Day 13 in Norway, “Mari, Collin, and Nukka”

19 September 2018: Tromsø
Ada dua kamar mandi di rumah Airbnb kami. Satu di dalam rumah yang biasa dipakai barengan sama host, lalu satu lagi terpisah dengan bangunan utama. Pagi itu setelah menggigil karena ambil air wudhu sebelum sholat, saya menerjang angin, masih gelap saya keluar rumah menuju kamar mandi luar. Lebih nyaman pakai kamar mandi yang di luar karena lebih leluasa, nggak was-was ada yang ngantre mau pakai kamar mandi juga.
Kami akan numpang dengan host kami, Mari dan Collin, yang kebetulan juga punya urusan di Tromsø. Setelah kami sarapan dengan nasi dan telur rebus yang udah kami siapin sejak tadi malam, kami duduk manis di sofa dapur, menunggu Mari dan Collin yang masih mondar-mandir packing kebutuhan mereka.
Jam 8 lebih kami berangkat dari rumah Mari dan Collin, kami duduk di belakang sementara Nukka sudah tiduran di bagasi mobil hatchback, sesekali dia melongok ke jendela belakang dan memandangi jalan.
Kami meninggalkan Jægervatnet. Selalu ada perasaan berat hati ketika meninggalkan tempat-tempat baru yang meskipun hanya satu atau dua hari kita singgahi, tapi meninggalkan banyak cerita. Pagi itu cerah dengan sedikit awan menggantung di atas Jægervatnet. Lama saya pandangi danau ini sampai kami berbelok dan semakin menjauh.
There are always places that I always adore, but my words can’t describe them enough and my camera fails to capture.” -bardiq
Sampai jumpa Jægervatnet.
Who wants some hugs?
Mobil menepi di Svensby ferjekai (ferry terminal), sudah banyak mobil-mobil yang mengantre untuk masuk ke dalam ferry. Termasuk bus 160 yang sebenernya akan kami naikin dari Svensby ferjekai kalau aja Mari dan Collin nggak nawarin tumpangan.
It would be very awkward if… Mari nggak nawarin jemput, dan kami mengikuti rencana kami untuk sewa sepeda gowes di Svensby. Lalu pagi itu kami sama-sama mau ke Tromsø, naik ferry yang sama dari Svensby lalu sepanjang perjalanan cuma mesam mesem karena nggak sengaja papasan.
“Oh, hello. We meet again. Hehehehe.”
“Oh hi. Hehehehe.”
“Oh hello. Hehehehe.”
So I’m grateful we had hosts as kind as them.
Seperti saat menyeberang dari Olderdalen ke Lyngseidet, setelah mobil naik ke ferry, kami turun dari mobil. Nukka tetap tinggal di bagasi mobil dengan jendela dibiarkan terbuka. Ferry ini berangkat dari Svensby ferjekai ke Breivikeidet hampir setiap dua jam sekali. Hanya memerlukan waktu 20 menit dan ferry sudah merapat ke daratan.

