Day 12 in Norway, “A Postcard from Jægervatnet”

18 September 2018: Jægervatnet
Saya masih ingat pagi di mana saya tersenyum puas karena semalaman bisa ditemani Northern Lights yang bahkan bisa saya saksikan menari-nari dari kamar Airbnb. Setelah mandi, kami sarapan dengan bakso ikan kaleng sisa makan malam. Rupanya banyak juga porsi sekalengnya. Satu kaleng bisa untuk makan berdua dua kali.
Cukup lama kami packing karena yang nginap satu malam aja biasanya kami bisa bikin satu kamar berantakan, ini kami sampai dua malam nginap di satu rumah. Bahkan saat kami udah nunggu bus tepat di seberang rumah Airbnb, saya sampai harus balik lagi ke dalam rumah buat nyari beberapa barang yang saya rasa ketinggalan, termasuk lupa matiin heater rumah juga sih.
Jam 07.50 seharusnya bus 150 yang bakal membawa kami ke tujuan selanjutnya sudah datang, tapi sampai jam 08.00, bus belum juga datang. Sempet dateng satu bus besar dengan warna putih yang khas menepi, tapi ternyata bukan juga bus kami.
To Tromsø? It’s still behind. Don’t worry.” Cuma begitu kata driver bus untuk menjawab senyum memelas kami.
Saat saya buka website operator bus di tromskortet, ternyata bus 150 kami tujuan Tromsø memang terlambat. Keren juga nih, di website tromskortet, selain bisa ngecek rute, ternyata kita juga bisa ngecek posisi bus secara realtime! Jadi kalau lagi panik kayak kami, nunggu bus kok nggak dateng-dateng, tinggal cek aja di website, nanti akan ada lingkaran-lingkaran kuning di suatu halte yang menandakan posisi bus saat itu. Bahkan kalo bus memang terlambat, jadwal kedatangan di tiap halte bakal dicoret dan diganti dengan waktu estimasi yang terjadi karena keterlambatan. Canggih kali ah!
Dari kejauhan jalan E6 yang mengukir Lyngenfjord, nampak bus-yang-saya-yakin-adalah-bus-kami mulai mendekat. Saat bus menepi, sekali lagi saya menatap rumah Tor Henning, host Airbnb paling kocak dan ramah yang pernah saya temui. Ada perasaan ingin mengecek rumahnya sekali lagi, mana tau masih ada barang saya yang tertinggal, yah.. selain remah-remah kenangan yang memang tersebar dari depan rumahnya saat semalaman menggigil di bawah Northern Lights, di sekitar ruang santainya karena terkagum-kagum melihat Lyngen Alps dari teropong milik Tor, hingga tercecer di belakang rumahnya saat meniti jalan rahasia menuju Mount Storhaugen.
Do you know why I called him the most hilarious host I’ve ever met? Karena sempet beberapa kali saat ngobrol dari aplikasi Airbnb, I put ‘wkwkwkwk’ and told him that’s how Indonesians laugh. And he kept using wkwkwkwk!
Thank you!
Lyngen Alps dari ruang santai.
Tromsø? Not yet! Bus ini memang punya trayek Strorslett-Tromsø, tapi tujuan kami belum sampai Tromsø dulu. Kami masih mau main-main seharian lagi di sekitaran Lyngen sebelum menuju Tromsø. Bus sempet naik ke ferry saat sampai di Olderdalen dan menyeberangi Lyngenfjord ke Lyngseidet. Biaya tiket ferry sudah include dengan biaya tiket bus senilai 90 NOK dari Jovollen ke Svensby. Yes, Svensby adalah kota tujuan kami selanjutnya.

This slideshow requires JavaScript.

