Kashmir to Ladakh: Day 2, “Down in the Kashmir Valley, Up on the Himalayas”

22 September 2017 – Sonamarg, Drass, Kargil
“Jam berapa besok pagi kami dijemput?” “Jam 6.30.”
Agak malas-malasan ketika tau janjian dengan Shabir jam 6.30, masih pingin tidur lagi habis sholat subuh. Masih ngantuk banget. Tapi karena semangat ngetrip saya yang berapi-api, setelah sholat subuh saya langsung mandi dan packing barang bawaan. Beneran? Enggak. Mandi? Enggak juga. Karena yang semangat ngetripnya berapi-api adalah si Ikhsanul, saya kena percikannya aja. Jadi si Ikhsanul ini, habis subuh nggak ada istilah goler goler lagi, atau nyungsep lagi di balik selimut, sedingin apapun udaranya. Jadi saya yang dari bawaan lahir memang susah tidur, ya mau nggak mau ikut kebangun.
Jadi karena udaranya dingin bangeeet, saya cuma cuci muka dan gosok gigi. Habis itu packing barang bawaan, lalu kami udah siap buat memulai perjalanan. Aslam sudah duluan bangun dari pada kami, bahkan dia yang setengah ngeburu-buruin kami biar cepet packing karena Shabir bakal jemput kami jam 6.30.
Oiya, kalau kamu nginap di tempat Aslam, dan mau bawain oleh-oleh. Dia suka rokok dari Indonesia. Kontak untuk menginap di tempat Aslam bisa kamu baca di tulisan saya tentang penginapan di Kashmir dan Ladakh.
Kali ini kami diantar Aslam langsung pakai shikara dia, karena memang belum kelihatan shikara yang beroperasi pagi ini. Dan memang sudah kelihatan kecapekan dia dayung shikaranya. Oiya, kalau punya banyak waktu di Srinagar, mampir juga ke pasar apungnya ya. Yang pernah mampir ke pasar apung di Banjarmasin, mungkin mau bandingin.
Pagi itu kami disuguhi pemandangan pagi yang luar biasa. Kami membelah danau Dal yang masih tenang, dingin, dengan pegunungan Himalaya di ujung danau yang dipantulkan di atas permukaan air. Kami belum sarapan, jadi untuk mengganjal perut, kami makan snack bekal dari Ikhsanul. Untung ada jajanan dari si Ikhsanul yang bikin saya jadi ‘worry free’. Yang tukang nonton TV pasti tau snacknya apaan.
Selesai nyebrang Dal Lake, selagi nunggu Shabir kami ketemu banyak orang pada jogging, seru bener jogging di pinggir Dal Lake. Dan, Shabir pun ngaret. Sekitar setengah jam baru dia datang jemput kami. Setelah berpamitan dengan Aslam, kami naikkan barang bawaan ke bagasi mobil Shabir, baru kami memulai perjalanan ini. Meninggalkan Srinagar, meninggalkan Dal Lake yang indah dan menenangkan, meninggalkan lembah Kashmir yang hijau.
Shukriya.

This slideshow requires JavaScript.

Tujuan utama hari ini adalah Kargil. Sebuah kota berjarak sekitar 200 kilometer dari Srinagar dan bisa ditempuh langsung selama 6-7 jam. Hari itu kami berangkat dari Srinagar pukul 7 pagi dan berharap dengan perjalanan yang santai dan sempet mampir-mampir, bisa sampai di Kargil sebelum gelap.
Kami belum sarapan, laper, tapi agak-agak nggak enak kalo ngajak Shabir cari makan, padahal baru beberapa menit berangkat. Dan setengah jam kami berkendara akhirnya kami mancing-mancing obrolan cari sarapan. Kami menepi di sebuah tempat makan di daerah Ganderbal. Nggak ada nama tempat makannya, tapi mereka punya pemandangan yang bagus banget. Mereka menyusun meja dan kursi di tanah lapang tanpa atap di sebelah Sind River dengan pemandanan pegunungan di kejauhan.
Kami memesan satu piring Pakoda dan masing-masing satu gelas milk tea. Pakoda adalah snack yang terbuat dari bawang putih yang digoreng dengan tepung yang sudah dibumbui.

This slideshow requires JavaScript.

