Berlari Sebagai Bentuk Kepedulian Terhadap Anak Anak, Run to Care 2018: Yogyakarta ke Semarang.

Pertama tama, judul tulisan ini saya buat sedemikian rupa karena mana tau tahun depan bisa berpartisipasi lagi, maka judulnya tinggal ganti di frasa kedua dan ketiga aja “Run to Care 2019: Mana ke mana”. Insyaallah…
Kedua dua, saat pertama kali saya melihat postingan acara charity run ini di Instagram, awalnya hanya iseng karena niatan awal lebih pingin bergabung dengan keluarga besar Nusantara Run (yes, you may judge me), tapi karena kategori paling rendah di Nusantara Run belum masuk kelas saya, bisa deh saya latihan dulu di Run to Care. Apalagi dengan dengan lokasi rute lari yang dekat dengan domisili saya sekarang: Yogyakarta ke Semarang dengan total jarak tempuh 150K. Saya sendiri pun baru denger tentang charity run ini. Dan memang 2018 adalah tahun kedua acara ini digelar, di mana tahun lalu acara serupa sudah berhasil dilaksanakan dengan konsep Village to Village, Cibubur ke Lembang. Saya mulai browsing sana sini tentang penyelenggara acara ini, saya mulai tertarik dengan kategori relay 4 (team), berarti beban jarak yang harus saya tanggung adalah sekitar seperempat dari total keseluruhannya, 35K. Akhirnya saya mulai ajak temen temen angkatan yang doyan lari juga. Dan berkumpul lah running buddies saya selaku satu team:
Running Buddies, temen temen satu angkatan.
Introducing my Running Buddies: Rizal (RM), Rohmad (RBS), dan Yonky. Mereka adalah teman satu angkatan saya kuliah. Rizal dari Sidoarjo lalu RBS dan Yonky dari Jakarta. Kami berbeda beda kantor, berbeda beda lokasi start, dan baru bisa ngumpul begini malah 9 jam setelah pelari terakhir finish!
Ketiga tiga, Run to Care adalah charity run pertama yang saya ikutin. Walah, ternyata bebannya berat Pak. Nggak cuma beban capek aja karena harus menempuh sekian kilometer dengan elevasi yang beneran nightmare comes true, tapi juga beban sebagai pelari selaku fundraiser untuk menggalang dana. Run to Care adalah charity run yang diselenggarakan oleh Desa Anak SOS. Desa Anak SOS sendiri merupakan organisasi non komersil di Indonesia yang memiliki induk international foundation, SOS Children’s Village, dengan markasnya di Austria. Duh ngomongin Austria kepikiran Hallstatt ya. Oke oke, stop di sini aja ngomongin bucketlist mu Mas Bardiq, kita lanjut ngobrolin tentang Run to Care. Jadi, SOS Children’s Village bergerak untuk men-support anak anak terutama yang dalam usia dini telah kehilangan pengasuhan orang tua. Nah, tugas mereka adalah membangun rumah berbentuk desa desa untuk anak anak ini, dan menyediakan kebutuhan bagi mereka. Bentuk desanya sendiri seperti sebuah komplek yang diisi oleh beberapa rumah tempat anak-anak ini tinggal. Luar biasanya, di tiap tiap rumah ini ada wanita yang berperan sebagai seorang Ibu untuk anak anak. Jadi, setiap anak akan merasa bahwa mereka tinggal di rumah mereka sendiri. Di seluruh dunia, telah ada 551 desa, dan 8 desa berada di Indonesia dari Banda Aceh, Meulaboh, Medan, Cibubur, Lembang, Semarang, Tabanan, sampai Maumere.  Di sini mata saya mulai terbuka. Yang awalnya hanya iseng, yang awalnya hanya coba coba, ini momen pertama saya merasa kalo acara ini lebih dari iseng dan coba coba. Saya mulai terbayang beban, juga rasa syukur. Saya tidak mengalami apa yang anak anak ini rasakan. Saya lahir di keluarga yang bisa membesarkan saya, dan bisa mencukupi kebutuhan dan pendidikan saya. Saya nggak boleh main main. Oiya, buat kamu yang masih penasaran bisa masuk ke website mereka di https://www.sos-childrensvillages.org/ atau http://www.sos.or.id/ ya.
Tanpa melanjutkan keempat empat dan kelima lima, ayok saya ceritakan tentang perlarian saya dan teman teman pelari Run to Care dari Yogyakarta menuju Semarang!
