waktu, rute yang steril dan nyaman karena didominasi dengan sawah dan perkampungan warga, biarpun rute ini sama untuk tiga tahun berturut-turut. Boleh nggak kalo tahun depan dicariin rute biar nggak perlu lewat dua kilometer di jalan Magelang-Purworejo? Itu dua kilo paling mengganggu dan menjadi tantangan paling berat.
Semua panitia dan marshal yang terlihat sangat sigap, juga fotografer yang betebaran, baik yang official ataupun fotografer lepas.
Ah iya, tentang foto. Saat tahun lalu beribu-ribu foto diupload di Facebook resmi Borobudur Marathon, berfolder-folder foto yang sampai membuat mata lelah mencari, kali ini panitia lebih memanjakan peserta. Foto akan disortir berdasarkan nomor BIB, dan diupload di website resmi Borobudur Marathon dengan kualitas bagus, juga gratis! Jadi tinggal search nomor BIB, lalu foto-foto yang telah disort akan otomatis muncul. Walaupun, perlu waktu lamaaaa buat panitia untuk memilah dan upload puluhan ribu foto itu. Banyak yang nggak sabar, termasuk saya sih. Tulisan ini rencana sudah saya post seminggu setelah race, tapi mundur sampai dua minggu karena sambil nungguin foto diri muncul (dan juga memang maleees banget memulai buat draft sih, wkwk).
WS pun memadai (meskipun kata Andre yang finish di menit-menit sebelum COT bilang kalo beberapa WS kehabisan air), refreshment yang sangat refreshing, cheering dari panitia yang begitu meriah, dari sajian budaya lokal hingga siswa sekolah yang berebut kasih tos! Banyak juga warga lokal yang ikut kasih semangat, berjejer tersenyum, sesekali bertepuk tangan kasih semangat, dan menyapa.
Terima kasih banyak untuk ibu-ibu di KM 25, yang melambaikan tangan, menawarkan teh hangat dan kopi manis. Terima kasih Bu. Itu dua minuman yang paling saya butuhkan. Yes, you read this sentence right, bahkan tak hanya di KM 25, banyak beberapa warga lokal yang tanpa pamrih membuatkan teh dan kopi hangat untuk kami para pelari. Sekali lagi terima kasih.
I finished what I failed last year. I promised myself to come back stronger. I did, I paid my own promise.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.