Saat di ferry, saya duduk di depan kantinnya, memandangi coffee machinenya. Sambil menimang-nimang, ngopi-enggak-ngopi-enggak, toh sebenernya udah ngopi juga tadi pas sarapan di rumah Tor, tapi godaan aroma kopi lumayan menggelitik, walopun akhirnya tak membuat saya tergoda. Karena dompet saya nggak cuma menampar godaan aroma kopi, tapi sampai menendang sampai si aroma kopi terjungkal balik.
Kami sampai di Svensby ferjekai (ferry terminal) jam 9.30 lebih. Saya langsung menghubungi Mari, host Airbnb kami di sini. “Hello Mari, we’re already in Svensby terminal. Just to let you know.
Bukan tanpa alasan saya menghubungi Mari, tapi sebenernya karena beberapa minggu sebelum saya memulai trip ke Norway, Mari sendiri yang menghubungi saya. Nanyain, sampe tempat dia kapan, naik apa. Saya jawab aja, “Hello Mari, thank you for letting me know. We are planning to come from Djupvik and stop at Svensby by bus. We are gonna rent bikes to your place. Is that possible?
Yees, sebenernya dari Svensby kami harus menempuh 10 kilo ke utara lagi. Dan beberapa kali browsing, memang ada bus yang bisa kami naikin, bus ke arah Ravik. Tapi jadwal bus yang nggak enak, jadi kami mending cari sewa sepeda di Svensby. Ada beberapa tempat persewaan yang kami temuin dari hasil browsing, dan harganya hampir sama semua, 250 NOK per 24 jam. Kalo diRupiahin sebenernya hampir 500 ribu. Hahahaha, seharga nyewa Innova di sini.
Tapi, balesan dari Mari bikin saya senyum-senyum terus, “I don’t know about bike rentals in Svensby It’s a small place. But I think I can pick you up there and we have some bikes you can borrow if you like.“  Helloooow Mari? Of course we like! Like banget malah.
Sekitar 10 menit kami nunggu di depan kantor Tourist Information yang masih tutup, sebuah mobil sedan menepi, seorang wanita berambut blonde panjang sepunggung keluar dari mobil dan tersenyum sambil melambai ke kami. Sepintas and I was like, “Anna Faris? Is that you?”
Setelah menyalami kami satu-satu dia mempersilakan kami masuk ke mobilnya. Saya duduk di samping Mari, Adityo memilih duduk di belakang. Dia banyak nanya tentang kami, tentang rute perjalanan kami, tentang negara kami berasal, and surprisingly ini kali pertama dia ketemu dengan orang Indonesia. Katanya, belum pernah dia ketemu orang Asia Tenggara jalan-jalan sampai ke Lyngen, apalagi menginap di Lodgenya, Hmm, kind of honored though.
Saat kami bercerita akan menuju Tromsø besok pagi, Mari bahkan menawarkan tumpangan. Dia dan suaminya ada urusan ke Tromsø besok pagi. Tadi saat ditawarin dijemput di Svensby saya hanya sebatas like aja sama si Mari ini, sekarang setelah ditawarin tumpangan sampai Tromsø perasaan like ini seperti semakin berkembang dan berbenih. Hahahahaha. Ah, Mariiii. Baik sekali kamu.
But we’re kind of in a rush. So maybe we’re gonna leave to Tromsø very early. At 8 okay?” Ah, jam 8 aja very early! Belum tau aja si Mari ini kalo jam 5 pagi pun kami bisa udah selesai packing dan siap diangkut ke Tromsø.
Saat kami sibuk saling tanya jawab semacam lomba cerdas cermat, tiba-tiba si Mari si juri lomba ngerem mendadak. “A fox!” Seekor rubah berwarna coklat keoranye-oranyean menyeberang tepat di depan kami. Bahkan saat mobil sudah berhenti, si rubah ini masih berdiri dengan curiousnya balik menatap ke arah kami, sebelum kemudian melompat-lompat ngumpet di balik semak-semak.
Pak Adit yang duduk di belakang kusir yang sempet moto.
Sekitar 15 menit berkendara menyusuri fjord, kami pun sampai di sebuah persimpangan. Mobil Mari berbelok ke sebuah pekarangan luas dengan beberapa bangunan bercat merah tua.
That’s Collin, my husband.” Kami keluar dari mobil dan disambut seorang lelaki tinggi dengan rambut pirang pendek.
Setelah Collin menyalami kami, seekor Alaskan Malamuta ikut berlari-larian mendekat. “Is he (actually a she) friendly?” Tanya saya kepada Mari. “Sure, Nukka is friendly.”
Ah, Nukka! Baru beberapa detik saya mendekat, dia udah berhasil membuat jeans sama jaket saya najis kena air liurnya. Hahahaha. Terlanjur sudah. Lucunya maksimal.

This slideshow requires JavaScript.

Kami sampai di rumah Mari dan Collin belum jam 10 pagi. Menyenangkannya tinggal dengan penduduk local selain tentang keramahtamahannya, juga kita lebih leluasa untuk masalah jam datang ataupun saat melanjutkan perjalanan. Kami sudah dipersilakan masuk dan minjem berbagai peralatan mereka bahkan sebelum kami resmi check in.
Ah, this is the view in front of their house.

This slideshow requires JavaScript.

