Cerita Trail Run ke Atap Jawa Tengah: Gunung Slamet via Bambangan

Lokasi
: Desa Bambangan, Purbalingga
Trailhead
: (-7.22959, 109.26496) or Google Location
Level
: Moderate – Hard
Ketinggian
: 3,428 meter dpl (elevasi awal: 1,517 meter dpl. Elevation Source: Garmin Fenix 3
Jarak
: 18.75 km (Pulang Pergi)
Waktu Tempuh
: 9-12 jam(Pulang Pergi)
Bulan Pendakian
November
Data berdasarkan Strava
: Click here to see My Strava Activity
Tracklog
: Download GPX File
Setiap event trail selalu membuat ajakan tektok naik gunung menjadi sangat impulsive. Kali ini virtual run yang diadakan MesaStila. Bukan, kali ini saya bukan sebagai peserta. Tapi penggembira aja. Ngeri juga lihat tantangan elevasi dari MesaStila yang harus diselesaikan setiap minggunya. Melihat catatan latihan saya setelah CTC Ultra pertengahan Feburari lalu yang lebih rajin selimutan ketimbang keringetan, saya memutuskan jadi tim gembira saja.
Geleng-geleng juga lihat group ini, orang-orang fakir elevasi sampai pusing, mikirin naik gunung mana minggu ini, “nyetrika” berapa kali, cari tanjakan di mana kalo latihan nggak di gunung.
Salah satu agenda yang menarik buat saya adalah Gunung Slamet via Bambangan, Purbalingga. Dan lagi, jadwal pendakian di hari Rabu yang pastinya lebih meyakinkan ke saya dan istri kalau sepanjang rute bakal sepi dari pendaki lagi. Akhirnya setelah cari tebengan sana sini, saya bergabung dengan 13 orang trail runners lain untuk tektok Gunung Slamet.
Alasan utamanya, tentu karena Gunung Slamet adalah gunung tetinggi di Provinsi Jawa Tengah dan termasuk satu dari 7 Summits Jawa Tengah yang tentu menjadi impian seluruh pendaki, apalagi untuk noob seperti saya.

SEKILAS TENTANG GUNUNG SLAMET

Gunung Slamet yang puncaknya setinggi 3,428 meter di atas permukaan laut terletak di Jawa Tengah, lebih tepatnya berada di Kabupaten Brebes, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Tegal, dan Kabupaten Pemalang.
Dari sumber gunung.id, ada tujuh jalur resmi untuk mendaki Gunung Slamet, via Guci, Bambangan, Baturaden, Sawangan, Kaligua, Kaliwadas, dan Dipajaya. Banyak juga ya? Dari ketujuh jalur ini memang Guci dan Bambangan yang terkenal paling ramai.
Basecamp Bambangan berada di ketinggian 1,500 mdpl, berarti untuk mencapai puncaknya mendapatkan sekitar 1,900 meter elevation gain. Mayan kan? Dari Basecamp sampai dengan puncak terdapat 9 pos resmi, dan 3 pos bayangan yang hampir setengahnya ada warung! Bahkan satu warung di pos 3 buka 24 jam. Asik nggak tuh? Jadi bawa duit jajan adalah mandatory wajib untuk mendaki Gunung Slamet.

THE PREPARATION

Mandatory gear wajib dipersiapkan sedetil-detilnya karena pendakian di Gunung Slamet tidak bisa kita remehkan, meskipun beberapa kali ada suara-suara di group yang bilang kalo Gunung Slamet via Bambangan nggak terlalu berat, kalo lulus Gunung Sumbing via Butuh, pasti lulus lah. Jaraknya pun hanya 7 kiloan saja sampai puncak, sampai summit dari Basecamp paling 6 jam, kalo yang kenceng kenceng ini bisa lah 4 jam.
Nope! Usir semua suara-suara itu, apalagi ini pertama kalinya saya tektok di Gunung Slamet, yang baik tracknya, medan, vegetasi, elevasi, sampai cuacanya belum dapat saya prediksi. November cuuy! Curah hujan lagi gede gedenya. Nekat naik Gunung Slamet mandatory gearnya harus lengkap full tempur.