Kami membeli beberapa buah pisang dan apel untuk cemilan selama di jalan. Baru sekitar jam 8.15, kami melanjutkan perjalanan, sebelum kemudian Shabir ngajak kami buat mampir sebentar di rumah temannya. Sekitar jam 9 kami menepi. Ada sebuah rumah di pinggir jalan raya, kami bertamu di rumah Gayaz.
Di rumah Gayaz kami ditawari sarapan lagi, kali ini beberapa chapati, banyak walnut, lalu satu gelas milk tea panas. Ada yang beda dengan minuman untuk Shabir, warnanya lebih kemerah-merahan dan lebih cerah. Ternyata Shabir disuguhi Namkeen/Noon Chai/Pink Tea. “May I try yours, Shabir?” Tanya saya sambil menunjuk tehnya. “Sure, Akbar. Sure.” One sip, and… asin! Asli ini teh dengan rasa paling susah untuk digambarkan, ada rasa teh dan susu, tapi asin karena ditambah garam dan bahan-bahan lain, dalam satu cangkir panas yang disajikan berwarna pink kental. Dan saya minta tolong Ibu Gayaz untuk buatkan satu cangkir Namkeen juga. Hahahaha. Aneh rasanya, tapi saya penasaran.

This slideshow requires JavaScript.

Selesai bertamu di rumah Gayaz, jam 9 kami melanjutkan perjalanan. Perjalanan kami menyusuri sungai Sind yang berwarna hijau kebiru-biruan, di bawah kaki pegunungan yang hijau. Jalan menuju Kargil ini, kalau winter ditutup karena tidak bisa diakses, tertutup salju tebal.
Kami sampai di Sonamarg sekitar jam 10.30, berhenti di perbatasan. Shabir bertamu sebentar dengan kerabatnya, bersalaman, ngobrol. Sepanjang perjalanan dari Srinagar ke Leh ini, kami sering berhenti di beberapa tempat, untuk ketemu kawan/saudara Shabir, sekedar ngobrol, minum teh, atau cukup bersalaman aja.
Di Sonamarg kami ditawari jeep ride menuju Thajiwas Glacier, atau bisa juga menaiki kuda di lembahnya. Beberapa kali saling tawar harga, karena masih terlalu mahal (kalo nggak salah sekitar Rs. 2000 per orang), jadi kami batalkan.
Dari Sonamarg kami melanjutkan perjalanan dan sempet berhenti sekitar setengah jam karena ada tanah longsor sebelum memasuki Zozi La. Tempat kami menunggu saat batu-batu dari tanah longsor dibersihkan, tepat berada di ketinggian dengan pemandangan lembah Kahsmir yang luar biasa indah. Jadi selagi nunggu, saya dan Ikhsanul foto-foto saja sambil menikmati bumi Kashmir.

This slideshow requires JavaScript.

Jam 11.30 jalan sudah bisa dilalui, kami sampai di Zozi La. “La” berarti Mountain Pass atau jalan di gunung. “La” akan banyak saya ceritakan dalam perjalanan ini. La La La…
Zozi La adalah mountain pass yang menghubungkan jalur antara Sriangar dan Leh. Zozi La berada di ketinggian 3,528 meter di atas permukaan laut, berbentuk jalan berliku yang belum diaspal, jadi masih berbatu. Zozi La merupakan mountain pass tertinggi kedua setelah Fotu La di jalan yang menghubungkan Srinagar dengan Leh. View yang saya lihat di sepanjang Zozi La ini bikin saya jawdropping atau bahasa gaulnya: ndomblong. Dan sangat tidak memungkinkan untuk menepi, karena jalan masih berbatu dan sempit, sebelah kanan gunung tinggi, sebelah kiri jurang. Karena jalan berdebu, saya cuma bisa ambil foto dari dalam mobil dengan kaca tertutup.
Kalau mau ngetes skill nyetir kamu, Zozi La tempat yang cocok. Kalo di jalan raya kan nabrak atau ketilang sebagai tolok ukurnya, kalau ini nabrak tebing atau masuk jurang.
Setelah Zozi La, kami melewati Zozi La War Memorial sebelum memasuki desa kecil bernama Gumri.

This slideshow requires JavaScript.

