Melaju dan Berpacu dengan COT di CTC Ultra Kategori 70K

Coast to Coast Night Trail Ultra, sebetulnya bukan merupakan race yang masuk dalam wishlist saya. Membayangkan betapa malasnya berlari dengan medan pasir pantai yang bakalan mbelesek setiap kali dipijak. Membayangkan betapa beratnya kaki yang harus diangkat ketika setiap pijakan bakal ada begitu banyak pasir yang menyeret kaki. Oh no. Saya malas membayangkan itu semua. Jadi, meskipun banyak racun sudah mulai betebaran, mulai banyakan ajakan-ajakan, “Ayo sih Mas Bardiq. Ambil 50 aja.” atau “Ayolaah, ntar tak barengin deh.” Saya masih kekeuh untuk menolak.
Hingga akhirnya, di suatu siang saat bengong menatapi update-an kawan-kawan di Strava, dan sadar kalau bulan Desember selalu menjadi The Most “Unmotivated” Month, alias bulan yang total waktu untuk rebahan ternyata lebih banyak dari pada waktu buat lari. Mulai kepikiran untuk ikut satu race ultra di semester pertama tahun 2020. Karena kebanyakan race ultra trail baru betebaran di semester kedua. Dan sepertinya saya perlu untuk maintain kondisi fisik. Biar hasil latihan hingga  finish di BTS 70K dan finish sub 4:30 di Borobudur Marathon tidak sia-sia.
So well, which ultra trail race should I pick?
Beberapa kali searching ultra trail race di semester pertama tahun 2020. Ada CTC Ultra, Gede Pangrango Marathon, Goat Run Selamet, Bali Ultra Trail, dan baru nanti di akhir bulan Juni ada Sentul Hill sama Rinjani 100. Awalnya sempet menimang-nimang ikut Bali Ultra Trail, tapi karena bulan Juni masih terlalu lama, dan lagi nggak ada temen yang sama-sama mengiyakan sampai Bali. Jadi yasudah, CTC aja apa ya? Akhirnya, setelah berkali-kali ngecek website CTC Ultra, saya coba nanya-nanya di group BPG (@bocahplayongunung). Ada Ci Ayu, Angga, Mbak Umi Koh Sing, Pak Tua yang sama-sama ambil kategori 70K. And I was like, “Wis lah, gaaas.”
BPG goes to CTC
Introducing my running buddies: Kali ini bareng temen-temen BPG. Di kategori 70K ternyata rame uga!
Selain temen-temen dari BPG juga sebenernya saya berangkat dari Semarang bareng Aulia dan Ahmad. Aulia ambil 50K, dan Ahmad ambil 25K.

REGISTRATION

Awal mulanya sendiri masih bingung antara mau ambil kategori 50K apa 70K. Sebenernya keduanya memiliki Elevation Gain yang cukup ramah. Namun yang menjadi tantangan terberatnya adalah COTnya, alias Cut off Time. Kategori 50K punya Elevation Gain 1638 m dengan COT 12 jam, dan kategori 70K punya Elevation Gain 2389 m dengan COT 15 jam.
Banyak yang sudah mewanti-wanti terkait COT kategori 70K, karena tahun lalu yang DNF jamaah. Satu hal yang membuat sedikit lega adalah COT tahun ini yang sudah ditambah kelonggaran, ditambahin sejam dari yang tahun lalunya hanya 14 jam.
Setelah memantapkan hati, nama saya akhirnya bertengger di Entry List peserta kategori 70K.
Karena terlalu banyak pertimbangan di awal pendaftaran, akhirnya saya ketinggalan untuk registrasi jalur diskonan. Dan harus bayar dengan biaya regulernya, 755 ribu. Kalo diitung-itung nggak terlalu mahal mengingat race ultra dengan jarak segitu. Yah, walaupun kalo dapet harga diskon komunitas+Early Bird jatuhnya sekitar 500 ribuan. Ya lain kali jangan kelamaan mikir yo Mas Bardiq.
Ohiya, pastikan lagi kalau mau daftar CTC itu di website resminya ctcultra(dot)id ya, bukan ctcultra(dot)com, karena yang belakangnya (dot)com kamu bakal sampai di website ah uh ah uh berbahasa Mandarin. Kalau terlanjur masuk ke websitenya, buruan diclose Pak. Takutnya nanti Bapak nggak jadi daftar CTC malah pindah cabang olah raga lain. Hehehehe. Yang mau iseng ngecek, jangan lupa VPNnya dinyalain dulu. Kalo saya mah karena otomatis pake anonymoX makanya langsung masuk.
Eh gimana?