Selain mandatory gear untuk tektok, saya selalu bawa matras tiup dan sleeping bag, biar bisa tidur pas nunggu di Basecamp, karena rencana mulai start baru jam satu dini hari nanti.
After all are packed, hari Rabu jam 13.00 tepat saya udah nunggu di meeting point di Indomaret Pedalangan dekat pintu tol Tembalang dan dengan dua mobil kami berangkat menuju Basecamp.

THE HIKE

Setelah menempuh empat setengah jam perjalanan, dari yang cerah terang benderang, sampai akhirnya hujan deras menyambut kami di desa Bambangan. Adalah rumah Mas Aryo yang kami jadikan tempat istirahat. Kami menyewa bagian depan rumah Mas Aryo untuk bisa kami gunakan istirahat.
Setelah makan malam, saya langsung pasang alarm jam 12 kurang dan langsung tidur, sembari mendengarkan suara hujan yang terasa semakin deras.
Saat alarm saya meraung-raung, saya dengar hujan di luar masih deras, dan nggak ada satu pun dari temen-temen ini yang beranjak dari tempatnya masing-masing. Cuma Pak Man yang saya tahu ke kamar mandi untuk mulai siap-siap. Luar biasa memang Pak Man ini, usianya lebih dari dua kali usia saya, dan semangatnya sepertinya juga lebih dari dua kali semangat saya. Saat tahu di luar masih hujan deras, ada perasaan di dalam hati, “Dah lah, naik pagi aja kalo gini mah. Nggak usah maksa, mending sekarang puasin tidurnya aja dulu. Eheheheheh.” Tapi Pak Man yang buru buru nyalain lampu dan bangunin temen-temen.
“Yo do siap siap. Cerah kok.”
Cerah seko ngendi Pak Man? Udan deres ngono kok.” (Cerah dari Hong Kong Pak Man? Orang deres begitu kok.) Saya yang masih ngantuk, ngucek-ngucek mata karena silau lampu ruangan.
“Asli cerah, akeh bintang kok.”
Di gunung, cuaca memang bisa se-taktertebak itu. Baru malam itu saya mengalami, jelas-jelas tadi saya denger hujan deras saat pintu basecamp dibuka Pak Man. Tapi saat saya memaksa badan buat beranjak ke kamar mandi untuk siap-siap, beneran ceraaaah lho! Bintang dan bulan kelihatan jelas. Nggak ada awan mendung ataupun kabut. Padahal jalanan aspal masih sangat kerasa basahnya.
Jam 01.15 setelah kami menunggu registrasi yang katanya diurusin Mas Aryo, tapi kenyataannya masih banyak ini itu, dan lamaaa menunggu dua orang porter.
Oh yes, tentang dua orang porter ini. Karena lintasan kami yang bisa dibilang jauh, kami menyewa dua orang porter untuk membawa air minum dan bekal. Saya ceritakan tentang dua porter ini nanti ya. Sebut saja namanya Gilang dan Ari (memang nama sebenarnya).

Jam 01.20 tepat kami memulai petualangan kami. Seperti biasa, dengan rombongan sebanyak ini, lama kelamaan mulai kepecah jadi group-group kecil. Pak Man yang sendirian paling jauh di depan, sambil nyetrika naik turun buat nyari elevasi 2100an. Di belakang Pak Man baru saya dengan Pak Krisna dan Pak Hoklif. Salut sih sama Bapak-Bapak ini, kenceng juga nanjaknya. Baru di group-group belakang kepecah jadi tiga group kecil lagi.
Pos Ojeg (Ketinggian 1,659 mdpl, jarak dari basecamp 0.9 KM)

Yang mau menghemat 1 kilo dari basecamp, bisa naik ojeg sampai di pos ojeg ini. Tapi ya nggak pas dini hari kek kami lah yaa. Kami sampai di basecamp pukul 01.30. Nggak terlalu ngaruh juga menurut saya, menghemat 1 kilo dengan naik ojek. Ya deket doang.
Pos 1 – Pondok Gembirung (Ketinggian 1,946 mdpl, jarak dari basecamp 2.3 KM)