REGISTRATION
Awalnya, pendaftaran “seharusnya” dibuka sampai dengan tanggal 11 Mei 2018. Saya sendiri begitu berhasil mengumpulkan tiga orang untuk dijadikan satu geng, mendaftar pada tanggal 7 Februari 2018 dengan biaya pendaftaran masing-masing peserta relay 4 adalah 250 ribu. Setelah mendaftar, nggak langsung dinobatkan sebagai RTC runner, tapi akan dilakukan seleksi terlebih dulu oleh panitia. Ternyata, belum sampai tanggal 11 Mei, slot yang disediakan panitia sudah penuh, jadi registrasi ditutup tanggal 19 Maret 2018. Nggak langsung ditutup sih, sejak tanggal 9 Maret, panitia sudah ngumumin penutupan pendaftaran. Jadi biar runner yang masih bimbang bisa segera memutuskan, daftar apa enggak. Toh slot yang dibutuhkan sudah tercukupi.
Akhirnya, (sub cerita REGISTRATION diawali dengan ‘awalnya’ dan diakhiri dengan ‘akhirnya’, untung cuma dua paragraf. Kalo sampai tiga, nggak mungkin kata pertama paragraf kedua pake ‘tengahnya’) tanggal 18 April 2018 saya dapet email dari Run to Care, dari 479 pelari yang mendaftarkan diri untuk tak hanya sebagai runner, tapi juga sebagai fundraiser, saya terpilih menjadi satu diantara 275nya. Perasaan saya? Mulai deg degan, karena sadar acara ini bukan acara lari seperti biasanya. Ada proses panjang selain latihan. Saya fundraiser, saya harus mengajak orang orang buat ikut berdonasi.
THE CAMPAIGN
Sekitar tanggal 20an Mei, kami masing masing pelari dibuatkan halaman campaign melalui kitabisa.com. Tapi ternyata foto kami ada yang nggak sesuai. Foto RM pakai foto saya, sedangkan foto saya ya pakai foto saya sih, cuma nggak pake foto yang saya submit, tapi pakai foto hasil comot di tagged photos akun IG saya. Jadi rencana untuk campaign saya mundur sampai dua hari. Surprisingly, belum mulai saya campaign, ada temen yang nanya nanya karena saya sempet share beberapa foto di IG Stories. Tiba tiba muncul notif email dari Kitabisa, “An anonymous donation came!” Yang saya rasain: mak tratap. Ngerti nggak? Mak tratap adalah perasaan yang kamu rasain karena suatu keadaan gabungan antara kaget dan kaget banget. Bisa karena ada kabar sedih, kabar gembira, atau kabar mengharukan. Karena sebuah DM DMan singkat, nanya acara apa, lari kekmana, donasinya untuk siapa: this generous guy donated his money, tanpa nodong, tanpa mohon mohon. Ini momen kedua saya merasa kalo acara ini lebih dari sekedar iseng, I was so touched.
Setelah halaman campaign saya beres, header foto juga udah sesuai, baru deh saya mulai ngeshare di IG Stories dan beberapa kali di Status WhatsApp. Orang orang yang menurut saya concern di dunia lari dan anak anak, saya japri. Tapi saya nggak memaksa, bahkan temen temen deket dan keluarga nggak saya minta donasi. Mereka tau saya sedang menggalang dana, mereka tau saya akan berlari dari Jogja ke Semarang (walaupun ngak full), tapi nggak pernah meminta apalagi menodong. Karena menurut saya donasi yang sedang saya galakkan adalah dengan “spread the news to make them donate”, jadi dari kesadaran mereka sendiri aja. Yah, metode tiap runner sebagai fundraiser beda beda sih. Dan ini merupakan kali pertama saya cari donasi untuk acara charity, takutnya kalau saya minta donasinya (kasarnya) nodong, donator bakal ngasih uang cuma karena nggak enak sama kita, kalo mereka nggak ikhlas, uang yang mereka kasih jadi nggak berkah.
Donasi saya sempet stuck di angka 5 jutaan, beberapa kali ngeshare di stories IG dan WhatsApp juga nggak nambah. Oke, saya harus cari akal. Saya keinget Nusantara Run Chapter 5 kemaren, ada beberapa orang bikin kaos untuk support acara. Nah, bisa deh keknya saya bikin beginian juga. Cuma karena club lari saya jauh di Medan sana (Iya, selama di Semarang belum men-declare join running club) susah kalo mau ngiklaninnya. Dan saya berinisiatif buat bikin jersey aja kalo gitu. Targetnya tentu saja angkatan saya, karena satu team relay saya bareng temen temen satu angkatan, jadi lebih gampang untuk ngajak temen teman satu angkatan yang lain.