Mari dan Collin mempersilakan kami masuk rumah dua lantainya dan mengajak kami tour singkat. Kamar kami ada di lantai dua, tapi nanti aja kita naiknya, begitu kata Mari. Kami diberi sandal rubber Crocs KW Super untuk di dalem rumah. Setelah melewati mudroom tempat saya melepas boots, Mari dan Collin mengajak kami ke dapur mereka, menunjukkan peralatan dapur yang boleh kami pakai semau kami, tempat sampah yang mereka pisah sampai empat jenis, sampai di ruang makan yang tersambung dengan ruang santai.
Oh.. my.. gawd! (in Janice style). Saya sampai ndomblong begitu masuk ruang santai mereka. Mereka punya jendela besar-besar di sepanjang dinding yang menghadap ke sebuah danau di seberang rumah mereka.
Jægervatnet. Jæger: Hunter, vatnet: lake. The hunter lake.” Mari menjelaskan. Danau ini membentang luas di depan rumah Mari dan Collin. Dengan pegunungan di kejauhan sebelah kanan, dan hutan-hutan menjulang di bagian kiri. Burung-burung terlihat beterbangan di atas danau. Cuaca yang dari tadi pagi sangat cerah membawa semilir angin menggoyangkan daun-daun. Beneran kayak…
3D painting! It’s like a 3D painting!” Kata saya berulang-ulang ke Mari. Dia hanya tertawa membalas pujian saya.
Sadly, I couldn’t take any picture to show you.
Selesai tour singkat, kami naik ke lantai dua, rumah mereka di lantai dua memang disulap menjadi penginapan. Sebuah koridor membelah beberapa pasang kamar. Kami ditunjukkan kamar yang ada di tengah sebelah kanan. Sementara kamar mereka ada di sebelah kiri di dekat pintu masuk.
Mari dan Collin memang menyewakan kamar-kamar di rumahnya, Lyngen Mountain Holidays. Hari itu nggak ada tamu selain kami berdua. Memang area Lyngen terkenal di Norway saat winter untuk olahraga ski, jadi selain musim orang-orang bermain ski, kamar-kamar di rumah mereka lebih sering tak ada tamu.
Karena Mari sudah berjanji mau minjemin sepeda, setelah kami meletakkan tas-tas besar kami, kami diajak untuk turun kembali, ada sebuah gudang tak jauh dari rumah mereka. Collin mengambil dua sepeda dari dalam gudangnya. Satu sepeda mengingatkan saya dengan sepeda tua yang saya temuin saat mampir ke kampung Ibu saya. Sepeda onthel berwarna oranye dengan frame melengkung lengkap dengan boncengan di belakang dan bel sepeda berbunyi ‘kring.. kring..’ yang sudah berkarat. Satu lagi sepeda gunung ukurang lumayan kecil. Saya tentu saja buru-buru ambil sepeda onthel oranye!
I want to ride my bicycle~
Karena masih jam 11, jadi kami ingin keliling berjalan kaki Jægervatnet dulu, sampai nanti saat waktu makan siang. Baru menjelang sore kami mau hiking ke sebuah danau yang menjadi alasan kami menyerah untuk mengexplore Senja Islands dan menggeser tujuan kami sampai ke Lyngen: Blåvatnet. (Blå: Blue, vatnet: lake. Blåvatnet: The Blue Lake).
Nggak jauh setelah kami meninggalkan Airbnb kami, kami disambut seekor kucing berbulu tebal warna hitam dan putih. Ketika saya bilang ‘disambut’, beneran kayak disambut. Dia duduk diem aja di depan rumah Mari, pas didatengin dan dielus-elus juga selayaknya kucing biasa: manja-manjaan gitu. Tapi kemudian saat kami tinggal, dia ternyata ngikutin kami. Ah, karena nggak tau namanya, kita panggil Si Sapi ya? Karena warnanya yang hitam putih kayak sapi.

This slideshow requires JavaScript.

Saat kami berbelok di persimpangan pun si Sapi ternyata masih aja ngikutin kami.

This slideshow requires JavaScript.

Perjalanan kami pertama ke jembatan nggak jauh dari rumah Mari. Di kejauhan nampak gunung-gunung berjejer yang di atasnya tertutup salju. Sungai membelah pepohonan lebat yang daun-daunnya sudah menguning. Cuaca lumayan mendung, tapi matahari masih menemani sepanjang jalan-jalan siang kami.
Jægervatnet
Kami berjalan lagi dan ketemu papan penunjuk trekking. Semacam papan pengumuman yang menjelaskan rute, kondisi, dan level trekking gitu. Ada dua rute trekking di papan itu, rute Jægervatnet-Svensby dan Storbakk. Baru juga kami lihat-lihat rute trekking ini, tiba-tiba hop-hop-hop. Si Sapi langsung lelumpatan di atas papan petunjuk trekking. Seolah-olah kasih guide ke kami sambil berujar, “Nih lho bro, gue pernah trekking ke Storbakk. Viewnya mantep, tracknya juga nggak berat.”