Kami bertiga sampai di Pos 1 pukul 02.05. Dari awal saat kami mulai berangkat dari Basecamp, diminta jangan ngebut-ngebut, kalau bisa nanti nunggu di Pos 9 dan summit bareng-bareng. Tapi dari pada kami nunggu kelamaan di Pos 9 nanti, jadi kami di tiap Pos bakal nunggu rombongan di belakang, kalau group paling dekat dengan kami sudah sampai, baru deh kami ngelanjutin pendakian.
Sekitar 15 menit kami nunggu di Pos 1, group terdekat akhirnya sampai. Jadi kami melanjutkan ke Pos berikutnya.
Pos 2 – Pondok Walang (Ketinggian 2,231 mdpl, jarak dari basecamp 3.7 KM)

Sampai di Pos 2 pukul 03.00. Dikurangin 10-15 menit waktu kami di Pos 1 berarti nggak sampai sejam lah ya pendakian dari Pos 1 ke Pos 2.
Seperti di Pos 1 tadi, kami mulai melanjutkan pendakian saat group di belakang kami sudah sampai di Pos 2.
Pos 3 – Pondok Cemara (Ketinggian 2,472 mdpl, jarak dari basecamp 6.0 KM)

Jam 04.07 pagi kami sampai di Pos 3. Sebelum sampai di Pos 3 tadi, saya sudah mendengar suara adzan subuh. Jadi saya menyempatkan buat sholat dulu di Pos 3.
Di Pos 3 ada warung 24 jamnya boos, lokasi untuk ngecamp pun lumayan luas. Kalau kamu sampai di Pos 3 dan mau nyari penjual warung, mereka biasanya tidur di kolong meja. Mayan juga idenya, nggak perlu bawa tenda, manfaatin meja tempat berjualan aja yang bisa disulap jadi tempat istirahat.
Karena masih memegang komitmen untuk saling nungguin di setiap pos, ternyata di Pos 3 ini komitmen saya goyah karena waktu terbuang sangat banyak. Group di belakang kami tertinggal terlalu jauh. Dan sudah 30 menit saya menunggu di Pos 3, masalah utamanya adalah suhu udara yang jadi terasa sangat dingin. Saya sampe menggigil dan harus mendekat ke tungku.
Di sini saya mulai denger kalo dua orang porter ketinggal lebih jauuuh lagi. Padahal harapan saya porter ini seharusnya salah satu sudah berangkat duluan dari kami. Jadi meskipun mereka bawa carrier besar isi bekal, bisa lah ketemu di Pos 5 atau 6. Jadi bisa refill air minum dulu.
Karena udah nggak sanggup lagi nahan udara yang kelewat menusuk kulit, saya memutuskan melanjutkan pendakian. Saya nyariin Pak Krisna dan Pak Hoklilf, eh ternyata saya udah ditinggal duluan.
Langit pun udah mulai terlihat, saya sendiri mengejar langkah Pak Krisna dan Pak Hoklif.
Pos 4 – Samaranthu (Ketinggian 2,634 mdpl, jarak dari basecamp 7.77 KM)
Sebelum sampai di Pos 4 saya sudah ketemu Pak Krisna dan Pak Hoklif lagi. Pak Krisna dari Cilacap dan Pak Hoklif dari Purwokerto. Jadi sebetulnya kami juga baru ketemu saat mulai pendakian ini.

Pos 4 tidak seperti Pos 1-3 sebelumnya, lokasinya kurang strategis untuk mendirikan tenda. Kelewat sempit, dan memang tidak saya jumpai juga pendaki yang ngecamp di Pos 4. Saya sampai di Pos 4 pukul 05.10 dan langit sudah sepenuhnya terang. Headlamp pun sudah lama saya simpan di kantong vest.
Mulai dari Pos 4 inilah saya melihat kerennya vegetasi Gunung Slamet via Bambangan. Pohon-pohon besar menemani sepanjang pendakian. Memang sih, nggak banyak lokasi di sepanjang pendakian yang menampilkan pemandangan, karena sepanjang track lebih banyak tertutup pepohonan.
Pos 5 – Samyang Rangkah (Ketinggian 2,748 mdpl, jarak dari basecamp 8.70 KM)