Ide ini muncul karena anak anak Longrun Rangers baru aja open PO buat jersey dari Gulf. Yang ternyata Gulf fleksibel banget masalah design, selain dibagi modelnya (short sleeves, long sleeves, singlet, polo) bisa juga dipecah lagi ada atau enggak design belakang. Wiiih, cocok nih. No no, bukan ngiklanin mereka. Jadi, setelah rembukan sama temen temen satu team relay, mereka pun setuju. Akhirnya saya open PO jersey angkatan. Harga yang saya dapet dari vendor adalah xxx Rupiah, saya blak blakan sama temen temen satu angkatan berapa harga yang saya dapet, dan berapa fee yang mereka kasih ke saya. Saya dapet fee, jatohnya kayak reseller gitu sih. Dan dari harga xxx itu saya tambahin 50 ribu, yang bersifat wajib. 50 ribu ini yang nantinya saya kumpulin buat donasi ke RTC. Tapi tetap berharap kalo temen temen ini bisa nyumbang lebih dari 50 ribu. Dan akhirnya, dari pembuatan jersey angkatan ini, total donasi yang didapet mencapai Rp. 19,034,034.00! Alhamdulillah… Jumlah ini saya bagi empat dengan team relay saya, jadi masing masing dapat sekitar 4.75 jutaan.
Sampai tulisan ini dibuat, donasi yang sudah berhasil saya kumpulkan adalah senilai Rp. 11,437,472.00. Ayok, silakan yang mau ikut berdonasi, masih diterima sampai tanggal 31 Agustus 2018. Kamu bisa mengunjungi halaman campaign saya di sini.
PREPARATION
Beberapa minggu sebelum acara, kami diminta untuk mendaftarkan ke panitia tentang urutan pelari. Nah, mulai seru nih. Kami berempat sama sama sudah pernah menyelesaikan Full Marathon, bahkan si RM pernah ikut Nusantara Run Chapter 3: Bandung-Cirebon, 135K! Jadi dengan jarak 150K dibagi empat, jarak sekitar 35K insyaallah bisa kami selesaikan tanpa kendala. Tapi, bukan berarti tanpa tantangan. Kami tau kalo acara lari dengan jarak ekstra seperti ini pasti nggak gampang. Empat pelari akan bergantian saat pelari sebelumnya telah sampai pada garis finishnya di Check Point. Ada tiga CP, jadi pelari pertama akan berlari dari garis start ke CP 1, disambung oleh pelari kedua dari CP 1 ke CP 2, dan disambung pelari berikutnya sampai pelari terakhir akan berlari dari CP 3 sampai garis finish.
Setelah kami lihat elevasi total beserta pembagian jarak pelari relay, kami mulai ketawa geli melihat elevasinya, elevasi setelah melewati jatah pelari pertama: sadis.
Elevasi Run to Care 2018
Jika diperhatikan, mulai CP 1 maka elevasi akan naik drastis. Dari elevasi di ketinggian 234 meter dpl, lalu finish di CP 2 dengan ketinggian 1229 meter dpl. Rute kedua ini juga yang memiliki kenaikan elevasi tertinggi, sepanjang 35 kiloan, elevasi bakal naik hampir 1000 meter! Hampir tanpa turunan! Dalam hatiku: Ojo akuuu!
Pelari ketiga, akan diajak naik turun sekitar belasan kilo baru kemudian turunan curam, terus terusan turun sampai ketemu di CP 3. Dan, ditutup pelari terakhir yang bakal dapet tanjakan pendek namun drastis, lalu turunan teruuuuus sampai menjelang finish, ditutup dengan sekitar 10 kilo terakhir dengan turunan tajam lalu tanjakan lagi.
Saya sadar diri, pelari kedua dan ketiga bukan jatah saya. Rute untuk pelari kedua nanjaknya kelewat jahat, dan jam lari pelari ketiga di siang hari. Tentu saja di antara kami berempat, jatah dua bagian sudah dipersiapkan untuk RBS dan Yonky, rupanya bahkan si ninja RBS menawarkan diri untuk jadi pelari kedua. Dengan begitu resmi sudah, Yonky ambil bagian jadi pelari ketiga. Saya nggak bisa jadi pelari pertama, karena pelari pertama start hari Jumat jam 10 malam dari Yogyakarta.  Sedangkan saya baru pulang kantor jam 5 sore dari Semarang. Nggak mungkin terkejar ke garis start, jadilah saya pelari penutup di ajang perlarian kali ini.
Karena bakal menghadapi tanjakan (dan turunan), saya berlatih lari nanjak. Dan kebetulan Semarang ini kota yang pas banget kalo mau dibuat tempat latihan nanjak. Dari Semarang bawah kita bisa berlari ke Semarang atas sampai Ungaran dengan tanjakan tanjakan manis. Saya boleh pamer kalo latihan saya untuk RTC ini sudah ‘cukup’ well prepared. Kenapa saya bilang cukup? Karena saya nggak latihan turunan!
