Kashmir to Ladakh: Day 9, “Namaste, Korzok”

29 September 2017 – Karzok, Tso Kar, Taglang La, Leh
The alarm rings.
Mata masih berat untuk bangun, dan udara dingin masih menyerang. Setelah setengah mati badan melawan AMS tadi malem, sempet beberapa jam gonta ganti posisi tidur, saya terlelap juga. Mungkin sekitar jam 2 atau 3 baru bisa tidur, dan jam 5 lebih alarm membangunkan saya. Udara dingin yang pagi itu saya rasakan bukan main-main, buat mencoba jalan kaki ke kamar mandi aja badan ini mengigil habat. Sampai di kamar mandi, melihat persediaan air di ember ember kecil juga menipis. Saya yakin pagi hari banyak yang butuh air ini, jadi pagi itu saya memutuskan untuk ber-tayammum.
Selesai sholat saya masih menyempatkan buat bergelut dengan selimut dua rangkap saya, karena di luar juga masih gelap. Saat di luar sudah mulai terang, saya memberanikan diri keluar dari tumpukan selimut yang nyaman, geng Somiker udah janjian untuk berangkat dari Karzok jam 9 pagi, untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Leh. Saya sempet mules, sempet mikir mikir untuk boker apa enggak, karena saya paling nggak bisa boker tanpa mendengarkan suara gemercik air. Hahahaha. Karena hasrat yang udah nggak tertahan, saya pakai sisa air yang menipis untuk boker, cuci muka, dan gosok gigi. Dan, ternyata saya ditinggal Ikhsanul. Dia udah mulai morning walk duluan. Padahal niatnya mau morning walk bareng biar ada yang bisa motoin. Hehehehe.
Sebelum jalan-jalan di sekitar danau, saya memastikan kondisi Hayato-kun dulu, dia masih tiduran, takut udah bablas. Saya bangunin, tanya keadaan, ternyata masih sadar, cuma belum enak badan, jadi masih mau tiduran dulu. Saat saya mau meninggalkan penginapan, saya mampir dulu ke rumah Skalzang, nanyain kapan sarapan siap. Dia bilang jam 8 sudah bisa mulai sarapan.
Di perjalanan saya menuju danau, saya papasan dengan Frans. Dia udah lebih dulu muter-muter. Dia cerita sama saya, dia bilang sungai kecil yang ada di bawah *sambil nunjuk nunjuk* permukaannya membeku sebagian.  Hwaaah, beneran penasaran saya, berapa suhu yang menyiksa saya semaleman.

Karena Frans beda penginapan, saya kasih tau dia kalo jam 9 teng kita berangkat meninggalkan Karzok.
Pagi itu, changtangi (ladakhi goat) mulai digiring untuk merumput. Saya sempet ketemu satu rombongan changtangi dengan anjing penggembala. Nggak lupa saya dadah dadah sama pemiliknya sambil kasih kode buat moto-motoin ternaknya ini. Bapak-bapak ini malah senyum senyum mendekat, pingin liat hasil foto saya, habis itu minta difotoin deh. Pas saya foto, pose pulak dia sok sokan nggak mau lihat kamera. Hahahaha.

This slideshow requires JavaScript.

Pagi itu saya tersenyum puas. Saya sampai juga di Tso Moriri. Sebuah tempat yang dari awal nyusun itin dikesampingkan untuk dijadikan cadangan, yang di dalem hati pingin bujuk temen jalan buat tetep memprioritaskan. Karena Tso Moriri sangat indah. Sangat menenangkan, berbeda dengan Pangong Tso yang udah kelewat ramai. Di sini, walaupun banyak juga turis, kita tinggal mendekati danau. Danau yang sangat luas, lalu kamu bisa merasa sendiri. Sepanjang perjalanan dari Karzok mendekati ke danau, banyak changtangi sedang digembala, keledai-keledai, juga kuda-kuda berkeliaran bebas. Seakan Tso Moriri milik kita bersama. (mirip jargon parpol)
Nggak kerasa hampir satu jam juga saya keliling sekitar Tso Moriri, karena udah jam 8 lebih, dan jarak penginapan dari tepi danau cukup jauh. Saya memutuskan untuk kembali ke penginapan untuk sarapan.

This slideshow requires JavaScript.