PREPARATION

Setelah sepanjang bulan Desember saya habiskan untuk Full Malasmalasan, sepanjang Januari saya harus mengejar ketinggalan. Banyak utang mileage dan elevation. Longrun road buat menjaga endurance ditambah hampir setiap hari Minggu bolak-balik ke Gunung Andong, dan akhirnya latihan persiapan untuk CTC 70K ditutup dengan tektok 15K saja ke Gunung Merbabu via Suwanting.
Ah, sejatinya menuju puncak Merbababu ini boleh banget diceritakan juga dalam satu tulisan, karena view yang menemani sepanjang pendakian via Suwanting itu begitu… begitu… layak untuk diceritakan.
Untuk sekarang, foto-fotonya aja dulu saya pamerin di tulisan ini. Yaah, namanya juga lagi demotivasi ngeblog. Ternyata nggak cuma lari aja yang sering kena demotivasi, bikin tulisan di blog juga! Hehehehe.

Melihat seluruh persiapan saya untuk CTC kategori 70K, saya merasa siap untuk menghadapi tanjakan dan turunannya nanti. Untuk target sendiri saya ingin mencoba finish dengan target under COT tahun lalu, yes: 14 jam!

RACE PACK COLLECTION

Saat Sabtu malam saya harus sudah mulai start jam 21.00, sampai hampir jam 14.00, saya masih duduk-duduk di PHD Ungaran, nungguin Aulia yang baru berangkat dari Semarang setelah sholat dzuhur. Agak-agak cemas karena RPC di hari Sabtu, hanya dilayani sampai jam 18.00. Untungnya, RPC dan Baggage Drop bisa dilakukan di race venue, Pantai Depok.
Jam 14.00 lebih sedikit, di bawah guyuran gerimis di Ungaran, akhirnya mobil Aulia menepi. Saya berlari kecil menerjang gerimis, sebelum meringsek di kursi belakang yang ternyata sudah penuh bawaan tas ini itu si dua kawan ini.
“Yok Bang Aul, agak ngebut. Udah jam segini, takut telat ambil RPC.” Dan sepertinya biasa, cuma dibalas jawaban ringan, “Selow lah Baang.”
Sepanjang perjalanan ke Pantai Depok, langit tak berhenti bersaut-sautan antara medung, gerimis, dan hujan deras. Agak khawatir karena dari cerita beberapa kawan, CTC Ultra tahun 2019, kategori 70K dilepas dalam kondisi hujan deras.
Sampai di Pantai Depok, jam 17.50, sepuluh menit sebelum RPC ditutup. Daan.. masih dilayanin dengan baik. Ketemu juga dengan temen-temen dari Solo, Bayu dan Mas Ari yang ambil karegori 50K, ada juga Mas Bruce dari Semarang yang ambil kategori 25K.

Kalo ketemu Mas Bruce, saya selalu ingat dengan pengalaman FM pertama saya di Jogja Marathon 2017. Mulai dari KM 33, Mas Bruce jadi temen sambat panasnya cuaca Jogja hari itu. Kalo aku baca tulisan lama itu, ternyata saya hanya menjelaskan Mas Bruce dengan “Mas Mas dari Semarang Runners”, padahal dianya coachnya FakeRunners Semarang. Ahahahaha. Yaa.. mohon maaf ya Mas.

This slideshow requires JavaScript.

THE RACE

Beberapa bulan sebelum race, Mbak Ika, salah satu temen di BPG udah kasih woro-woro tuh, mau dicariin penginapan di deket venue. Dapatlah kami satu kamar untuk bertiga di Hotel Family Syariah. Yah, walaupun awalnya saya nggak berencana buat cari penginepan sih. Start race juga sudah jam 21.00  malem, tas segala macem bisa dititip di mobil Aulia. Tapi nggak papa, mana tau butuh tempat untuk istirahat setelah race.
Jam 20.30, saya berangkat dianter Aulia ke race venue. Berangkat dari hotel dengan cuaca hujan deres bangeeet. Udah kebayang cerita orang-orang tentang CTC tahun lalu yang saat startnya diguyur hujan deras, terulang kembali. Saya sudah siap tuh, pakaian tempur. Udah pakai jaket dan sedia jas hujan sekali pake juga. Tapi begitu sampai di race venue, kering brooo. Tapi karena kata panitia di KM 3 udah hujan deras, saya pun enggan melepas jaket meskipun angin pantai yang lembab lebih membuat badan gerah.
Garis start tak terasa begitu ramai. Kategori 70K hanya sekitar 81 orang yang memulai pertandingan, dari sekitar 90an yang terdaftar.