Setiap minggu saya berlari santai 3-7K, lalu beberapa kali long run , dan tentu saja: long run nanjak. Nah, buat long run nanjak ini saya lakukan dua kali. 19K dan minggu depannya 21K. Dua duanya sama sama Run to Ungaran, dan sudah saya bikin tulisannya kok, ayok mampir di sini ya.
Dua minggu sebelum RTC, saya ikut 10K race dari PORAD (Pekan Olah Raga Angkatan Darat), dengan rute dimulai dari depan Akmil, muterin bukit Tidar satu kali, dan karena masih 7.5K, 2.5nya masuk ke lingkungan Akmil. Nah, mumpung banget nih. Bertahun tahun tinggal di deket Akmil, saya sama sekali belum pernah masuk ke dalemnya. Nah, untuk 10K ini saya lumayan  ngoyo sih, pingin ngejar bisa finish di bawah 55 menit, dan ternyata karena naik turunnya jalanan kota Magelang, saya finish 10K PORAD di 55:55! Kurang ngebut 55 detik doang. Nggak ngerti gimana caranya dulu awal awal lari 10K bisa sampe 50 menit. Kapan kapan kita bahas di tulisan lain deh. Monggo yang mau lihat detil 10K PORAD saya bisa mampir ke Strava saya ya.
Nah, beres PORAD, tinggal dua minggu lagi menuju RTC, saya sudah masuk tapering. Jadi selama dua minggu ini saya lari santai aja.
Dan seperti biasa, saya mulai carbo loading dua hari sebelum RTC. Karena nggak sampai Full Marathon, jadi saya cuma ngemilin roti tawar aja sampai hari Sabtu siang menjelang RTC.
THE RUN
Perlarian akan dimulai dari Jogjakarta jam 22.00, team saya, RM yang memulai perlarian dari start line. Kami sepakat untuk mantau di group WA. Jadi setiap satu jam, pelari yang sedang beraksi akan share loc di group WA. Jadi pelari berikutnya bisa memperkirakan jam berapa harus tiba di WS. Karena saya pelari keempat, jadi pas RM lari, saya tinggal tidur aja. Heheehehe.
Ini kondisi pas di start line. Nggak usah cari saya, karena emang nggak lari dari start line. Tapi kalo sama yang pake jersey kuning mirip sih. Photo by: @davidpanderaja x @rungrapher
Saya akan mulai berlari dari CP 3 di KM 116, tepatnya di kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Ada masalah lagi, saya nggak tau mau kekmana berangkat ke CP 3nya. Shuttle bus yang disediain panitia, rutenya dari Jogja ke Semarang. Sekalian ngangkut pelari yang finish di CP 1, CP 2, dan CP 3 buat diangkut sampai garis finish di Desa Anak SOS di Banyumanik (udah mau sampe Tembalang sih sebenernya).  Bisa sih sebenernya saya naik Trans Semarang sampai terminal Bawen, lalu nyambung naik angkot. Tapi kepikiran jauh dan lama, capek di jalan pulak nanti. Jadi saya coba minta bantuan di group Telegram RTC, mana tau ada yang bisa ditebengin berangkat dari Semarang. Dan alhamdulillah, ada Mas Henwi dari Kudus Runners yang nawarin bareng dari Semarang. Bahkan, Yonky pelari ketiga juga bisa bareng sama Mbak Dhita dan Mas Ilham, temennya Mas Henwi yang berangkat ke CP 2 Sabtu pagi.
Sabtu sore setelah semua gear lari saya lengkap, saya berangkat ke RS Bhayangkara, di sini saya ketemuan sama Mas Henwi dan temen temen dari Kudus Runners yang lain. Jam 5 lebih kami berangkat. Sebenernya Mas Henwi dan temen temennya pelari keempat mau mampir dulu ke WS (Water Station) 6, ada temen temen Mas Henwi di Kudus Runners dan kayaknya Mas Henwi baru mau mulai lari agak malem.
Jadi gini, RTC start dari Jogja jam 10 malem, CoT (Cut off Time) sampai di CP 1 adalah 10 jam. Nah, buat pelari kedua buat yang ambil relay 4, bisa mulai lari begitu pelari pertama sampai di CP 1. Tapi boleh juga nggak langsung lari. Nggak usah buru buru karena ini bukan race. Pelari kedua boleh mulai berlari sampai CoT fase pertama. Kalo 10 jam ya berarti CoTnya jam 8 pagi. Artinya pelari kedua terakhir berlari adalah jam 8 pagi. Nah, jam 8 pagi CP 1 bakal tutup dan pelari yang sampai di CP 1 setelah jam 8 pagi dinyatakan DNF (Did not Finish).