Menurut cerita Mari dan Collin, di sekitaran Breivikeidet merupakan daerah yang rawan saat winter. Karena sering terjadi snowstorm yang sampe membuat daerah ini terisolasi. Pernah beberapa tahun yang lalu pas Collin lagi di Tromsø dan jalan menuju Breivikeidet ditutup, dia harus memutar yang membutuhkan waktu jauh lebih lama. Saya jadi cerita kalau setiap daerah punya bencana yang berbeda-beda ya. Di Indonesia lebih sering earthquakes dan banjir.
Tak sampai sejam dan kami mulai melihat keramaian di kejauhan. Rumah-rumah berjejer, dan Tromsøbrua (Tromsø bridge) yang membelah Tromsøysundet (Tromsø strait). Lalu Arctic Cathedral yang berbentuk segitiga-segitiga dengan salib besar di depan pintu masuknya mulai nampak di tepi jembatan, tepat sebelum kami berbelok dan menyeberang.
Here is the tourist trap.”
Collin berujar, saya hanya menimpali dengan ketawa pendek.
Selamat datang di peradaban ya Mas Bardiq!
Tromsø adalah kota terpadat di Northern Norway dan sekaligus menjadi kota yang terkenal dengan banyak atraksi untuk para turis. Datanglah ke mari di waktu yang tepat dan bakal ada segudang trip yang bisa kita ikutin, yang paling terkenal: Northern Lights Expedition dan Reindeer or Dog Sledding. Saat kami di Tromsø masih bulan September, belum ada salju. Jadi untuk reindeer atau dog sledding tentu nggak bisa kita lakukan. Setelah hampir sepuluh hari kami menjelajah daerah suburb Norway, kami sampai juga di salah satu kota besarnya
Sebenernya kami punya tiga alasan mengapa bisa sampai Tromsø. Yang pertama karena kami penasaran dengan kota ini. Kenapa sih kok terkenal banget. Banyak orang yang ingin melihat Northern Lights, berangkat ke Tromsø. Atau ingin reindeer sledding, juga berangkat ke Tromsø. Apalagi untuk orang-orang yang hanya memiliki waktu singkat aja.
Saya bisa menilai kalau Tromsø ini adalah kota turis. Kegiatan-kegiatan yang saya sebutkan di atas, bisa kita lakukan dengan ikut tour agent, membayar biaya sekian juta Rupiah dulu baru kemudian diajak untuk meninggalkan Tromsø, mengikuti kegiatan-kegiatan tadi.
Bisa kah kita melihat Northern Lights di Tromsø? Tentu saja bisa! Tergantung banyak hal yang sudah saya jelasin dengan rinci di tulisan saya tentang Northern Lights. Nah, biasanya kalau cuaca di Tromsø sedang mendung, kita bakal diajak ke tempat-tempat yang lebih jauh lagi untuk menghindari mendung, supaya Northern Lights bisa terlihat. Atau kalau mau reindeer sledding dan mengunjungi orang-orang Sami, pun juga akan dibawa oleh para tour agent ini ke tempat-tempat yang sebenernya sudah bukan di Tromsø lagi.
Alasan kedua saya sampai di Tromsø adalah sebagai back up plan. Kalau saja setelah kami sampai di Arctic Circle sepuluh hari yang lalu, dan di malam-malam harinya kami nggak juga bisa melihat Northern Lights, maka di Tromsø kami bakal bayar sekian juta juga buat ikut tour berburu Northern Lights.
Alasan yang ketiga adalah membeli oleh-oleh! Kota seperti Tromsø tentu memiliki banyak toko souvenir, yang menjual berbagai jenis oleh-oleh. Yah, walaupun ada beberapa pertimbangan yang kalo saya bilang, mending jangan beli di Tromsø.
Tak lama Collin membelokkan mobil dan memarkir di basement suatu gedung. Sudah tiba ternyata waktu berpisah dengan Mari, Collin, dan Nukka. Saya sekali lagi mengecek barang bawaan, sebelum melompat turun. Nukka tetap tinggal di mobil. Sesaat sebelum turun, saya mengelus kepalanya sebentar, berpamitan karena nggak tau kapan lagi bisa ketemu si cantik ini.
Saya menghampiri Mari dan Collin menyalami mereka satu-satu, berterima kasih sebanyak-banyaknya karena telah menjadi the kindest and most heartwarming hosts who accepted us as their guests. Kami saling banyak bertukar cerita. Mereka bercerita tentang bagaimana tinggal di tepi danau super indah di Norwegia utara; tentang binatang-binatang ternaknya; tentang Nukka; tentang winter di Norway yang membuat langit di sepanjang hari gelap, namun dari 3D painting yang menggantung di dinding rumah, mereka dapat mereka lihat setiap beberapa jam Northern Lights menyapu atap langit. Dan kami membagi cerita tentang negara yang sangat jauh dari Norway, negara tropis yang punya banyak pantai indah, yang sepanjang tahun diberkahi sinar matahari melimpah, yang punya banyak sekali gunung-gunung berapi.
Sesaat saya melepas jabat tangan Mari, dia tersenyum seperti merasakan apa yang kami rasakan juga, sedih brooo. Mereka memastikan lagi tentang Airbnb kami di Tromsø, “It’s not far from here, we can walk.” Kata saya berbohong, padahal masih lima kilo lebih. Lalu keduanya melambaikan tangan terakhir sebelum berbalik arah dan meninggalkan kami.