This slideshow requires JavaScript.

Hampir jam 9 malam dan kami para peserta kategori 70K sudah berada di belakang garis start. Tak terlalu ramai, tak terlalu berdesak-desakan. Masih bisa jalan ke sana ke sini, nyamperin temen, ngobrol sana sini. Biarpun semua haha hihi hanya alasan untuk mengusir rasa grogi.
Selesai menyanyikan lagu Indonesia Raya dan berdoa bersama, hitungan mundur dari MC yang selalu membuat jantung semakin berdegup dimulai.
5.. 4.. 3.. 2.. 1..
And the game began!

Puluhan orang mulai menyerbu hamparan pasir yang terlihat gelap. Angin laut berhembus membuat kulit mulai terasa lengket, dan mulai terasa asin saat lidah membasahi bibir. Pantai yang jauh membentang membuat kami berlari tak berurutan. Saya tetap mencoba berlari mengikuti beberapa pelari di depan saya. Sambil memperhatikan gaya mereka masing-masing. Terlihat beberapa kesulitan karena pasir yang diinjak selalu ambles, beberapa ada yang terasa lebih ringan karena pasir yang lebih padat. Saya mencoba mencari-cari jalur paling nyaman meskipun beberapa kali tetap kesulitan mengangkat kedua kaki.
Lima kilo perjuangan ini sempat terhenti karena saya kegerahan. Sudah hampir KM 4 dan nggak ketemu juga sama hujan. Udah laah, saya memutuskan melepas jaket aja. Baru setelah itu, udara mulai terasa membasuh keringat, kerasa enteng cuuy.
Akhir dari lari lima kilo ini akhirnya berujung pada tanjakan dari bebatuan yang mengarah ke daerah pemukiman. Di belokan ini saya ketemu Mas Yannu. Haloo boskuuu! Yang udah pernah baca tulisan saya tentang BTS Ultra 2019, pasti tahu betul siapa sosok Mas Yannu ini. Kami ngobrol dan bareng lumayan lama, sebelum akhirnya dia mendahului saya. Awalnya diajak ngikuti pace dia. Tapi yaa, dari pada tenaga habis, mending saya agak pelan dulu di jarak ini.
Tak lama, jalanan berubah menjadi aspal dengan kemiringan yang mulai membuat saya harus berjalan zig zag biar nggak terasa terlalu nanjak. Sampai kemudian mulai mengenali satu cewek yang ternyata udah duluan di depan saya, “Ci Ayu… ihiir.”
Loh, tak kira wis ndek ngarep.” Jawabnya. Hehehehehe.
Jam 11.45 tepat kami sampai di WS 1, KM 6 lebih. Saya hanya refill air dan makan beberapa buah naga yang ternyata membuat seluruh tangan saya langsung jadi merah. Selain saya dan Ci Ayu, ada Pak Tua juga yang sudah duluan sampe.

Tak usah berlama-lama mari kuy kita melanjutkan permainan ini.
WS kedua masih sekitar 7K lagi, dan selepas WS 1, jalanan masih ditemani aspal yang masih terus dan teruuus  nanjak. Sebelum kemudian rute mulai masuk ke jalanan tanah berbatu yang tak sembarang batu. Tanahnya basah, banyak genangan lumpur, batu yang tak sembarang batu ini beberapa kali terasa menusuk sol sepatu, terasa mengganjal di telapak kaki. Karang cuuy.
Nggak lama dari sini, saya ketemu Kiting. Tahun 2016 pertama kali ketemu Kiting di Samosir Lake Toba Ultra, sama-sama ambil kategori 25 yang tentu saja saya ditinggal jauh. Wkwkwkwk. Mencoba nempel Kiting, lumayan bisa narik pace saya sendiri.
KM 10 sampai KM 13, adalah 3 kilo yang sangat menyebalkan. Tanahnya licin banget, sementara begitu kepleset langsung disambut karang-karang. Bukan Mas Bardiq kalo nggak ada acara kepleset, dan tentu meninggalkan luka. Yah, oleh-oleh dari CTC.
Mulai ketemu Coke di WS 2, yang lumayan ngebantu perut kerasa lebih lega karena mual dan mata mulai lebih melek. Meninggalkan WS 2 dan saya masih bareng dengan Ci Ayu dan Kiting. Rute dari WS 2 ke WS 3 tak jauh beda, kombinasi jalanan perkampungan, aspal, belusukan di hutan-hutan yang batunya selalu membuat meringis setiap kali kaki kesandung.
Sesekali saya nengok ke belakang, dan Ci Ayu sepertinya mulai nggak terlihat. Saya masih coba nempel pace Kiting. Jam 01.20 dini hari. Selamat datang di WS 3! Tepat di KM 23.5. Lumayan banyak ketemu orang-orang di WS 3, walaupun beberapa hanya ketemu papasan aja.