Sampai juga di Pos 5. Pos dengan lokasi untuk ngecamp paling luas menurut saya. Ada juga warung di Pos 5. Biasanya di gunung-gunung lain, Pos 5 sudah mulai mendekati summit. Tapi di Gunung Slamet, masih ada empat pos lagi (tanpa menghitung pos bayangan) untuk sampai ke puncak.
Saya banyak ketemu pendaki dari Jawa Barat yang ngecamp di Pos 5. Ohiya, di sini saya udah ditinggal lagi sama Pak Krisna dan Pak Hoklif, karena di Pos 4 tadi saking senengnya saya sudah bisa menikmati vegetasi di Gunung Slamet, saya terlalu lama take photo sama video buat konten. Eheheheheh.
Saya sampai di Pos 5 pukul 05.55. Nggak terlalu lama saya istirahat di sini, cuma ngobrol sebentar sama beberapa pendaki, dan langsung melanjutkan menuju Pos 6.
Pos 6 – Samyang Ketebonan (Ketinggian 2,848 mdpl, jarak dari basecamp 9.20 KM)

Di Pos 6, tidak ada pendaki yang saya temui. Mungkin karena kondisi di Pos 5 yang memang nyaman untuk dijadikan tempat bermalam, banyak pendaki memutuskan untuk bermalam di Pos 5. Apalagi, jarak dari satu pos ke pos yang lain terbilang cukup dekat.
Pukul 06.10 saya sampai di Pos 6 dan langsung melanjutkan pendakian.
Saya udah jarang banget naik gunung, nggak seintens akhir tahun 2019 atau awal tahun 2020 saat getol-getolnya latihan untuk BTS 70K atau CTC 70K, tapi nggak tau ini tenaga dari mana. Sepanjang pendakian enaaak aja rasanya mendaki terus. Nggak ngoyo lari-lari juga, tapi rasanya nyaman aja.
Pos 7 – Samyang Kendit (Ketinggian 2,971 mdpl, jarak dari basecamp 9.75 KM)

Nggak jauh dari Pos 6, sampailah kita di Pos 7. Pukul 06,35 saya sampai di Pos 7. Cuma 25 menit, dan jaraknya nggak sampai sekiloooo! Ahahahah. Naiknya juga cuma 100 meter. Aslilah, ini gunung tertinggi di Jawa Tengah, tapi supportnya sangat maksimal. Mungkin karena via Bambangan memang menjadi salah satu jalur yang paling favorit.
Setelah meninggalkan Pos 6 tadi, sudah banyak spot-spot yang terbuka, sudah nggak terlalu banyak pepohonan tinggi. Jadi pemandangan luar biasa dengan awan dan bukit-bukti yang nampak sangat kecil sudah mulai menemani pendakian menuju puncak (gemilang cahaya). *mulai basi nggak sih joke ini?

This slideshow requires JavaScript.

Pos 8 – Samyang Jampang (Ketinggian 3,001 mdpl, jarak dari basecamp 9.90 KM)

Seperti Pos 6 dan 7, Pos 8 pun terbilang sangat dekat. Pohon-pohon tinggi sudah semakin jarang, gerombolan edelweiss sudah mulai terlihat di kejauhan, pelawangan menuju puncak pun sudah bisa kita lihat dari sini.
Saya sampai di Pos 8 pukul 06.43. Nggak sampai 10 menit dari Pos 7 tadi yaaa.
Nggak terlalu banyak membuang waktu, saya langsung melanjutkan perjalanan ke Pos terakhir sebelum summit attack.
Meninggalkan Pos 8 dan gunung Sumbing dan Sindoro berdampingan pun mulai terlihat!

Menjelang Pos 9 saya ketemu lagi dengan Pak Krisna dan Pak Hoklif.
Pos 9 – Pelawangan (Ketinggian 3,105 mdpl, jarak dari basecamp 10.35 KM)

Pos 9 juga ditandai dengan sebuah gawang dari kayu dengan bendera Merah Putih di atasnya. Saat kamu sudah mulai melewati batas Pelawangan, kondisi cuaca berkabut, atau bahkan badai, banyak pendaki akan kesulitan mencari jalan pulang. Gawang ini dibuat tinggi dengan maksud agar saat pendaki turun dari puncak, gawang ini bisa terlihat sebagai acuan posisi Pos 9. Tapi percayalah, saat saya menuruni puncak gunung, kabut pekat silih berganti, gawang ini akan sangat sulit dilihat.