This slideshow requires JavaScript.

Pas kami tinggal eh dia ngeong-ngeong minta tolong nggak bisa turun sendiri. Dasar sapi!
Kami lalu berbelok mengikuti sungai, sampai akhirnya ketemu Lake Jæger di sisi seberang (dan tentu saja si Sapi masih ngikutin kami). Saya tertegun lama memandangi danau. Di depan saya sebuah lukisan berupa gunung-gunung dan pepohonan serta beberapa rumah warga terpantul sempurna di danau karena tenangnya permukaan air. Saking jernihnya air danau, batu-batu gelap di dasar danau tampak jelas dan membuat bayangan langit dan awan tertangkap lebih sendu.
Kami menikmati Jægervatnet dari tepi danau, sementara si Sapi melompat-lompat di rerumputan sekitar tepi danau. Suasana terasa sangat tenang, gemercik air dan kicauan burung bersaut-sautan. Angin terasa berhembus sejuk, sama sekali tidak dingin menggigit.
Karena udah mulai laper, ternyata juga udah jam 12 lewat, kami memutuskan untuk balik ke Airbnb.
“Loh mana tuh kucing?”
Dan entah ke mana perginya si Sapi, yang dari tadi kami perhatiin asik mainan rumput, sekarang udah ngilang. Jadi kami jalan balik sambil sesekali nyariin si Sapi mana tau tiba-tiba lari nyusul.
Sampai di Airbnb, rumah terasa sepi, Nukka tidur siang di rerumputan, Collin memang ada pekerjaan, he’s a carpenter by the way. Kalau Mari ada di kamarnya di lantai dua. Menu makan siang kali ini kami memilih nasi dengan lauk bakso reindeer kaleng. Rasanya bakso reindeer? Hmm. Pas pertama kaleng dibuka, baksonya berwarna putih kental. Bumbunya kelewat asin, dan baksonya terasa kenyal. Mungkin karena makanan kaleng, jadi saya kasih rate 5/10. Saat saya makan, saya melihat tatakan di depan masing-masing kursi makan bergambar peta Canada.
Selesai makan dan kami bersiap-siap untuk trekking! Saya udah nggak sabar untuk sepedaan meniti Lyngen. Sepeda kami nggak dilengkapin dengan gembok ataupun kunci pengaman, cuma diminta agak disembunyiin aja di semak-semak. “No one wants to steal those bikes,” malah begitu jawaban Collin.
Pas kami sampai halaman depan, Nukka yang tadi lagi bobo ciang kini udah terbangun, sambil matanya agak merem-merem dia ngulet-ngulet.
Sepeda onthel saya ternyata ngeri juga ketika dipake di jalan turun, karena untuk ngerem harus dikayuh e belakang. Well, turunan di depan rumah Mari pun berubah mencekam, dan whoosh… saya ikutin aja laju sepeda sampai terus masuk ke jalan aspal. Si Adityo ngikutin dari belakang dan pas saya nengok ke belakang,
“Lah Dit, si Nukka ngikutin kita?”
Si Nukka berlarian ngikutin kami sepedaan. Dia berlarian sambil goyang-goyangin ekornya.
“Hmm, deket doang kali. Nggak jauh.” Si Adit ngejawab singkat.
Awalnya kami ajak becanda sekalian si Nukka ini.

This slideshow requires JavaScript.