This slideshow requires JavaScript.

Mulai dari WS 3, saya mulai nggak bisa barengin pace Kiting, ngebut dia bro. Dan seperti nostalgia BTS 2019 lalu, saya ditemenin Mas Yannu, yang entah pacenya memang sengaja dia pelanin buat nemenin saya, atau memang beneran ITBSnya lagi kambuh.
Bolehkah saya jujur kalau mulai di atas KM 25, rute terasa membosankan? Lebih banyak ketemu aspal di pemukiman warga, sesekali masuk lagi ke kebon-kebon yang tanahnya licin, yang mana sepatu merk apapun selain midsole dan outsole, bakal nambah satu sole lagi: soilsole. Itu lumpur tebel bangeeet numpuk, setiap ngangkat kaki kerasa berat dan setiap hentakan bikin jalan miring-miring. 11:12 rasanya kek naik sepeda motor yang bannya bocor..
WS berikutnya, adalah WS 6. Iye, situ nggak salah baca. Dari WS 3 langsung lompat ke WS 6. Karena WS 4 dan 5 cuma dilewatin kategori 100. Saya sampai di WS 6 sekitar jam setengah 3 pagi. Dan pertama kalinya saya memilih buat “lumayan” istirahat. Karena ada Pop Mie dan perut yang udah merajuk minta diisi. Meskipun ternyata adanya air setengah panas. You know kah rasanya Pop Mie setengah matang? Yaah.. gitu lah.

This slideshow requires JavaScript.

Saya makan Pop Mie dengan buru-buru, begitu beres ya cuma refill air dan langsung melanjutkan petualangan. Nanti aja istirahat di WS selanjutnya, WS 8 sekalian ganti baju. Di WS 8 ini kita peserta kategori 100 dan 70 yang udah ninggal baggage drop pas ambil race pack, bisa dibawa ke sini. Jadi saya bisa sekalian ganti kaos kaki yang memang udah kelewat basah, dan ganti baju yang udah kelewat bau.
Jam 4 kurang sedikit saya sampai di WS 8. Belum adzan subuh, padahal rencana di sini mau sekalian sholat subuh. Di WS ini saya baru istirahat. Ngerasain duduk lumayan lama, sambil ganti baju dan kaos kaki. Lumayan dilama-lamain biar bisa sekalian istirahat. Ehehehehe. Saya sekalian ambil air wudhu, jadi biar nanti ketika udah adzan subuh, tinggal nyari tempat aja buat sholat.
Banyak barang bawaan saya tinggal di sini. Ya rain coat, ya jaket, pokoknya bawa seperlunya aja biar vest lebih enteng.
Saya cek sekali lagi, memastikan barang-barang yang nggak perlu sudah saya titipkan. Mas Yannu minta ditinggal, dia masih mau istirahat. Jadi ya sudah, saya duluan aja. Karena ntar di depan saya juga mau sholat subuh dulu. Paling ntar juga ketemu lagi. Dan pas udah kedenger adzan, saya ketemu salah satu pos kamling. Bisa lah, istirahat sambil sholat subuh dulu.
Waktu itu kira-kira di KM 36, dan rute mulai ketemu peserta kategori 50K. Mereka lebih buru-buru karena lagi ngejar COP di WS 9. Sebetulnya kami peserta 70 juga sama dapet jatah COP di WS 9. Cuma kami masih COP jam 06.30, sementara kategori 50K harus sampai di WS 9 sebelum jam 06.00.
Tepat menjelang KM 39, dipertemukan lah kami dengan tanjakan jahat pertama. Jalanan aspal sepanjang kurang-lebih 3 KM dengan elevation gain sebanyak 250m. Yang membuat pedih sebenernya adalah aspalnya. Sediiih Pak, saya mending dikasih track tanah aja kalo tanjakan begini.
Setelah itu track relatif naik-turun, berganti-gantian antara jalanan aspal, daerah pemukiman dan track tanah. Yang bikin lega, di KM KM ini, mulai nggak ketemu lagi track yang bercampur dengan batu karang.
Daan, langit pun mulai semakin terang, headlamp pun sudah bisa disimpan. WS 9 di KM 44 berada tepat di dekat belokan setelah track yang awalnya jalanan batu ketemu dengan aspal. Dan disambut sama Ci Yeye dan Ko Freddy! Ketemu juga sama Aulia di sini. Really happy to see familiar faces.