SAMPAI JUGA SAYA DI PELAWANGAN GUNUNG SLAMET! SAATNYA SUMMIT ATTACK!
Saya memutuskan untuk menarik nafas sebentar di Pos 9. Saya melirik jam, 07.06. Langit masih cerah, namun kadang kabut terlihat bertiup kencang menutupi puncak Gunung Slamet. Sesekali terlihat rentetan pendaki yang mencoba selangkah demi selangkah, mencari jalur terbaik menuju puncak Gunung Slamet. Sesekali kemudian, hilang tertutup kabut.
Mulai dari Pos 9 ini, sudah tidak ada lagi tanaman. Jadi perjalanan menuju puncak full bebatuan, tak ada jalur, masing-masing pendaki mencari jalannya sendiri-sendiri. Berbeda dengan summit attack dari Pelawangan di jalur Guci yang berupa kerikil dan pasir. Melalui jalur Bambangan, perjalanan menuju puncaknya akan ditemani bebatuan yang bervariasi ukurannya, mayoritas berwarna merah bata. Banyak pijakan yang sudah padat, dan sisanya gampang longsor. Jadi di sini menantangnya. Pandai-pandailah mencari pijakan untuk sampai ke puncak, karena saat kamu salah memilih jalan, pijakanmu akan sangat menyulitkan.

Setelah memastikan persediaan air minum masih cukup, saya memulai selangkah demi selangkah mencari jalan. Memastikan bebatuan yang saya pijak cukup kuat untuk menopang badan, terkadang kedua tangan harus ikut mencari bantuan untuk menarik beban hidup.
Selepas batas Pelawangan Gunung Slemet ini memang terkenal berat dan mencekam. Selain Pak Krisna, saya ditemani suara angin yang menderu-deru, kadang membuat badan ini ikut terdorong-dorong saking kuatnya angin bertiup. Kabut datang silih berganti, memutar panorama puncak Gunung Slamet yang nampak merah menyala, dengan latar belakang biru langit cerah. Beberapa kali saya memilih duduk, bukan karena terlalu lelah, tapi sengaja menikmati bukit-bukti hijau yang menggulung bersama awan di bawah kaki.

Kerikil dan batu, tak pernah habis kulibas.
Pak Krisna sudah lumayan jauh tertinggal, Pak Hoklif malah belum seperempat dari pendakian, terlihat menyerah dan menuruni Pelawangan. Saya masih setapak demi setapak sampai akhirnya tanjakan berakhir.
Di depan saya berdiri benteng terbuat dari batu hampir setinggi mata saya. Tegak mengelilingi, panjang  membentang. Seorang pendaki dari Bogor dengan saya kebingungan mencari jalan melewati tembok batu ini. Sampai saat saya susuri, dan menemukan tumpukan batu yang bisa digunakan untuk pijakan layaknya tangga untuk melompati benteng batu.
Di balik tumpukan batu ini, kami berlindung dari tiupan angin yang kelewat kencang. Suaranya terdengar menderu-deru, membawa pasir dan kabut yang menyulap puncak Gunung Slamet silih berganti menjadi pekat-cerah-pekat-cerah.
Kawan baru saya dari Bogor ini, pas minta fotoin, untuk berpose di atas tumpukan batu saja harus ambil ancang-ancang panjang, takut terdorong angin yang memang sangat kencang.

Saya menyusuri tepi tumpukan batu, sambil berlindung dari tiupan angin, sekitar 10 menit saya berjalan, saya berpapasan dengan Pak Man yang ternyata sudah hampir 30 menit menunggu, dan baru ketemu saya saat memutuskan untuk turun.
“Ayo Pak Man, foto bareng sik.”
Dan akhrnya, jam 08.30 pagi sampai juga saya di puncak tertinggi Jawa Tengah, di Gunung Slamet 3,428 mdpl.

Karena sudah mulai menggigil, saya dan Pak Man akhirnya memutuskan untuk langsung turun. Di sepanjang perjalanan turun di Pelawangan saya banyak berpapasan dengan temen-temen. Semua mengeluhkan porter yang ternyata jauuuuh ketinggalan di belakang. Padahal mereka janji mau masakin kami Indomie. Ohiya juga, sampe lupa saya ada Gilang dan Ari, dua porter yang ternyata tertatih-tatih ditinggal rombongannya sendiri.
Saya dan Pak Man ketemu Gilang di Pos 7, dan Ari di Pos 6. Awalnya saya minta mereka buat nyusul rombongan paling nggak di Pos 8. Tapi mukanya dah pucet, kewalahan ngejar rombongan. “Yowislah Mas, tunggu sini aja kalo gitu. Nanti kalo ada rombongan kami, ditawarin refill minum atau dimasakin Indomie kalau ada yang laper.” Dah hopeless banget mereka.
Downhill kali ini terasa sangat menyenangkan, saya sampai di basecamp lagi pukul 12.20. Kami sempet jajan dulu di Pos 3, ngobrol lama sama penjual warung, minum teh panas, dan leyeh leyeh dulu. Sebelum kami gaaas lagi, mbelandang rem blooong.