Sekitar jam 8.30 saya sampai di penginapan, di ruang tamu penginapan baru ada Skalzang dan Claire. Tamu lain yang ikut nimbung ngobrol sama kami tadi malem ternyata sudah meninggalkan Karzok duluan. Nggak lama saya gabung sarapan dengan Claire, Ikhsanul dateng, dia juga baru beres morning walk. Yang pertama saya bilang, “Dih, ninggal.” Yah, saya juga sih yang kelamaan di kamar mandi.
Pagi itu Skalzang menyiapkan roti yang digoreng dan dipadu dengan omelette. Saya minta 4 roti karena laper, dan secangkir milk tea panas.
Skalzang the Chef
Claire duduk di sebalah saya, saya membuka obrolan dengan morning walk dengan pemandangan yang cantik banget. Dan jawaban Claire lumayan mengagetkan saya, “Yeah? I’m gonna start my morning walk after my breakfast.” After-my-breakfast? Hah? Jadi ternyata Mbak Claire ini, si wanita pemburu ‘burung’, baru aja bangun tidur, sarapan, dan baru mau siap-siap keliling Tso Moriri. Padahal udah hampir jam 9, dan kita semua sudah sepakat malam sebelumnya untuk jam 9 teng meninggalkan Karzok. Saya cuma ndomblong. Beres sarapan,, dia terus pake sepatu dan berlalu.
Beres sarapan saya balik ke kamar, saya ajak Hayato-kun buat packing untuk kembali ke Leh. Saya saranin dia untuk sarapan dan minum air putih yang banyak. Sebelum meninggalkan penginapan, saya membuka jendela kamar. Nah, ini alasan saya minta kamar di depan walaupun ketika malem dinginnya naudzubillah. View langsung ke Tso Moriri.
My kind of Hotel View
Saya, Ikhsanul, dan Hayato jam 9 lebih kembali ke mobil yang diparkir nggak jauh dari penginapan. Di sana sudah ada the punctual Frans  dan Stanzin. Kami muat barang bawaan kami ke mobil. Semua saling lihat, Claire di mana? Saya lihat jam, sudah jam 9.10. Mereka saling tanya, dan mau nggak mau saya cerita kalo tadi setelah sarapan jam 9 kurang, Claire baru memulai morning walk. Frans langsung mendelik, menggerutu terus langsung jalan dengan cepat meninggalkan kami. Dia mau jemput Claire. Dan, mulai kerasa suasana nggak enak. Setelah 10 menit, akhirnya Frans balik. Sambil marah-marah dia bilang dia ketemu Claire di dekat danau. Hebat juga ya, seluas ini bisa nyari orang dan ketemu. Coba kalo nggak ketemu, bukannya malah ilang terus saling cari. HP aja nggak ada sinyal.
Kami masih harus nungguin Claire buat packing barang-barangnya. Pas dia sampai di mobil, Frans langsung marah-marah. And somehow, Claire balik marah-marah ke Frans. “I ALREADY APOLOGIZED, SO SHUT THE F*** UP!” Yee, elu yang salah, nyolot lagi.
Saat masuk ke mobil, kami berganti formasi. Hayato-kun yang masih merem aja, langsung ambil tempat di kursi depan. Saya terpaksa duduk gantikan Hayato-kun di belakang, ternyata sempit banget. Duduk aja lutut saya mentok di bangku depan. Dan di kursi tengah Frans dan Claire yang habis konflik duduk sebelahan. Alhasil suasana di mobil jadi awkward karena pada diem-dieman. Tapi nggak lama sih, akhirnya pada bahas kondisi Hayato, mencairkan suasana.
Jam 10 kami meninggalkan Karzok. Namaste, Korzok.
Claire, si wanita pemburu ‘burung’. Tujuan utama dia ikut bergabung dengan geng Somiker adalah Tso Kar. Sebuah danau air asin yang terletak sekitar 80 kilometer dari Karzok dan dapat ditempuh kurang dari 2 jam. Apa yang spesial dari Tso Kar? Ekosistemnya. Claire adalah seorang ecologist. Tujuannya ke Tso Kar adalah untuk melihat populasi salah satu jenis burung yang sudah hampir punah, Black-necked crane.
Jadi julukan wanita si pemburu ‘burung’ beneran burung Bar?
Iya, burung unggas kok.
Jadi kenapa nulis ‘burung’nya dikasih tanda petik?
Ya, terserah saya dong.
Black-necked crane adalah salah satu unggas yang sudah dikategorikan sebagai Vulnerable Threatened, alias terancam untuk punah. Pas bikin tulisan ini saya jadi baca-baca tentang Vulnerable Species yang dikategorikan oleh IUCN (International Union for Conversation of Nature), sebuah organisasi internasional yang berfokus pada konservasi alam. Jadi IUCN mengklasifikasikan hewan-hewan ke dalam tiga status: Extinct (Punah), Threatened (Terancam), dan Lower Risk (Berisiko lebih rendah). Dan Black-necked crane oleh IUCN dikategorikan ke Threatened level Vulnerable. Karena dalam tiap-tiap status tadi dipecah lagi menjadi beberapa level. Untuk Threatened sendiri dibagi menjadi tiga, urut dari yang paling mengkhawatirkan: Critically Endangered, Endangered dan Vulnerable. Kalo kamu tertarik bisa mampir ke wikipedia tentang Conservation Status.
Tuh kan, sampe punya buku tentang koleksi ‘burung’, pas diraba-raba pulak
Kami sampai di Tso Kar sekitar jam setengah 11. Danau kecil ini dikelilingi oleh padang rumput tandus yang sebagian besar tertutup garam. Dari kejauhan permukaan Tso Kar seperti cermin yang memantulkan pegunungan Himalaya di kejauhan. Tso kar tidak terlalu luas tapi saya ketemu dengan banyak binatang terutama unggas. Angin yang kering membuat garam-garam bertaburan, sesekali berputar-putar seperti puting beliung kecil sekian detik sebelum kemudian hilang berhamburan.