Masih jam 05:50. Waktu masih sangat longgar dari COP.

This slideshow requires JavaScript.

Nggak lama setelah saya refill air minum, datang rombongan temen-temen BPG yang juga ambil kategori 70K. Mas Yannu, Pak Tua, dan Ko Chris. Jadi mulai dari WS 9 sudah banyak barengannya lagi.

This slideshow requires JavaScript.

KM 44-50 adalah situasi yang paling saya nikmati sepanjang permainan saya di CTC 70K. Pagi yang sejuk, badan juga masih sangat oke untuk diajak bergerak, kakipun masih enak buat berlari-lari kecil. Sampai kemudian di kelokan itu, di jalanan itu, ketika setelah 6 kilo merasa sangat nyaman, sampai juga kami di tanjakan Cintanya CTC Ultra. Tanjakan beton sepanjang tiga kilo dengan elevation gain sebanyak 255 m. Banyak peserta yang memilih duduk-duduk dulu, gelar tikar dan buka bekal. Ya kali lu kira piknik! Gelar tikar dan buka bekal is definitely a lie, tapi duduk duduk-duduk is definitely true. Termasuk Nino! Ketemu juga sama si kawan ini. Dia udah ngantuk setengah mati, duduk sambil merem-merem, jalan sambil merem-merem. Ditanya apapun, dikasih tahu apapun responnya cuma satu, kasih sign thumb up.
Agak ngeri sebenernya lihat dia duduk di pinggir jembatan gini. Tapi udah disuruh tiduran sekalian di jalan, tetep nggak mau.
Saya mencoba tetep tegar menghadapi tanjakan, selangkah demi selangkah. Ditemenin satu demi satu flyer dengan tulisan-tulisan penggugah emosi dari panitia.

This slideshow requires JavaScript.

Musuh utama sejak meninggalkan WS 9 tadi adalah rasa kantuk yang kerasa banget jadi beban. Ngantuknya Ya Allaaaah… kadang kalo mata merem biarpun sambil jalan kerasa enak banget.
End of Tanjakan Cinta.
Sampai di KM 52. Tepat setelah menyelesaikan Tanjakan Cinta. Energi saya rasanya udah sangat terkuras, rasa ngantuk juga makin menjadi-jadi. Dan merasa stres dengan elevation map yang ditempel di bagian bawah BIB. Karena tepat setelah selesai Tanjakan Cinta, sudah ada bocoran rute bakal langsung ketemu turunan curam, sebelum kemudian langsung dihajar tanjakan kembali. Saat ini, yang bareng saya tinggal Mas Yannu. Ko Chris sama Pak Tua yang jalan bareng dari WS 9 tadi sudah nggak nampak di belakang saya. Agak was was karena COT yang semakin mepet.
Sejak beberapa jam yang lalu, sebenernya saya udah nggak lagi mantengin pace atau map. Untuk map sendiri saya yakin nggak bakal kesasar karena marking dari panitia sangat mudah untuk diikutin. Jadi, saya pantengin aja tuh ETA (Estimated Time Arrival) di jam tangan… yang sebetulnya sejak beberapa KM yang lalu, semakin mundur. Sebelum mendaki tanjakan cinta, ETA di jam tangan masih di bawah jam 11.00, namun begitu sampai di puncak tanjakan cinta, ETA sudah berubah menjadi 11.10!
Turunan setelah tanjakan cinta sepanjang satu kilo itu saya habiskan sampai 17 menit, skill downhill pun udah semakin kacau karena sangat capek. ETA pun semakin mundur sampai 11:25! Setelah jalanan mulai datar, saya ngajak Mas Yannu buat lari-lari kecil, mulai takut karena ETA yang semakin mundur, saya harus berpacu lebih cepet karena COT yang semakin mepet.
Di KM 54, tepat jam 08:15, saya sampai di WS 10. Kita dapet wristband warna kuning untuk checking point.  Masih 18 kilo lagi, dan waktu yang saya punya tinggal 3 jam 45 menit. Total jarak di GPX sampai 72K. Kalau satu jam aja saya bisa dapet 4K, berarti waktu saya masih cukup. Saya masih optimis, meskipun di sini badan saya mulai terasa tidak nyaman. Saat FM road, kepala terasa kesemutan itu biasanya di KM akhir, saat crucial time untuk last push. Sementara saat itu, kepala saya terasa kesemutan sudah sejak meninggalkan WS 9 tadi.
Karena ngantuk yang udah nggak bisa saya tahan, saya buat satu kopi lagi (terakhir saya minum kopi tadi pas di WS 3, saya bagi dua sama Mas Yannu). Karena porsi kopi yang saya minum di WS 3 cuma setengah jadi di WS 10 saya berani ngopi lagi, pun juga saya bagi dua lagi sama Mas Yannu. Selain ngantuk, saya juga laper banget. Jadi saya minta satu cup Pop Mie. Kalau nggak lagi race kekgini, nggak mungkin saya makan Pop Mie sampai tiga cup dalam waktu nggak sampai 12 jam. Dari pada kelaperan brooo.