Malam harinya, ada notif email dari Airbnb. Ternyata Mari menulis feedback. And she said, “Thank you for visiting us from a faraway place on the other side of the world! You were really nice people and I´m happy for your visit. Have a good trip further on!”
Thank you Mari, Collin, and Nukka!
I don’t have their photos nor took a selfie. So here’s a photo of Nukka.
Kami memastikan sampai Mari dan Collin benar-benar meninggalkan gedung parkir, agar mereka tak sampai melihat kami kebingungan mencocokkan current location dengan lokasi Airbnb. Kami udah terlanjur bilang kalo arah Airbnb kami “the other way”, yang ternyata karena kami lagi ada di basement, google maps agak bingung juga nyari lokasi kami. Setelah kami keluar gedung lewat “the other way” ternyata salah jalan, kami harus berbalik arah mengikuti arah Mari dan Collin keluar gedung parkir. Jangan sampe papasan aja, malu untuk ber, “Oh hi, we meet again. Hehehehe.”
Saya sudah menobatkan perjalanan menenteng tas duffel dan memanggul tas besar paling berat pertama adalah saat berjalan kaki lima kilo lebih menuju rumah Roy di Å dari Moskenes, saat pertama kali tiba di Lofoten. Yang kedua adalah saat berjalan kaki dari Reine ke Hamnøy hampir empat kilo. Saat berpisah dengan Mari dan Collin dan berjalan menuju Airbnb kami yang jaraknya lima kilo lebih ini, adalah perjalanan terberat kami ketiga.
Ya Allah, jalanan Tromsø sadis kali naik turun, macam bukit! Kami nggak tau bus stop yang paling dekat dengan Airbnb kami, karena host kami di Tromsø, Espen Solvik, pun nggak tau nama bus stop terdekat dari rumahnya. Entah lah, berbelas-belas hari kami di Norway nggak satupun host Airbnb kami tahu nama bus stop yang paling dekat dengan rumahnya. Karena banyak banget jalur bus dan bus stop di Tromsø. Ya namanya juga kota besar, beda banget dengan sebelum kami sampe Tromsø, jalur bus cuma satu, tiap desa cuma dua sampai lima bus stop.
Karena teringat kalau beras kami udah abis, kebetulan kami ngelewatin Rema 1000. Lama kami mondar-mandir milah-milih lauk juga, dan akhirnya nemu juga kalkun tepung yang kami dambakan. Dan tiba-tiba tas duffel pun kembali penuh dan semakin berat.
Setelah sampai di titik lokasi Airbnb, badan sudah keringetan karena saking nanjaknya rumah Espen. Di sana kami masih bingung karena rumah Espen nggak mudah kami temuin. Sempet nanya ke bapak-bapak yang kebetulan lagi ke luar rumah, dan dia nggak kenal dengan para tetangganya. Hadeuh. Bahkan malah bapak ini ngajak ngobrol panjang karena nggak sengaja liat tulisan Å i Lofoten di sweater dari Vishesh yang lagi saya pakai.
I have a summer house in Reine. Did you go to Reine?” Dan blah blah blah blah… Saya mencoba tetep ramah dengan bapak ini meskipun badan udah keringetan, udah pingin segera sampai rumah Espen dan ngerebahin badan saking capeknya.
Dan ternyata setelah kami perhatiin lagi dengan lebih cermat foto rumah Espen di aplikasi Airbnb, kami runut ulang jalan dan alamat rumah Espen, ketemulah rumah dia, hanya beda dua rumah dan dipisahin satu jalan dengan rumah si Bapak-Reine-Summer-House tadi! Nggak pernah ikut arisan dawis kurasa si Bapak ini.
Kami masuk rumah Espen, melepas boots di mudroom dan naik ke lantai dua dari tangga di sisi ruangan. Ada tiga pintu dan kamar kami yang ada di ujung sebelah kanan. Pintu saya buka, sebuah koridor kecil menghubungkan sebuah kamar mandi di ujung ruangan, dapur mini tanpa pintu, dan kamar tidur luas dengan dua single bed. Sebuah jendela terbuka setengah. Saya melongok, terlihat sebuah gunung dengan daun-daun pepohonan yang sudah menguning, Tromsøbrua lengkap dengan Arctic Cathedral pun ikut terlihat.
My kind of window view.
Saya merebahkan badan saya sejenak. Sungguh nikmat punggung yang pegal-pegal ini nempel di lantai. Kami memutuskan untuk beristirahat sebentar sekalian nunggu waktu dzuhur dulu. Jadi pas keliling ke pusat kota udah sholat dan sekalian nyari makan siang.
Pusat keramaian kota Tromsø nggak jauh dari Tromsøbrua, sebuah daerah bernama Storgata. Sepanjang jalan Storgata dipenuhi restaurant, fast food, dan pub. Jadi ya bisa dibilang kami menghabiskan seharian di Storgata.
Storgata juga tempatnya kalo kamu mau cari oleh-oleh, but please remember: expensive. Saya nemu magnet di mini market kecil di Djupvik, tempat saya ketemu Ibu-Ibu yang kesurupan siluman ayam, harganya 39 NOK atau sekitar 63 ribu. Dan saya nemu magnet yang sama persis pleg, dijual di Tromsø dengan harga 59 NOK atau sekitar 95 ribu. T-shirt harganya sekitar 129 NOK, topi sekitar 109 NOK. Kalau T-shirt dan topi normal sih harganya. Magnet sama gantungan kunci aja nih yang kelewat mahal. Jadi kalau kamu nemu oleh-oleh yang kiranya lebih murah dari itu selain di Tromsø, sikat aja!