Begitu juga dengan pelari kedua, CoTnya adalah 9 jam. Jika CoT fase pertama adalah jam 8 pagi, berarti CoT di CP 2 adalah? Berapa adek adek? Yak betul, jam 17.00. Berlanjut ke pelari keempat. Karena CP 2 ditutup jam 17.00, maka CoT untuk pelari ketiga adalah 10 jam. Maka, CP 3 akan ditutup jam 03.00 dini hari. Nah sebenernya saya selaku pelari terakhir boleh mulai berlari kapan aja sejak pelari ketiga (Yonky) finish di CP 3, sampai jam 03.00 pagi.
Tapi kalo saya sendiri sih pinginnya lari ya cepet beres, kan bisa cepet istirahat juga to. Dan ternyata Mas Henwi nggak keberatan buat nganter saya dulu ke CP 3. Alhamdulillah, ketemu orang orang luar biasa baik. Matur nuwun Mas Henwi, Mbak Dhita, Mas Ilham, dan temen temen Kudus Runners. Ketemu di TKRM (bukan Tarkam) ya?
Saat pelari beraksi, kami saling mantau, udah nyampe mana, ada masalah enggak, selain itu pelari berikutnya juga bisa ngerencanain, kira kira jam berapa nyampe CP, kapan dia bisa siap siap, dan kapan bisa mulai lari. Nah, pas saya sampe di CP 3 sekitar jam 7 malem, Yonky belum sampe. Lumayan bikin khawatir karena beberapa saat sebelum dia mulai lari, katanya badannya kerasa agak meriang.
Pas lagi nunggu si Yonky, saya dapet WA dari Anes. Anes ini udah beberapa kali ada di tulisan saya sih. Kamu bisa baca baca cerita Anes di tulisan saya tentang Pocari Sweat Bandung Marathon 2017, Lombok Marathon 2017 dan trip saya ke Pulau Sumba. Anes ambil RTC kategori relay 2, dan start bareng Yonky juga dari CP 2. Tapi duluan Anes sampe di CP 3. Makin khawatir lah saya, udah gitu chat di group WA juga nggak masuk. Niatnya lari bareng Anes, tapi karena Yonky belum sampe juga, Anes berangkat duluan. Saya mulai bersiap siap, jadi begitu Yonky sampai CP 3, saya langsung berangkat lari.
Melepas si Anes.
Jam setengah sembilan kurang Yonky sampai di CP 3, alhamdulillah sehat sehat aja. Karena saya udah ready, barang barang yang nggak saya perlukan udah saya masukin ke baggage drop ke panitia. Jam 8.45, setelah lapor ke panitia yang nyatetin keluar masuknya pelari, dipakein gelang penanda CP 3, saya memulai perlarian saya, sekaligus mengakhiri perjuangan team saya sampai ke garis finish.
Memulai perlarian dari CP 3.
CP 3 dimulai dengan tanjakan yang langsung memanas ke arah Bandungan. Saya berangkat tanpa diiringi marshal panita. Seharusnya, setiap pelari dikawal oleh marshal, apalagi pelari perempuan: wajib dikawal marshal. Namun saat saya berangkat, marshal yang mengawal udah berangkat duluan. Jadi saya minta sama panitia buat berangkat aja, dan bilang mau nyusul marshal di depan saya.
Lima kilometer pertama yang berat, tapi karena saya masih on fire, saya lalui 4 kilo lebih dengan berlari dengan pace 7:25 sampe 8:20an. Baru akhirnya sekian puluh meter sebelum turunan saya sambil jalan karena kerasa semakin berat. Udara dingin Ambarawa meniup niup keringat yang mulai keluar. Badan jadi agak nggak keruan antara panas dan dingin kena angin malem.
Tepat lima kilo, tanjakan ini berubah drastis jadi turunan tajam. Terus nurun dan berkelok kelok. Saya nyalip beberapa pelari, kebanyakan pelari individu sih yang udah hampir 24 jam berada di jalanan. Dari kejauhan saya lihat lampu merah berkedip kedip, berayun ayun ngikutin irama lari. Saya kenal nih kayaknya, si Anes nih pasti. Saya inget dia mamerin saya pake lampu sepeda yang diiket di hydro bagnya. Pelan pelan saya naikin pace biar bisa nyusul si Anes.
Karena si Anes udah lari 40 kilo lebih, dan masih harus ketemu 30 kiloan lagi, jadi mau tak mau saya tinggal karena pacenya tentu beda sama saya yang lari setengah dari jarak dia. Di daerah sini masih banyak pemukiman warga, juga hotel hotel melati dan tempat karaoke, yah walopun banyak juga tempat yang gelap sih. Masih banyak mobil seliweran, jadi saya masih pede aja lari sendiri nggak perlu nyari marshal buat dikawal.