Baru aja selesai bikin kopi, dateng Ci Ayu sama Angga. Waaaw. Ketemu kawan lagi! Sampai WS 10, dan Ci Ayu adalah peserta cewek kategori 70K paling depan. Dan mereka di WS 10 cuma refill air minum, habis itu langsung check out. Saya yang baru makan Pop Mie setengah bungkus, saya cepetin makannya. Biar bisa bareng Ci Ayus ama Angga buat bantai sisa jarak. Mas Yannu memilih buat rebahan dulu karena sudah kelewat capek.
Mas Yan, aku bareng Ayu ya. Wis mepet banget ki COTne.” Saya pamit sama Mas Yannu, sebelum ngacir ngikutin Ci Ayu sama Angga yang udah mulai mendaki.
Mendaki? Yoi. WS 10 letaknya tepat di bawah kaki bukit, jadi tanjakan sadis yang tadi saya ceritakan dimulai tepat di WS 10. Di sini saya mencoba ngikutin Angga yang udah jauh di depan, Ci Ayu memilih istirahat dulu karena kakinya udah mulai ketarik.
Tanjakan dengan jarak sekitar 2.5 K dan elevation gain 300 meter ini saya lalui dengan sungguh sangat lama. Sering berhenti, level capek udah nggak bisa saya deskripsikan lagi. Untungnya mata lumayan kebantu gara-gara minum kopi tadi. Tanjakan ini saya habiskan dalam waktu 55 menit. Dan ETA di jam tangan saya: 12:04! Sudah over COT 4 menit.
Saya tarik nafas sebentar, mencoba berdamai dengan diri sendiri, memejamkan mata sejenak, mencoba mengumpulkan sisa-sisa tenaga dan semangat. It’s your game, Bar! Oke, gue pasti bisa.
Saya berlari-lari kecil, saya lirik jam tangan, saya berpacu sekitar pace 7:00 sampai 09:00. Sempet nyalip si Angga dan ngajak lari juga karena COT yang udah mepet pet pet. Saya terus berlari sambil mantengin ETA. ETA semakin lama pun semakin terpangkas, semakin pendek, dan saya mulai menurunkan pace saat ETA sudah di bawah jam 12.00.
Sampai di puncak Goa Jepang, saya sudah bisa melihat Pantai Depok tempat finish nanti! Meskipun keliatan keciiiiil banget. Ini pemandangan paling wah sepanjang rute CTC kategori 70K. Kalau lah saya nggak dikerjar COT, pasti saya sempetin foto dulu di sini. But, no more taking photos! Time is chasing after you!
Sampai di WS 11: Goa Jepang. Masih ada buah naga sedikit, saya makan dengan lahap dan secepat saya bisa. Saya nggak mau berlama-lama di WS.
Masih 14 kilo lagi dan waktu saya masih 2 jam 40 menit. ETA saya jaga di waktu 11:55. Masih kebayang beratnya 5K terakhir nanti saat melawan gumuk pasir, jadi saya coba agar ETA saya bisa berubah menjadi 11:50.
Meninggalkan WS 11 saya langsung ketemu turunan. Pace yang direncanakan sampai pace 07ish, mulai melambat. Dan baru bisa saya kejar lagi setelah track mulai datar. Di sini saya mulai menyadari ada keanehan. Saya lihat kedua tangan saya mulai terasa janggal. Ukurannya jadi tembem, kedua telapaknya juga terasa lebih merah. “Kok bengkak ya?”