This slideshow requires JavaScript.

Sudah waktunya makan siang, dan kami lumayan bingung mau makan siang di mana. Ketika ngobrol-ngobrol dengan Mari dan Collin kemaren sore, mereka kasih beberapa rekomendasi tempat makan di Tromsø. Setelah berhari-hari makan seadanya dari hasil belanja, we deserve some good local foods! Kami pingin banget nyobain reindeer stew! Rekomendasi mereka ada Kaia, Hildr, dan satu lagi apa coba? Mathallen! Walaupun dalam hati ngebatin, yaah.. Mathallen mah udah pernah mampir pas di Oslo dulu.
Kami mampir ke Hildr Gastro Bar. Dari namanya sudah jelas kalau tempat ini sebuah bar. Tapi bar baru buka sore hari. Jadi kalo dateng siang gini menu yang disediakan juga menu makan siang. Dan sayangnya masakan menu reindeer baru bisa disajikan setelah jam 15.00, sementara kami udah kelaparan. Akhirnya kami mampir ke Kaia yang lokasinya tepat di tepi Tromsøysundet. Asiik.
Banyak menu makanan lokal yang ditawarkan, dan harganya pun seperti biasa: fantastis. Local food yang disajikan ada Bacalao (yang udah kami cicipin saat di Henningsvær); beberapa makanan olahan deer, salmon, ikan cod; dan tentu saja yang kami cari: Reindeer Stew. Wait, ada lagi menu yang unik: Whale Steak! Iya, Norway adalah satu dari tiga negara selain Iceland dan Japan yang masih melegalkan berburu paus. Tapi, tidak sembarang paus. Saya baca di beberapa artikel, paus yang diburu adalah jenis minkle whale yang belum masuk ke kategori endangered. Dan lagi, mereka punya kuota untuk  perburuan paus setiap tahunnya. Jadi ternyata, menemukan menu whale steak di Norway adalah hal yang wajar. Harganya: sepiring sekitar 400 ribu. Yaa, mohon maap kalo gitu yaa.
Kami memesan reindeer stew sebelum kemudian berubah pikiran karena reindeer stew di restaurant ini disajikan bersamaan dengan daging babi. Oh hell no. Membayangkan menyantap sepiring daging reindeer yang dipotong-potong halus dengan sup kental berwarna coklat muda dan disajikan dengan mashed potato pun akhirnya sirna. Sempet nyoba nanya apa bisa babinya dipisah aja. Ternyata tidak, daging babinya dimasak bersamaan dengan daging reindeer. *sad emoji, crying emoji, exhausted emoji
Akhirnya kami memesan kayak kebab. Jadi daging reindeer diwrap dan diisi juga pake sayur-sayuran. Yaah, bukan kayak lagi sih, memang kebab. Cuma karena di Norway namanya berubah jadi Reindeer Wrap.
Bro Adityo.
The view from our table in Kaia.
Setelah membeli beberapa oleh-oleh dan capek keliling kota, kami pun kembali ke Airbnb, juga karena tiba-tiba mulai gerimis. Entah kenapa capeknya keliling Tromsø lebih kerasa dari pada capeknya turun selepas hiking. Mungkin karena kami kurang menjelajah kota lebih jauh. Jadi seharian di situ-situ aja. Atau bisa juga menurut saya nyari oleh-oleh adalah aktivitas yang membosankan ya? Masuk ke satu toko, pindah ke toko lain, bandingin harga, ngingat-ingat murah yang mana. Hadeuh.
Sebenernya kami berencana (dan lumayan agak ngotot) setelah beres nyari oleh-oleh untuk mau hiking ke Mount Fløya. Kalo kamu tau ada cable car di Tromsø, itu tujuannya ke salah satu viewpointnya Mount Fløya milik Fjellheisen. Bisa dibaca-baca tentang cable carnya ini di websitenya Fjellheisen. Tapi ya karena gerimis tadi itu lah kami akhirnya batal untuk hiking. Pulang ke Airbnb kami udah lumayan ngerti jalur bus kotanya, jadi nggak perlu jalan jauh lagi.
Sepanjang sore kami hanya di Airbnb aja, memandangi langit gelap dan gerimis yang nggak kunjung reda.
Airbnb kami menyediakan microwave, nggak ada kompor atau kulkas. Agak kesusahan awalnya karena dari dulu selalu bingung make microwave, nyoba puter ini itu, tapi ternyata nasi kami jadinya jauh lebih enak ketimbang masak pake kompor, kalkun juga empuk sampai dalem, tanpa minyak pulak kan.
Beres makan malem saya udah mulai merem-merem sambil selonjoran di lantai, sebelum kemudian si Adityo ngajakin buat ke Storgata lagi, nyari foto Tromsø bridge pas malem kayaknya seru juga. Agak males-malesan karena jalannya jauuuh banget, tapi akhirnya mengiyakan juga. Kami cuma punya satu kesempatan melihat Tromsø di malem hari jadi saya memaksakan badan untuk ambil tripod dan keluar Airbnb. Jangan tanya, “Kenapa nggak naik bus aja Mas Bardiq? Katanya udah tau rutenya.” karena dari tadi saya coba nginget-inget juga, kenapa ya waktu itu malah jalan kaki ke Storgata?
Dan ternyata, we didn’t regret. Bukan, bukan Northern Lights. Karena untuk Northern Lights selain saya udah pesimis bisa lihat dari kota sebesar Tromsø, juga karena langit yang memang mendung. Tapi, view kami memotret Tromsø bridge dari tepi Tromsø strait terlihat syahdu. Titik-titik lampu sepanjang Tromsø bridge yang saya sulap menjadi bintang-bintang kecil, Arctic Cathedral yang terlihat terang di ujung jembatan, lalu titik-titik lampu rumah-rumah warga di daerah Hungeren di seberang Tromsø strait yang terlihat seperti lautan bintang. Air terlihat tenang, kapal-kapal mengambang dan bergerak perlahan seirama, seperti berdansa mengikuti alunan arus, saya sampai sedikit uring-uringan karena beberapa kali kapal-kapal ini jadi terlihat kabur di foto.
Nitt i Tromsø
Jam 11 malam dan akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke Airbnb. Kami sempet mencoba buat naik bus karena udah ngantuk banget, jalan pun kaki udah diseret-seret. Tapi teranyata bus yang menuju Airbnb kami sudah tak ada lagi.