Meninggalkan Zozi La, ternyata kami juga harus meninggalkan bumi Kashmir yang hijau. Karena setelah ini, nggak ada lagi gunung-gunung yang ditumbuhi pepohonan hijau. Semua adalah gunung batu yang kering dan tandus. Tapi justru pemandangan ini yang saya cari. Pemandangan seperti ini yang sepanjang perjalanan, menemani saya, dan nggak pernah bikin saya berhenti kagum. Setiap satu titik ke titik lain, kami ditemani oleh pemandangan dengan kontur, warna, dan bioma yang berbeda beda.
Gini nih kalo diliat dari atas. Beneran dari ijo, jadi coklat dan putih.
Kami sampai di desa bernama Dras sekitar pukul setengah dua siang untuk beristirahat dan makan siang. Ada yang menarik perhatian saya di atas meja makan. Biji-bijian berwarna hijau yang dihidangkan di atas mangkok kecil. Saya tanya Shabir, dia jawab itu biji-bijian yang dikonsumsi setelah makan. Baik untuk perut katanya. Jadi saya ambil sedikit, lalu saya makan. Ada rasa-rasa mint ketika dikunyah, dan susah ditelan karena setelah digigit banyak yang nempel di gigi. Kata Shabir namanya sounp, tapi pas saya browsing, nggak nemu tuh sounp. Dari hasil googling saya tahu namanya Mukhwas. Biji-bijian yang dikonsumsi setelah makan sebagai freshner/penyegar. Mukhwas ini bahasa Indianya, mungkin Kashmiri menyebutnya sounp.

This slideshow requires JavaScript.

Selesai makan dan istirahat, kami melanjutkan perjalanan. Jam 3 sore kami meninggalkan Dras. Di sepanjang perjalanan dari Srinagar menuju Kargil, kami berhenti di beberapa security check point. Sekitar 3-4 kali, saya lupa tepatnya. Dari beberapa blog yang saya baca, ada baiknya membawa beberapa lembar fotokopi Passport. Ada beberapa check point yang meminta satu lembar. Saya sudah mempersiapkan beberapa lembar. tapi selama perjalanan ke Kargil, nggak ada yang minta. Bahkan lapor pun enggak. Semua Shabir yang ngurus. Katanya, kalau kita naik kendaraan umum, atau menggunakan taksi yang si driver belum kenal dengan petugas securitynya, bakal disuruh lapor dulu kita. Ditanya-tanya dan dicek passport.

This slideshow requires JavaScript.

Jam setengah 4 sore kami sampai di Kargil, setelah berkendara hampir selama 9 jam. Banyak berhentinya berarti ya. Karena seharusnya dari Srinagar, Kargil bisa ditempuh selama 6-7 jam. Begitu sampai di Kargil, Shabir mengantar kami ke Siachen Hotel. Dia kenal dengan manager di hotel ini. Sebetulnya Siachen Hotel sendiri sudah kami baca dan diskusikan pas kami bahas tentang penginapan selama di Kashmir dan Ladakh. Tapi, karena kami udah terlanjur pesan hotel di Ashina Eco Resort, mau nggak mau kami harus nginap di Ashina Eco Resort. Pembayaran di Ashina Eco Resort menggunakan metode Pay at the Property, jadi beberapa minggu sebelum kami dateng, si Ikhsanul udah dapet tuh email yang isinya nagih untuk pembayaran. Jadi minta ditransfer ke rekening pemilik property atau via Western Union, yang tentu saja, belum kami bayar.
Perjalanan kami ke Ashina Eco Resort jadi moment kedua yang buat kami sadar kalo memesan penginapan jauh-jauh hari adalah suatu kesalahan. Karena Ashina Eco Resort lokasinya jauuuuh bener dari pusat kota Kargil. Beberapa kali si Shabir setengah ngejek kalo Ashina Eco Resort udah bukan di Kargil lagi. Ternyata Ashina Eco Resort berjarak 8 kilo, dengan arah yang berlawanan dengan tujuan kami selanjutnya.
Shabir bilang, dia mau nginap di tempat saudara dia. Jadi, kalau kami jadi menginap di sini, setelah check in, kami kembali ke kota untuk membeli beberapa barang, 16 kilo sudah kami tempuh. Lalu setelah makan malem, kami balik lagi ke Ashina Eco Resort, 24 kilo. Lalu Shabir bakal balik ke Kargil lagi ke rumah saudara dia. 32 kilo untuk Shabir. Paginya, Shabir jemput kami di penginapan ini, 40 kilo untuk Shabir. Baru habis itu kami melanjutkan perjalanan, which is jalan yang kami tuju, harus balik lagi ke Kargil. 32 kilo untuk saya dan Ikhsanul, 48 kilo untuk Shabir. *kibar bendera putih
Penginapan ini berada di lembah pegunungan, dengan sungai Suru yang berkelok di bawah pegunungan. Apiiik. Sebetulnya saya pribadi, mau banget nginep di sini, tapi karena harus mengorbankan waktu, terlebih jarak, 32 kilo! Saya setuju buat cari penginapan di kota aja.
Penginapan ini sepi banget, kayaknya nggak ada tamu lain selain kami. Pas kami nanya receptionist, ternyata nama kami belum reserved di hotel akibat kami belum transfer uang untuk reservation. Untunglah, kami jadi bisa cancel penginapan ini. Dan saya setuju buat balik ke Siachen Hotel.
Ada café di sebelah Asina Eco Resort, kami mampir dulu, kami pesan milk tea dan roti bakar. Ngobrol-ngobrol sebentar, baru kemudian balik lagi ke Kargil.