This slideshow requires JavaScript.

Puas keliling-keliling Tso Kar, saya bergabung dengan Stanzin yang dari tadi cuma duduk duduk aja sambil sesekali tiduran. Tak lama geng Somiker lain ikut bergabung kecuali Hayato-kun yang masih tiduran aja di dalem mobil. Claire masih belum ketemu burung buruannya, dan ngomel-ngomel aja sama Stanzin. Stanzin bilang burung itu ada di sisi lain dari danau ini. Agak mencurigakan juga nih lama-lama si Stanzin, habisnya mukanya kocak dan ngomongnya setengah ketawa kayak lagi becanda.
Akhirnya kami kembali ke mobil, dan Stanzin mengantarkan kami ke tempat populasi Black-necked Crane. Kami sedikit mengitari danau, dan berhenti di suatu titik agak jauh dari pinggiran tepi danau. Lalu Claire mengeluarkan binocularnya (Iya lho, dia bawa binocular), dan yeay! Dia ketawa senang, di kejauhan, kami bisa melihat sekumpulan burung berukuran besar, seukuran bangau kali ya?  Kami pun bergantian ngintip dari binocular karena sebenernya penasaran juga.
No, saya nggak punya fotonya karena iPhone nggak nangkep objek sejauh itu. Hehehehehe. Googling aja kalo penasaran sama Black-necked Crane.
Setelah melanjutkan perjalanan sekitar 30 menit, kami menepi di suatu desa kecil, Debring (Dapring/Debring). Beneran kecil karena cuma ada sekitar 10 rumah berjejer yang sebagian besar membuka tempat makan. Kami menepi di salah satu tempat untuk makan siang, Padma Wangyal Restaurant.
Saya pesan Maggi. Apa tuh Maggi? Maggi adalah merk mie instant. Yak, Indomienya India. Saya pesan yang kuah dan rasanya: lebih enakan Indomie. Pas saya cerita tentang Indomie sama Claire, dia melotot, “I love Indomie! Indomie is the best!” Dia sering beli Indomie di supermarket di UK sana, dan kalo sedang kehabisan dia beli dari Amazon. Lucunya, dia kira Indomie itu dari Nigeria. Karena yang dia dapet, diimpor dari Nigeria. Oh no Claire, Indomis is from Indonesia, Indomie – Indonesia Mie, dan dia baru tau. Lewat Indomie, saya bahagia bisa membagi satu trivia bermanfaat untuk Claire hari itu.

This slideshow requires JavaScript.