Malam itu hari segera berganti. Kami berjalan ke tempat kami sementara pulang. Sempoyongan sambil menahan kantuk. Ditemani lampu-lampu penduduk yang membentang seperti bintang.
Malam itu hari segera berganti. Tak ada Northern Lights kami saksikan di Tromsø, hari-hari di Arctic Circle semakin menipis.
Malam itu hari segera berganti. Cerita semakin mendekati akhir. Ada perasaan pilu saat jari-jari ini terus mengetik, menceritakan sisa-sisa petualangan di Norway.
Malam itu hari segera berganti. Sebelum saya matikan lampu, sekali lagi saya memandang keluar jendela kamar, menatapi “Natt i Tromsø – Night in Tromsø” di bawah jendela Airbnb kami.
Good night, Tromsø.

Click here to read all my stories in Norway.

6 thoughts on “Day 13 in Norway, “Mari, Collin, and Nukka”

  1. I do want some hug 😀

    Bener bener, tiap daerah ada bencananya masing-masing. Kalau nggak ada bencana alam, mungkin ada bencana kemanusiaan, atau mungkin daerahnya boring hehe. Eh, kenapa nggak istirahat di rumah bapak-bapak itu, mas?

    Foto slow speed-nya cakep! Pake Canon, mas?

    Liked by 1 person

    1. Yaah, cowok yang nyaut. Hahahaha.

      Bencana kemanusiaan kayak udah banyak di mana mana ya Mas. 😦

      Malah nggak kepikiran Mas istirahat di tempat dia Mas. Udah capek dan udah deket sama tempat nginep, jadi kepikirannya lebih pingin cepet cepet sampe ke tempat istirahat.

      Thaaank you Mas. Aku FujiFilm user nih Mas.

      Liked by 1 person

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.