This slideshow requires JavaScript.

Kami dapat harga yang lebih murah di Siachen Hotel, berkat Shabir. Yeay! Sejenak, kami istirahat untuk sholat dan mandi, baru habis itu keluar lagi untuk makan malam. Akhirnya saya ketemu air hangat, dan proper shower setelah 31 jam nggak mandi. Walaupun stok air panasnya kayaknya terbatas di sini, dapet giliran mandi setelah si Ikhsanul, dari air panas, anget, dan akhirnya dingin. Hehehehehe.
Setelah sholat magrib kami dijemput Shabir. Sudah wangi juga dia, sekarang kami mau cari makan malem.
Kami berencana untuk sholat di masjid di Kargil, tapi setelah Shabir memperingatkan, “The masjid is Hussaini.” Lalu saya lihat banyak umbul-umbul yang mengagungkan Hussain. Oh, Kargili mayoritas menganut Syiah. Ndak jadi mampir masjidnya. Hehehehehe.
Ada satu jalan di Kargil yang ketika malam hari berubah menjadi lorong street food. Pedagang-pedagang makanan berjejer di tengah-tengah jalan. Makanan pertama yang saya coba, Mutton Tikka¸atau sate mutton. Bedanya, tusuk sate menggunakan besi, mirip sate klathak di Jogja. Tapi, tusuknya tidak ikut disajikan ke pembeli. Ditarik, dan daging diletakkan di atas kertas, ditambah saos khas berwarna putih (mirip mayonnaise), baru mutton tikka siap disantap. Enak? Enaaaak.
Makanan kedua yang saya makan, Mutton Momo. Momo ini mirip dim sum atau siomay, jadi dikukus gitu. Momo banyak kita temui dari Kashmir sampai Ladakh, tapi kalau di Ladakh lebih sering kita jumpai momo berisi sayuran, karena penduduk Ladakh banyak yang beragama Buddha, jadi mereka vegetarian. Enak? Enak dong.
Jajanan ketiga yang saya cobain, Yuma. Makanan ini terbuat dari…. hm. Nggak tau. Yang pasti ada tepungnya, bentuknya seperti sosis tapi nggak begitu padat, klemer klemer gitu, warnanya putih, dan digoreng. Enak? Nope. One bite and I couln’t take another one.
Ada yang khas dari cara Kashmiri jajan. Para penjualnya akan menyediakan satu teko air dari plastik untuk diminum. Kalo kita mau minum, tinggal ambil dan kokop aja. Nggak dikokop juga sih, maksudnya nggak pake gelas. Dan dipake rame rame.
Selesai ngemilin jajanan kami diantar Shabir ke Tibetian Market, yang menjual banyak barang termasuk oleh-oleh. Tapi karena saya belum berniat cari oleh-oleh, ya cuma sepintas aja liat-liat, terus ngajak cari makan lagi karena saya masih laper.
Selesai makan malam kami pulang ke penginapan, beristirahat untuk melanjutkan perjalanan esok hari. Ini adalah malam pertama gejala AMS ringan menyerang. Saya susah tidur, ditambah Ikhsanul yang ngorok. Entah sampai jam berapa saya cuma merem, tapi masih sadar 100%. Akhirnya saya ambil earphone dan jalankan aplikasi Windy di iPhone. Langsung saya terlelap, mujarab.

This slideshow requires JavaScript.

Click here to see all my stories from Kashmir to Ladakh

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.