Memasuki KM 7 saya ketemu hantu! Bukan berbentuk pocong atau kuntilanak, tapi berbentuk rasa mules! Nggak enak banget lari dengan kondisi kebelet begini, nanti deh kalo ketemu musholla, atau mini market saya mau numpang ke kamar mandi. Beberapa ratus meter saya berlari, saya ketemu Alfamart. Tapi entah kekmana, hantu itu udah pergi, nggak kerasa lagi tanda tanda kehadirannya. Ah, cuma diganggu sebentar doang berarti. Udah enak lagi buat lari.
KM 7.5 jalan sampai di Jalan Jend. Sudirman, jalan raya yang menghubungkan Ungaran-Bawen. Sempet lewat pom bensin juga, tapi karena udah nggak ada lagi gangguan dari hantu tadi, saya memutuskan untuk lanjut berlari. Sampai ketemu WS 7, dan gangguan hantu udah nggak dirasakan lagi.
Di WS 7, tepatnya di KM 8, saya ambil bekal air mineral, minum sebentar, mastiin semua oke dan nggak ada masalah, saya melanjutkan perlarian. Nah, kali ini jalanan memasuki ke arah Hutan Penggaron. Jalanan sepi sekali, dan kanan kiri jalan berupa semak semak dan kebon. Sekitar satu kilo saya berlari, gangguan hantu itu datang lagi. Kali ini lebih dahsyat, di tempat yang bener bener gelap, sendirian, dia datang tiba tiba. Perut ini kayak diremes remes, saking mulesnya sampe beberapa kali saya nggak sanggup buat jalan. Saya tetep lari, berharap ketemu warung yang masih buka. Tapi, beberapa kali ketemu perkampungan, karena sepi, saya melanjutkan perlarian karena nggak mungkin saya gedor rumah orang malam malam begini. Jalanan masih gelap dan sepi, gangguan hantu masih terus bergejolak. Sampai akhirnya saya ketemu ada proyek di kanan jalan, di KM 16 sekian. Ah pasti mereka punya kamar mandi, karena udah nggak tahan lagi akhirnya saya nemuin beberapa orang yang lagi duduk duduk di depan proyek. Saya minta izin buat minjem kamar mandi karena dari tadi udah diganggu hantu nggak pergi pergi. Baik banget Bapak ini, saya sampe dianter ke lokasi kamar mandinya. Ternyata kamar mandinya bersih! Saya udah kepikiran bentuk kamar mandinya bakalan kumuh, ternyata airnya juga lancar dan bersih. Dan ternyata lagi, saya mencret. Saya inget inget, perasaan dari kemaren nggak makan yang aneh aneh. Apa mungkin karena lari malem malem ya? Ditambah angin malem dan udara Bandungan jam 11 malem yang mencapai belasan derajat Celcius. Yang paling saya takutin dari hantu ini: diare.
Beres lepas bongkaran, saya bisa berlari dengan enteng lagi, dengan semangat lagi, wiihiii.
Sekitar satu kilo saya berlari, saya ketemu satu pelari cewek di depan saya, ada marshalnya juga. Jadi saya naikin pace biar bisa barengin sekalian. Nah lucunya, pas saya udah barengin Mbak Mbak ini, eh marshalnya pergi. Laah? Ini Mbak Reni dari Playon Jogja, ternyata tadi yang nemenin bukan marshal dari panitia dong. Jadi karena Mbak Reni nggak ada marshal yang nemenin, dia minta tolong warga buat nemenin dia lari. Haduuh, bahaya juga sih sebenernya. Jadi saya temenin Mbak Reni. Yah, walopun banyak jalannya dari pada lari. Tapi saya maklum, Mbak Reni ini ambil Relay 2, udah lari sejauh ini jadi saya maklum kalo di KM segini udah campur larinya sambil jalan kaki. Sekitar dua kilo saya nemenin Mbak Reni, datang marshal yang mau ngawal. Jadi, karena sudah ada marshal yang nemenin Mbak Reni, saya duluan deh. Ndak papa sendiri, biar cepet beres, cepet istirahat juga.
Masuk ke KM 20, saya ketemu marshal lagi, bukan marshal sih sebenernya. Namanya Mas Fathkur dari Kudus, Mas Fathkur ini pelari juga tapi sedang bertugas jadi panitia yang saya sebenernya belum nanya dia di bagian mana panitianya.  Dan ditemenin Mas Fathkur ngobrol sampe ketemu WS 8 di KM 24. Enak juga lari long run gini dengan pace santai terus ditemenin ngobrol. Empat kilo dengan elevasi naik turun nggak kerasa. Matur nuwun Mas Fathkur, ketemu nanti di TKRM sama Borobudur Marathon yes?