Ketika saya coba genggam kenceng, pas saya lepas, kesemutan kerasa sampai siku. Biasanya kan kalo tangan kita menggenggam kenceng, terus dilepas, ada bekas warna putihnya dulu kan tuh, baru berubah jadi merah, tanda darah lagi bergerak. Nah ini beda. Ketika saya lepas cengkeraman tangan, telapak tangan berubah jadi merah tuh agak lama. Bahkan sisa-sisa jari di telapak tangan masih ketinggalan.
Oke fix, peredaran darah saya nggak lancar. Saya langsung kepikiran kalo saya dehidrasi. Padahal setiap sampai di WS, saya hampir selalu mengisi dua flask yang hampir kosong. Kok ternyata minum saya masih kurang.
Rasa kesemutan yang dari tadi terasa di kepala, mulai turun sampai bahu. saya coba tepuk-tepuk leher, membantu peredaran darah biar lebih lancar. Saya memutuskan untuk jalan dulu, biar kondisi badan lebih nyaman. Saya cek jam tangan, ETA sudah turun ke 11:53. Pikir saya, “Ntar ah, lari lagi kalo ETAnya udah naik ke 11:57.”
Di sini saya disalip Angga. Dia ngajak lari bareng, tapi saya nggak bergeming. Tetep jalan santai aja, ngenormalin kondisi badan.
Baru kemudian tepat sebelum menjelang KM 65, saya kaget karena ada tanjakan lagi di depan. Buseeet tanjakan lagi! Gue kira habis ini langsung turunan ke gumuk pasir. Sempet ketemu sama beberapa peserta yang lagi duduk-duduk di tepi jalan. “Tanjakan terakhir Mas, habis itu udah langsung WS kok. Sebelum ke gumuk.”
Saya menoleh sebentar dan saya bales dengan senyum teramah yang saya punya, meskipun saya tahu muka saya udah nampak depresi.
Tepat satu langkah saat saya mencoba mendaki tanjakan itu, sekujur tubuh saya terasa kesemutan. Saya mencoba menegakkan pandangan, tapi pandangan saya terlihat kabur. Saya merasa nggak kuat untuk melanjutkan langkah lagi. Hampir ambruk, saya menopang badan dengan posisi kedua tangan menyangga lutut, seperti rukuk. Tanah yang saya lihat terasa tak fokus. Saya mengambil nafas dalam-dalam, masa iya sih mau pingsan. Saya mencoba berdiri tegak, mengambil nafas panjang. Melihat tanjakan di depan mata, membayangkan dua skenario yang akan terjadi.
Pertama, saya tak menghiraukan kondisi badan yang sudah memohon-mohon untuk dikasih istirahat, lalu memaksa meniti tanjakan ini: tertatih-tatih sampai di WS 12, refill air minum, baru kemudian turun ke gumuk pasir, berjuang menghadapi lima kilometer paling sadis dari serangkaian rute CTC.
Atau skenario yang kedua: Saya mendengarkan tubuh saya.
Saya melilrik jam tangan: KM 64.55 dengan waktu 13 jam 35 menit. Masih 7 kilo lagi, masih 85 menit lagi, masih bisa, masih bisa, masih bisa.
Saya tersenyum sejenak, lalu activity jam tangan saya stop.
Cukup sampai di sini saja permainan saya. Terbesit kata-kata saya sesaat sebelum mendaftar CTC, “…saya perlu untuk maintain kondisi fisik…” Then I remembered my game that time: maintaining my body physique, not finishing the race.
Hahahaha… be careful what you wish for ya Mas Bardiq.