Gunung Slamet, tidak bisa diremehkan. Puncak tertinggi di Jawa Tengah ini menyimpan banyak cerita misteri. Saat kami menunggu temen-temen rombongan lain di basecamp, kami dapet cerita banyak dari Bapak Mas Aryo. Beliau sendiri yang berkali-kali naik turun Gunung Slamet jadi tim SAR. Ikut mencari pendaki yang hilang termasuk 5 mahasiswa mapala UGM yang hilang tahun 2001 silam.
Sudah jam 19.00, cerita Bapak ini semakin seram, dan dari 14 orang di rombongan kami, baru 8 orang yang sudah kembali sampai di basecamp.
Saya dan Pak Man yang pertama sampai di basecamp. Di Basecamp ada Ko Enrico dan anaknya yang hanya sampai Pos 3 dan memutuskan untuk turun karena kondisi anaknya yang kurang fit. Lalu disusul Pak Krisna dan Pak Hoklif sekitar jam 14.00 dan langsung pulang. Hujan deras mulai datang sekitar pukul 15.00. Ci Vita sampai di basecamp sendirian dengan jas hujan sekitar jam 5 sore. Menjelang maghrib datang Mas Rossi Eko dan istrinya ikut merapat setelah beberes. Saya hitung, masih ada 5 orang lagi ditambah dua orang porter yang belum sampai basecamp. Ko Rudi, istri dan satu anaknya, Mbak Layung yang satu rombongan dengan Ko Rudi, lalu Ika Pukis.
Padahal cuaca di luar hujan deras, ditambah lagi gelap dan dingin menusuk tulang. Cerita-cerita Bapak Mas Aryo membuat kami mulai membayangkan yang enggak-enggak.
Jam 19.30 karena mulai khawatir kami akhirnya menuju tempat registrasi. Nanyain ke pendaki yang sudah sampai di basecamp, sebagian hafal dengan saya karena memang berpapasan. Sebagian bilang ketemu dengan rombongan kami di Pos 7, istirahat sambil makan Indomie.
Karena sudah jam 8 malam dan belum juga tanda-tanda satu dari mereka sampai di basecamp, kami mulai melapor.  Mereka tak ada persiapan untuk ngecamp, dengan peralatan hanya untuk pulang-pergi. Mulai kebayang gimana kondisi di gunung dengan cuaca seperti ini.
Bapak Mas Aryo (siapa sih ya namanya, saya kok lupa. Nggak enak banget nyebutnya Bapak-Mas-Aryo, panjang amat) akhirnya mengambil motor dan menunggu di Pos Ojeg. Saya dan Mas Rossi Eko dan Ko Enrico duduk di warung paling dekat dengan pintu pendakian. Baru lah jam 20.30 satu demi satu temen kami mulai bermunculan. Menggigil di balik jas hujan tipisnya.

Sampai di basecamp banyaaak mereka bercerita bagaimana perjuangan mereka untuk turun saat mulai ketemu hujan deras di Pos 6. Selangkah demi selangkah melawan licin, berharap bisa segera sampai basecamp balapan dengan gelap.
Alhamdulillah mereka sampai di basecamp sehat-sehat semuaaaa.
Sebetulnya, bulan November adalah waktu yang kurang tepat untuk mendaki gunung, apalagi gunung setinggi 3,428 mdpl. Beberapa hari sebelum berangkat, Mbak Ika yang ngajakin saya, saya tanya beberapa kali. “Cuaca koyo ngene meh tetep mangkat Mbak?” Yaa, dijawabnya sambil jalan dan lihat kondisinya nanti aja gimana.
Alhamdulillah, sepanjang pendakian saya sampai puncak dan turun, cuaca sangat cerah, meskipun angin sangat kencang saat summit attack, dan kabut menutup seluruh pandangan saat saya sampai di puncak.
Untuk tracknya sendiri, dari mulai meninggalkan basecamp sampai di Pos 9 Pelawangan, jalur full tanah menanjak, dengan akar-akar yang sangat membantu. Tidak ada tanjakan kelewat curam, pun juga nggak ada jalanan landai panjang. Perasaanku kok ya tanjakan stabil tapi sangat nyaman.