Di WS 8 saya disambut oleh temen temen dari Semarang Runners! Muka muka yang familiar, karena beberapa kali saya lari bareng mereka. Yah, waloupun belum bisa rutin sih. Disambut dengan sangat hangat, ditawarin makanan, minuman anget, ditawarin istirahat dulu, ditawarin tidur dulu. Terharu banget saya sama temen temen SR di WS 8 ini. Tapi karena tinggal 10 kilo lagi, saya memutuskan lanjut lari lagi (setelah minta obat diare).
WS 8. Lupa foto sama temen temen Semarang Runners.
The latest 10K is the nightmare.
Samosir Lake Toba Ultra 2016, sebuah race di Pulau Samosir, Sumatera Utara. Saya ambil kategori 25K. Di race inilah saya sadar kalo saya benci turunan, saya mending ketemu tanjakan jahat dari pada turunan tajam. Ketika ketemu tanjakan jahat, masih bisa sambil jalan pelan pelan, yang penting keep moving on. Tapi begitu ketemu turunan, dibuat lari lutut kerasa sakit banget, karena harus ngerem dan nahan berat badan, dipake sambil jalan lebih kerasa sakit lagi karena lutut nahan beban lebih lama.
Nah, 10K terakhir banyak banget turunan turunan tajam. Sebenernya mulai dari awal lari udah ketemu beberapa turunan tajam, tapi nggak sesadis 10K terakhir ini. Belum lagi kelokan kelokan seksi. Kanan kiri hutan gelap, nggak ada lampu penerangan, jadi jalan hanya diterangin pake headlamp. Untung nggak lama saya lari sendiri di gelap gulitanya hutan penggaron ini, datang marshal nemenin. Kali ini Mas Masnya pendiem, saya nggak diajak ngobrol, dan dia nemenin dari belakang, nggak ngejejerin.
Di turunan tajem ini, beneran serba salah. Lari cepet takut kaki nggak siap dan nggak kuat, akibatnya bisa njungkel, alias jatuh nggelundung ke depan. Ketika dibuat jalan, waktu tiap lutut nahan beban lebih lama, sampe gemeter. Udah belajar taktiknya, ada yang ngajarin kalo lari diturunan, kalo lutut udah nggak kuat, larilah zig zag. Ternyata beneran membantu karena lutut nggak sepenuhnya menahan beban tubuh. Akhirnya beberapa kali memutuskan buat berhenti dan ngelemesin lutut, digoyang goyaing, dipukul pukul, ditarik tarik, biar lemes lagi. Sempet beberapa kali pas lewat perkampungan, duduk duduk di depan rumah orang, mengistirahatkan lutut. Sampe Mas Mas yang nemenin nawarin buat istirahat di warung deket situ. No no no. Perlarian ini harus segera diselesaikan.
Udah pernah kan Mas Bardiq, lari 10K? 8 kilo lagi bah! Itu aja yang ada di pikiran saya. Dengan team relay, kami sepakat untuk update share location di group WA setiap 60 menit. Tapi udah dari jam 12 lewat tadi saya udah nggak update lagi. Udah pada tidur pasti anak anak. Awalnya sih rencananya pada nungguin di garis finish, ah tapi pasti pada capek, masa iya lagi enak enak tidur di hotel terus dibela belain jam 2 pagi ke Desa SOS buat nyambut saya finish. Saya juga capek sih, jadi mending setelah finish mau pulang ke kosan dulu, ntar pagi baru ke Desa SOS lagi.
Lalu saya sampai KM 30, WS bayangan sekaligus WS terakhir. Tempat terakhir untuk istirahat dan bawa bekal. Lagi lagi saya disambut dengan sangat hangat, kali ini dari temen temen dari Freelatics Semarang. Sempet ditawarin istirahat juga, buat lanjut besok pagi. Ah, kasur di kosan udah manggil manggil, 5K terakhir! Ayo kita selesaikan!
Foto bareng temen temen dari Freelatics Semarang yang jaga di WS bayangan.
Saya sudah dikasih warning sih buat 5K terakhir, tanjakan gilaaa, jahat banget. Dan iya, saya membuktikan sendiri. Dengan ditemenin tiga orang dedek dedek pramuka, mereka yang naik motor bahkan harus duluan karena kalo barengin saya lari, motor bakalan susah buat naik. Saya nyampe harus beberapa kali ditinggal dan ditungguin di tempat yang agak landai.