Yes, I miscalled her Luka instead of Nukka.
Jarak rumah Mari sampai di Trailhead untuk trekking ke Blåvatnet hanya 6 kilo. Itulah kenapa kami memilih untuk berencana nyewa sepeda dari Svensby karena memang saking dekatnya jarak dari Svensby ke Jægervatnet lalu dari Jægervatnet ke Blåvatnet, tapi jauh juga kalau mau jalan kaki.
Udah hampir satu kilo dari rumah Mari, dan si Nukka tetep berlarian ngikutin kami.
“Dit, ntar ilang loh si Nukka. Kek si kucing tadi pagi.”
Dan nggak diiket juga si Nukka, bebas dia berlarian. Jadi karena takut si Nukka bakal ngikutin kami terus, kami akhirnya berputar arah. Kami balik lagi ke Airbnb. Untungnya nih si Nukka ngikutin kami puter balik. Entah bakal kekmana ceritanya kalau si Nukka tetep lari-larian dan nggak ikut kami balik ke rumahnya. Sampai di rumah Mari, dan saya langsung naik ke lantai dua, saya ketuk-ketuk kamar Mari.
Mari, we were about to go to Blåvatnet, but Nukka kept following us. I’m afraid that she’d get lost.
Mari hanya membalas dengan tertawa sebelum meminta maaf. Lalu dia ikut kami turun dan mengikat Nukka.
Thank you Mari!
Dan yes, kami melanjutkan persepedaan.
Bersepeda dari rumah Mari sampai Trailhead ke Blåvatnet, merupakan pengalaman yang sangat sangat sangat menyenangkan. Kami menyusuri Jægervatnet, dengan Lyngenalps di kejauhan. Jalanan sangat sepi, udara sangat segar, hanya satu atau dua kendaraan yang sesekali melintas.
Di Norway (apalagi di daerah-daerah suburbnya) masih banyak binatang yang tiba-tiba melintas baik sehewan diri atau sekawanan. Jadi kita bisa nemuin banyak Animal Traffic Signs seperti ini. Sign hewannya pun bermacam-macam. Bisa Elk, Red Deer, Sheep-and-Lamb, dan seperti yang (akhirnya sempet) saya foto: Reindeer. Bahkan kalau kamu sampai di Svalbard (yang sayangnya saya tak sampai ke sana) ada danger sign untuk Polar Bear.

This slideshow requires JavaScript.

A superb photo by @prabowoadityo
Sekitar jam 1 kami memulai trekking, semua hal yang perlu kamu ketahui tentang trekking yang super easy menuju Blåvatnet sudah saya bahas lengkap di tulisan saya di sini ya!
Ini saya bagi saja foto-foto selama menuju ke Blåvatnet.

This slideshow requires JavaScript.

Ten meters before the lake.
Meskipun trek yang relatif datar, kami tetep harus berhati-hati karena trek yang berbatu-batu. Ada banyak gap di antara batu-batu, jadi kalo nggak hati-hati ya kaki bisa nyungsep.
Hanya sekitar satu jam lebih kami trekking, akhirnya kami sampai di Blåvatnet. Dari beberapa artikel yang saya baca tentang Blåvatnet, banyak yang merekomendasikan untuk ke mari saat sore hari, yaitu pas waktu sinar matahari pas menerangi danau. Danau yang berwarna biru saat terkena sinar matahari ‘katanya’ menjadi terlihat jernih. Tapi pas kami sampai, matahari ngumpet di balik mendung. Dan air danau terlihat biru dengan paduan gunung-gunung besar dengan salju yang menghiasi puncaknya, It looks so cold and beautifully gloomy!
Blåvatnet

This slideshow requires JavaScript.