Jadi, nggak ada yang mau ngajakin naik Gunung Slamet via Guci nih?

10 thoughts on “Cerita Trail Run ke Atap Jawa Tengah: Gunung Slamet via Bambangan

  1. Dengan banyaknya tulisan “Bawa Turun Sampahmu” dan ngeliat gunungnya bersih, aku jadi senang. Jadi kecenya maksimal. Viewnya dapet, bersihnya terjaga.

    Selalu suka ngeliat gumpalan awan gitu. Tapi selalu mengerenyit ngebayangin perjuangan untuk sampe ke puncak.

    Liked by 2 people

    1. Tapi di sekitaran warung masih ada Mas yang buang sampah sembarangan. 😦 Mungkin penjaga warungnya harus lebih galak kalo tau ada yang buang sampah sembarangan.

      Peeeh, dicubo dulu Kak Yaan. Yang pendek pendek be dulu, pasti nanti nagih. 😀

      Like

  2. Ngos-ngosan nih bacanya soalnya sambil mbayangin naik cepet, mampir bentar, terus turun lagi. Sebagai tipe pejalan lambat, sungguh gak bisa lah yang gini ginian. Penasaran deh, apa yang kamu nikmatin, Mas Bardiq? Saya pernah nanya sama teman yg suka juga naik turun gunung gini doang gak pakai kemping, masih gak ngerti sama jawabannya wkwk.

    Btw selain tulisan ‘Bawa Turun Sampahmu’ yang dimention Mas Yan, saya kagum semua papan gak dipaku di pohon. Semuanya pakai kayu yang ditancap. Semoga memang gitu semua ya gak mata saya yang sliwer.

    Ini selama naik gunung, gak ketemu ada monyet kah Mas? Monyet atau apa ya, burung kali ya. Terus warung buka 24 jam, nyediain seblak gak?

    Liked by 1 person

    1. Ah, ngos-ngosan kalo dibayangin aja Mbak, kalo dilakuin ya ngos-ngosan bangeeeet. Hahahahaha.
      Apa ya Mbak, sebenernya ada plus minusnya juga sih kalo dibandingin hiking. Kalo hiking lebih santai, lebih nikmatin perjalanan, tapi urusan manggul carrier yang bikin males Mbak. Terus juga butuh waktu lebih banyak, kalo pekerja kantoran gini sampe harus cuti biar nggak terlalu buru-buru dan beres hiking masih bisa istirahat.
      Kalo ngetrail gini masih bisa nikmatin view selama pendakian, walaupun nggak bisa lama-lama, karena target waktu yang lebih pendek kan, ketimbang hiking.
      Kecuali kalo memang lagi latihan buat race lari trail, itu dah susah kalo mau nikmatin pendakian. Hahahahaha.

      Iya beneeer Mbak. Dan relatif bersih. Cuma di sekitaran warung di beberapa pos, memang masih nemu sampah. Sayang ya, meskipun nggak disengaja, seharusnya tetep ngecek seluruh bawaan sebelum ninggalin pos.

      Kalo monyet tergantung gunungnya Mbak. Kalo pas Slamet ini nggak ketemu monyet, tapi burung-burung banyaaak. Dan suaranya cantik-cantik. Cuma jadi banyak pemburu liar. 😦

      Kalo Indomie rasa seblak, mungkin baru ada yang jual Mbak. Wkwkwkwkwk.

      Like

  3. G sampe 4 jam. Pace 11 koma. Kayak saya pace nya klo jln di aspal mas.. hahaha.. btw mas mo tnyk porter nya kena brp per hari.. klo pny no hp nya mhn info mas. Tks

    Liked by 1 person

    1. Halo Mas Tommy. Sorry for the late reply! 😦

      Ah, itu moving time kok Mas. Kalo total kemarin ya sampe 7 karena sambil nikmatin pendakian aja.

      Ini sama Mas Arip bisa kontak ke +62 813-2519-7099, kemarin 750 ribu ya Mas.

      Makasih sudah mampir. 😀

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.