My Strava activity: https://www.strava.com/activities/3103711328

THE AFTERMATH

Tulisan ini lamaaa sekali untuk saya selesaikan, sampai 25 hari sejak race selesai. Banyak yang ingin saya curahkan di tulisan ini. Banyak yang ingin saya ceritakan. Salah satunya adalah, the aftermath.
Persiapan menghadapi CTC saya akui tak seserius saya menghadapi BTS tahun lalu. Mungkin karena elevation gainnya yang masih di bawah BTS. Dan saya meremahkan COT yang sangat mepet. Setelah sepanjang bulan Desember saya Full Malesmalesan, saya tak lekas mengejar kondisi fisik yang menurun. Sehingga sepanjang bulan Januari terkesan kewalahan mengejar target latihan.
Sembilan hari setelah CTC, pegel-pegel saya sudah hilang, badan sudah seger. Tapi di Selasa pagi, tiba-tiba HNP saya kumat. Hernia Nukleus Pulposus alias syaraf kejepit di pinggang. Dan rasanya sangat menjadi-jadi. Saya sudah ada keluhan nyeri sejak tahun 2013 mulai dari pinggang, turun ke pinggul kanan bagian dalam, menjalar sampai betis dan kaki. Biasanya sih kambuh kalo habis lari dengan jarak jauh. Tapi biasanya paling lama seminggu habis itu  udah sembuh lagi. Terakhir kambuh habis Borobudur Marathon yang dua minggu berikutnya disambung dengan Semarang10K tahun 2018. Tapi nggak sampai sesakit ini. Kali ini saya sampai kesakitan untuk jalan, untuk tiduran pun terasa nyut-nyutan. Entah pemicu utamanya karena CTC atau bukan, tapi saya yakin CTC ikut andil juga. Porsi latihan yang dikebut, race yang diforsir, dan after race yang kurang stretching. Voila!
Five days in pain, a dozen days in uncomfortable feelings, and alhamdulillah now I feel so much better.
Doakan saya bisa pecicilan kembali!
I’ll see you very soon.

4 thoughts on “Melaju dan Berpacu dengan COT di CTC Ultra Kategori 70K

  1. Ruarrrr biasa! 🙂 Seru membacanya! Tahun depan saya yakin sampeyan bisa ambil yang 100K dan finish tidak lewat cot. Saya salut Mas Akbar ini bisa menulis kesan demikian rinci di setiap KM tertentu. Jadi penasaran apa Mas membuat catatan saat race ya? Saya pengen juga punya cerita sendiri seperti ini. Untuk kenang2an sendiri juga. Pengalaman saya lari road marathon dan trail marathon rasanya sama sekali tidak bisa cerita serinci ini. Memang selalu ada kesan-kesan tertentu di KM tertentu, tapi tidak pernah bisa mengingat persis kesan mana yang dirasakan pada KM berapa.

    Liked by 1 person

    1. Halo Mas Deni. Makasih banget udah mampir dan baca-baca tulisan saya yang banyak sesi curhatnya. Hahahaha.
      Ayo Mas, buat tulisan juga. Saya juga niat awal buat blog ini lebih ke bikin jurnal untuk diri sendiri. Syukur syukur kalo ternyata banyak yang mampir ke sini.

      Kalo boleh sharing tips Mas. Saya nggak bikin catatan kok, cuma memang agak ribet prosesnya. Untuk trail, selama latihan, RPC, race, dan after race saya foto sebanyak banyaknya Mas. Nanti ketika buat tulisan saya cocokin waktu yang ada di setiap foto dengan activity di Strava/Garmin untuk ngecek jarak, waktu, elevation, suasa/kondisi. Nanti sambil liat-liat foto tadi insyaallah bisa ngalir sendiri ceritanya. Memang agak susah awalnya, faktor kebiasaan juga Mas. Terus tulislah sesuka Mas Deni, mau ngelantur atau sepanjang apa nggak masalah. Kan tujuannya juga untuk jurnal diri sendiri, dishare ke orang lain nomor dua. Kecuali kalau sudah sampai tahap nulis untuk keperluan media masa pasti berbeda lagi.

      Yang akhir akhir ini saya rasain susah justru untuk yang road Mas. Sejak 2018 saya agak terobsesi dengan Personal Best, jadi sangat susah untuk nyempetin ngeluarin HP selama race. Jadi foto-foto di tulisan road race mulai akhir 2018 mengandalkan foto-foto fotografer dan ingatan. Biasanya sih tetep sambil mantengin activity di Strava/Garmin.

      Sekali lagi makasih Mas Deni, salam kenal.

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.