Blåvatnet merupakan danau yang terbentuk dari lelehen glacier Lyngenalps. Jadi namanya juga lelehan glacier, airnya pun super dingin.
Ah sok tau super dingin segala lu Mas Bardiq, macem nyebur aja.
Yes! Kami memang udah mempersiapkan celana pendek untuk nyemplung ke Blåvatnet. Setelah perdebatan hebat tentang siapa duluan yang nyemplung, akhirnya diputuskan dengan cara klasik, pingsut, alias suit. Dan gue pemenangnya. Adityo yang nyebur duluan. Selagi Adityo lepas-lepas baju saya coba atur di sudut pandang paling enak buat ambil foto. Lha wong pake jaket tebel aja masih kerasa dingin, ini kami mau nyemplung ke air es. So we have to do it quick.
And after Adityo’s turn, here I go, dipping into the ice cold water!
Setelah lepas baju, angin sudah mulai membuat badan begidik. Saya pun masih harus berjalan sekitar 20 meter ke tepi danau. Sementara baju dan handuk saya letakkan di dekat lokasi Kang Poto. Saya berdiri di batu besar di tepi danau. Nggak seperti saat saya loncat di Blue Pools di Haast, yang harus mempersiapkan mental karena ketinggian jembatan sampai 12 meter, kali ini jangan mikir terlalu lama biar nggak semakin dingin.
Saya nunggu kode dari si Adityo, dia kasih tanda ‘oke’, dan saya langsung melompat.
Saat badan masuk ke dalam air, rasanya seperti seluruh badan ditusuk-tusuk jarum. Dan wops! Lutut saya kebentur batu-batu di dasar danau. Ternyata lokasi kami nyebur di Blåvatnet nggak begitu dalam. Padahal dari atas sudah nggak nampak dasar danaunya, pas saya coba bediri, ternyata dalemnya cuma sedada aja. Begitu nyemplung langsung susah payah buat balik ke daratan. Badan sampe bergetar hebat karena saking dinginnya air es ini.
Saya cek lutut, cuma lecet aja. Adityo tahu dia cuma ketawa-ketawa ngikik aja.
Dipping into the ice cold water.
Karena sudah jam lima sore, kami memutuskan untuk kembali ke Airbnb. Tadi saat berangkat ke Blåvatnet, saya sempet ngajakin Adityo keliling pulau, kecil sih, mungkin sekitar 2 jam sekali puteran. Tapi ya gitu, kami tiba-tiba selalu punya 1,001 alasan kalau udah capek beres trekking. Mendung ya? Udah mau gelap ya? Padahal dalam hati: Capek nggak sik brooo? Jadi kami memutuskan untuk balik ke Airbnb.
Beberapa saat sebelum sampai ke Jægervatnet, di kanan jalan ada lahan luas yang dikelilingi pagar kawat. Dari jauh kami bisa melihat beberapa highland cattle yang lagi merumput. Tau kah kamu apa itu highland cattle? Highland cattle adalah salah satu jenis sapi dari jenis peranakan dari Scotland. Yang bulunya warna coklat lebat, dan sampe nutupin setengah muka, terus punya tanduk panjang.
Kami otomatis menepi, dan mendekat ke pagar kawat. Sebenernya kalau mau foto juga jauh banget, mana pake lensa fix. Kami nggak berani mendekat lebih lagi mengingat saya pernah kesetrum kawat pagar begini saat di Voss. Ada tiga ekor yang kami lihat sekitar 50 meter di atas bukit. Saat saya lagi ngintip-ngintip di balik lensa tiba-tiba si Adityo teriak-teriak nggak jelas.
“AOOOOEEEE!! AUUUUU! ULULULULULULU!!”
Saya melongo aja lihat kelakuan si Adit yang lagi mancing perhatian sapi, saya pernah lihat orang main terompot atau trombone, tapi ya nggak teriak-teriak begini sih. Tapi eits, ketiga cattle ini semuanya berhenti mengunyah.

Sadar kalau cara si Adityo memang mengundang perhatian mereka, saya ikut teriak-teriak. Dan jadilah kami seperti dua orang bodoh berteriak-teriak di tepi kandang sapi.
“AUUUUUUOOOOO! AUUUUU!”
“ULULULULULULU! AUUUU! ULULULULU!”

Dari ukurannya mereka belum dewasa, tanduk belum begitu panjang. Kata Mari saat kami ceritakan mereka adu tanduk, ini biasa mereka lakukan, kayak anak kucing main terkam-terkaman.

Nggak kerasa udah hampir jam 6 sore, Airbnb kami pun udah nggak jauh lagi. Saat bersepeda balik kami ketemu sama Mari yang lagi ngajak jalan-jalan Nukka, dan diiket. Sampai di rumah Mari pun kami sempatkan duduk-duduk di teras rumahnya. Collin sudah pulang, dan ada teman Collin yang juga seorang carpenter, Charlie. Charlie punya seekor Siberian Husky jantan yang begitu ketemu sama Nukka udah hampir tunggang-tunggangan. Dan selalu dipisah, karena mereka memang sedang mencegah ada puppies di rumah mereka. Dan lagi persilangan antara Siberian Husky dan Alaskan Malamute katanya tidak begitu banyak digemari. Jadi kalau sampai muncul puppies, mereka juga yang bakal repot. Akhirnya pun Nukka berakhir ngambek dan tiduran di dekat saya.
Kami ngobrol banyak hal sore itu. Mereka juga berbagi banyak cerita kepada kami. Collin dan Charlie ternyata asli Canada, dan Mari asli Finland. Oh, jadi menjelaskan kenapa di meja makan ada banyak tatakan piring dengan peta Canada. Lucunya, saat summer, Collin akan pulang ke Canada, dan Mari akan pulang ke Finland.
Pasangan ini belum dua tahun pindah ke Lyngen, Mari bercerita betapa sedihnya saat mereka sudah menabung banyak uang untuk membangun rumah impian di Tromsø, lalu karena ada suatu pertimbangan, rumah itu dijual. Sebagai gantinya mereka membeli tanah luas di pedesaan dan hidup dari beternak. But she said she loved living here.
Kami menutup hari dengan obrolan panjang di depan teras. Mereka bercerita seperti bukan seorang pemilik rumah ke tamu, tapi lebih ke sesama teman. This is another thing I like from staying with the locals, we would be treated as more than a guest. Some treated as a friend, and some others even treated us as a long friend.
Jægervatnet, sebuah danau yang terletak di Norway utara, jauh dari Lofoten Islands yang menjadi tujuan utama kami sampai di Norway. Kami tak banyak membayangkan seperti apa Jægervatnet. Hanya berbekal postingan seorang forografer, Even Tryggstrand (@eventyr), kami memutuskan untuk membatalkan perjalanan ke Senja Islands, dan memilih untuk menghabiskan tiga hari lebih untuk menemui beberapa tempat yang tak banyak kami temukan referensinya.
But I’m so glad we decided to choose Jægervatnet, I’m happy we were there.
Oiya, saya lupa. Saya belum menunjukkan keindahan Jægervatnet saat siang hari pas kami berjalan-jalan dengan si Sapi –yang ternyata betul kucing itu punya Mari dan entah di mana keberadannya.
Here, a postcard for you from Jægervatnet, right through my lens.