Tanjakan menyiksa ini akhirnya berakhir tepat di KM32. Tinggal 3 kilo lagi. Adek adek ini udah kasih semangat, “Ayo Pak, sebentar lagi sampe finish.” Iya, gue dipanggil Bapak. Padahal saya yakin umur kami nggak terlampau jauh. *pret
Tiga kilo terakhir saya mengerahkan sisa sisa tenaga saya, saya bisa berlari di pace antara 6:30 sampai 6:50. Agak heran juga, kok masih bisa lari dengan pace segini setelah digempur tanjakan jahat dan turunan penggilas lutut. Dan barusan saya buka di strava saya, ternyata selama 35K, pace saya relatif stabil. Mungkin karena latihan Run to Ungaran yang bener bener kerasa manfaatnya.
Itu pace saya ditandai dengan garis biru. Relatif stabil ya. Paling ada beberapa palung laut karena gangguan hantu, berhenti di beberapa WS, dan berhenti di beberapa tanjakan juga turunan yang kelewat jahat.
Dan di sinilah momen paling haru itu datang. Momen saya sangat bersyukur bisa menjadi pelari terakhir, bisa merasakan suasana finish. Sekitar dua puluh meter sebelum memasuki garis finish di desa SOS, gegap gempita suara adek adek sudah mulai terdengar, tepuk tangan dan teriakan, detik detik menjelang finish, detik detik melewati pita finish, saya disambut puluhan adek adek. Rasanya bahagia, terharu, MC lalu menyambut saya. Saya bener bener terharu. Sebagai pelari relay 4 saja saya merasa sebahagia ini, apalagi pelari individu ya. :’((
Saya finish dengan catatan watku 04:54:56. Padahal target saya maksimal 04:30 aja. Yah nggak papa, namanya juga ada gangguan hantu.
Menjelang detik detik sampai di garis finish. Photo by: @iksanity x @rungrapher
Feels like a champion! Photo by: @iksanity x @rungrapher
Ditemenin jersey runmdn.
Setelah finish, saya dihadiahkan medali dan finisher tee. Untuk finisher tee semua sama, jadi saya kayak udah lari 150K aja pas makeknya. Untuk medali, di bagian belakangnya dibedakan. Ada ukiran kategori dan pelari keberapanya.
Saya lalu diajak ke tenda istirahat, berjejer velbed. Udah lumayan banyak juga yang udah finish, pada tidur. Setelah pendinginan bentar, saya nyari tempat buat ngambil baggage drop. Saya berdoa moga moga tas saya udah dianter. Karena kunci kosan saya ada di tas. Percuma ngebut cepet finish kalo ternyata tas saya masih di CP 3. Ternyata tas saya udah dianter. Senengnya!
Saya langsung order grab dan pulang ke kosan! Pas saya jalan ke luar, pas banget si Anes juga lagi finish. Luar biasa memang si Anes ini. DI Lombok Marathon, catatan finish Full Marathonnya masih di bawah saya, 6 bulan setelah itu di Pocari Sweat Bandung Marathon udah finish di sub 04.30! *hat off
Menyambut Yohanes finish.
Kami janjian untuk ngumpul lagi di Desa SOS jam 10 siang. Agendanya untuk ngambil finisher tee dan medali temen temen. Tentu saja: Foto foto. Hahahaha.
Ini jersey yang saya jual ke temen temen angkatan.
BC Runners!
Ditemenin Mas Bai jadi support kami. Terima kasih!
Donasi untuk kegiatan Run to Care ini masih dibuka sampai tanggal 31 Agustus 2018 loh. Ayok bersama sama kita jadikan anak anak Indonesia menjadi Anak Muda yang Hebat! Untuk ikut berdonasi, langsung aja klik di sini ya.

Untuk yang mau lihat detill lari saya bisa juga mampir ke halaman Strava saya di sini.
Kami memang capek berlari, tapi sesungguhnya, ratusan panitia dan marshal yang lebih capek dari kami. Mereka mempersiapkan semuanya jauh jauh hari dengan sangat matang, dengan sangat siap. Charity run tidak melimpah WS, tapi alhamdulillah kami tercukupi. Kita orang orang baik, pelari yang rela menjadi fundraiser untuk mengajak orang orang berdonasi, panitia yang rela mengorbankan ratusan jam untuk memastikan acara ini berjalan lancar, dan kamu tentu saja bisa ikut menjadi bagian dari keluarga ini untuk menjadikan anak anak Indonesia menjadi anak anak yang hebat! Terima kasih.
Photo credit: Kutaktahu siapa yang moto. Di group Telegram cuma dishare aja sama Mas @kopiwarnapink.

2 thoughts on “Berlari Sebagai Bentuk Kepedulian Terhadap Anak Anak, Run to Care 2018: Yogyakarta ke Semarang.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.