Click here to read all my stories in Norway.

15 thoughts on “Day 12 in Norway, “A Postcard from Jægervatnet”

  1. Kayaknya semua pembaca blog ini akan memulai komen dengan, “banyak banget yang mau dikomentarin, hmm dimulai dari mana, ya?”

    Wkwkwkwkwkw (ikutan cara ketawa lol). Ah ini perjalanan impian banget kayaknya ya Mas Akbar. Aku selalu suka kisah kalo udah nyangkut penduduk lokal kayak gini (walau ternyata mereka blasteran Finlandia dan Kanada haha).

    Bener-bener rezeki. Hemat sewa sepeda, sama ditumpangi ke Tromso. Eh jadi abis ini bakalan cerita soal Tromso ya? Yeaaay. Aku ada kenalan yang udah pernah ke sana, dan sirik bukan main pas dia pamer foto aurora. Aku tuh gak bisa disirikin anaknya, suka termotivasi buat “balas dendam.” So jadi tolong sirikin aku hahahaha.

    Sapinya keren. Eh mungkin karena baru kali ini liat (maksudnya setelah di IG). Kalau di sana aku maulah selfie sama si sapi. Eh si sapi beneran, bukan sama kucingnya Mari ya. Soalnya banyak di sini kucing kayak gitu. (Duh sentimen banget Yan komen soal kucingnya hwhw).

    Liked by 1 person

    1. Haloo Mas Yan. Aku sendiri nggak sadar kok draft di Ms Word sampe 8 halaman, Cerita selanjutnya perlu diilang-ilangin juga nih keknya. Hehehehehe.

      Iya bener Mas. Tapi sayang aku kelupaan mau foto bareng. Pas bikin draft aja baru keinget, “Hlaa. Kok nggak nyempetin foto bareng ya.” Kalo sama si sapi gimbal sepertinya aku agak trauma nggak mau deket-deket pager kawat Mas. Takut kesetrum lagi. Itu sampe ubun-ubun terus kesemutan seluruh badan. 😦
      Kenapa Mas? Nggak suka kucing kah?

      Iya Mas, habis ini tujuan kami baru ke Tromso! Saatnya mengumpulkan semangat nulis beberapa hari terakhir di Norway. 😀

      Like

      1. Eh maksudku di komentar sebelumnya baik loh buat nulis panjang haha, jangan diilang-ilangin mas Akbar. Sebagaimana biasa aja. Maksudku, saking banyaknya cerita seru, rasanya mau dikomenin semua hehehe.

        Iya, aku agak kurang suka kucing. Tapi ya gak benci ya. Cuma rada geli kalo kaki dielus-elus gitu hwhw. Tapi di rumah kami ada kucing. 4 bahkan. Aku bagian kasih makannya sesekali. Cuma kalo bagian elus-elus nggak hahaha.

        Ditunggu tulisan Tromsonya.

        Like

      2. Hahaha. Iya Mas Yan, cuma becanda. 😀

        Lhoo, kok bisa nggak begitu suka kucing tapi sampe pelihara ya. Padahal itu kucing lucu sekaliii Mas. Wkwkwkwkwk.

        Like

      3. Haha yang pelihara orang-orang di rumah. Karena ya itu, memang gak benci, hanya kurang suka aja kalo dia caper elus-elus buahaha.

        Like

  2. Ya ampun, mas. Kalo rumah host-nya kayak rumah Tor sama Mari gitu aku takut jadi mager hahaha. Santai-santai di rumah dan berjalan-jalan random di sekitar rasanya aku udah bahagia banget. Sayang sekali ya kamu nggak ada foto view dari rumah Mari dan foto selfie sama mereka.

    AKU PENGEN BAWA PULANG NUKKAAAAAA! SHE’S SO ADORABLE.

    Selamat, mas. Tulisan ini sukses bikin aku pengen ke Norway 😦

    Liked by 1 person

    1. Sebenernya kami milih dari segi harganya loh Mas. Dari semua yang accessible, mana yang paling murah. Hahahahaha. Yang paling murah aja begini nyamannya gimana kalo nginep di tempat yang mahal ya. Bisa-bisa selimutan aja sepanjang hari.
      Iya nih Mas. Aku urusan foto bareng pasti sering kelupaan. Ingetnya juga selalu pas bikin postingan. “Hlaah, sayang banget nggak ngajak foto.”

      IYAAA MAS! Gemuk dan friendly banget si Nukka. Walaupun gara-gara dia aku urusan sholat di sisa hari ngetrip jadi ribet karena jaket sama jeans udah kena air liurnya. Hahahaha.

      Ayook Mas. Tetep semangat kita nabung duit dan nabung cuti ya. 🙂

      Like

      1. Eh bisa jadi yg lebih mahal belum tentu sebagus itu lho, mas 😀

        Haha. Kalo aku sih nggak pernah lupa foto bareng saat meet up sama orang baru. Kalo nggak foto, berarti memang disengaja hehe.

        Amin amin, walaupun bukan di Norway dan nggak selama mas Bardiq, semoga bisa merasakan pengalaman seperti ini juga ya.

        Liked by 1 person

      2. Ah bener juga. Justru rumah-rumah mereka lebih nyaman karena lebih homey, beneran rumah tempat tinggal mereka ya. Bukan yang kek hotel hotel gitu Mas.

        Iya nih, next time harus lebih diseringin buat paling nggak selfie bareng. Kadang juga keasikan ngobrol terus lupa. Hehehehe.

        Aamiin Mas. 😀

        Liked by 1 person

  3. yang saya suka dari blog nya mas bardiq adalah sering diselipin komedi2 yang bikin ngakak literally ngakak karena saya nih selera humornya receh. apalagi pas bagian mas adityo teriak “AOOOOEEEE!! AUUUUU! ULULULULULULU!!, terus si mas akbar malah ikut2an. akutuh gabisa dibikin ngakak kek gini. plis ya mas-mas sekalian, aku menunggu trip-trip hemat bin gembel bin irit klean ke negara lain lagi. aku tuh pengen mas-mas nya ngeksplor negara lain lagi dengan berbagai cerita yang klean akan bagikan huhuhuhu

    cerita norway aja dah bikin aku ngakak+terinspirasi+ gatau lah bingung njelasinnya.

    CAN’T WAIT YOUR ANOTHER WORLD TRIP. KUDOAIN TABUNGANNYA SEGERA TERISI AGAR TRIP2 BERKUALITAS (rd hemat bin gembel bin irit) kek gini tidak punah.

    Liked by 1 person

    1. Halo Mbak Fitri. Thank you for you kind words! Baca baca komen begini yang bikin saya semangat buat nulis lagi nih.

      Aamiin, semoga kesampean juga ke tempat-tempat lainnya juga deh ya Mbak. 😀

      Sekali lagi terima kasih!

      Like

  4. Kenapa aku selalu ngakak tiap baca tromskortet ya 😄
    Seneng ya dapet host Airbnb yg super friendly dan baik kayak Mari. Terus terang tiap kali aku booking dan nginep di Airbnb jarang bgt ketemu sama host-nya.
    And the real stars on this story are Nukka, Si Sapi and the real Sapi 😄
    Pingin tak bawa pulang semuanyaa 😁

    Liked by 1 person

    1. Hahahaha. Namanya lucu ya? Asing juga soalnya. Banyak tempat yang namanya aku nggak yakin pengucapanku betul atau justru lebih lucu dari ejaannya. 🤣

      Kemaren pas trip Norway kebetulan lebih sering ketemu hostnya nih. Semuanya ramah dan dangat helpful.

      Iyaa. Tapi aku masih penasaran ke mana perginya si Sapi. Ngilang gitu aja, takut nggak balik ke rumah. 😁

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.