Selesai makan siang, kami melanjutkan perjalanan. Kami melewati ‘La’ tertinggi ketiga di India, dan menurut saya memiliki pemandangan paling indah dari pada Khardung La atau Chang La. Kami sampai di Taglang La sebelum jam 3 sore.
Taglang La adalah mountain pass dengan ketinggian 5,328 meter di atas permukaan laut. Taglang La menghubungkan Leh dengan Manali. Salah satu jalur yang ditutup selama 6 bulan saat musim dingin. Taglang La berjarak sekitar 108 kilo dari Leh. Tidak seperti Khardung La dan Chang La yang ramai, yang bahkan ada café dan tempat peristirahatan, Taglang La sepi dari bangunan, bahkan pengunjung selain kami juga nggak ada. Kalau Khardung La dan Chang La, ada gunung-gunung yang lebih tinggi sehingga menutup pandangan, nggak bisa lihat 360°. Sedangkan Taglang La berada di puncak, jadi pandangan kita bisa melihat leluasa ke sekitar: dari gunung-gunung tertutup salju di kejauhan, lembah-lembah tandus, sampai jalan-jalan yang berkelok memahat gunung bisa kita saksikan di Taglang La.

This slideshow requires JavaScript.

Dan sama juga kayak dua La sebelumnya, lama-lama berada di ketinggian ekstrem membuat saya mulai pusing, ditambah lagi ngos ngosan karena tipisnya oksigen. Kami akhirnya memutuskan untuk segera turun, mengingat kondisi Hayato-kun yang belum membaik.
Tidak jauh kami meninggalkan Taglang La, ban mobil kami bocor, kami lalu menepi dan Stanzin mengganti ban mobil kami.
Julukan baru, The Mechanic Girl
Dan akhirnya kami sampai di Leh jam 5.30, belum gelap. Perjalanan dua hari satu malam yang memuaskan. Begitu sampai di Leh, Hayato sudah duduk tegak sekarang, kayaknya udah mendingan setelah tadi minum obat dan minum banyak air putih. Hayato akan meninggalkan Leh besok pagi. Frans dua hari lagi dan akan menuju Delhi, sedangkan Claire belum ada rencana akan ke mana lagi, karena visanya masih satu bulan dan rencana mau di habisin sebelum pulang ke UK.
In Ancient Tracks we trust
Kami mampir ke kantor Ancient Tracks dulu, ngobrol-ngobrol dengan Kesang, si penyelamat trip saya di Ladakh. Sebelum akhirnya pamit dan berterima kasih sebanyak banyaknya.
Saya, Ikhsanul, Kesang, dan Stanzin
Kami janjian dengan anak-anak Somiker buat makan malem bareng di Tenzin Dickey Tibetan Restaurant, kalo saya emang udah kebayang sama special Thukpanya yang enak bangeet.
Rencananya, kami mau mampir dulu ke pasar buat beli oleh-oleh lagi, termasuk cari post card. Sampai di penginapan kami mandi dan istirahat sebentar (rencananya sebentar), tapi badan berkata lain. Saking capeknya saya habis mandi hampir ketiduran. Oiya, untuk penginapan hari kesembilan ini kami beramalam di Sia La Guest House. Penginapan yang banyak direkomendasikan di Leh, dan yang baik hati mau menggeser hari kami menginap. Tempatnya memiliki pekarangan yang luas, namun akses masuk yang agak jauh dari jalan utama.
Karena udah janjian untuk makan malem bareng di Tenzin Dickey Tibetan Restaurant, jam 8 kurang kami berjalan menuju restaurant. Dan, pasar yang mau kami kunjungi ternyata udah mulai tutup. Penjualnya udah mulai gulungin dagangan. Haduh, padahal oleh-oleh saya masih kurang.
Sampai di Tenzin Dickey dan cuma Claire yang datang. Hanya bertiga aja makan malem kami. Hayato masih pingin istirahat, Frans masih ada urusan dengan scooter sewaannya. Sekitar jam 10 kami berpisah, kami pamit dengan Claire dan dia balik ke penginapannya-yang jaraknya hampir 5 kilo dan dia jalan kaki! Warbiyasah.
Kami mampir dulu di sebuah toko oleh-oleh yang menjual macem-macem postcard, dan sekalian nitip buat dikirim, kalo toko-toko ini jual sampai malem. Selain postcard, dia juga jual kayak gantungan kunci dan magnet dengan harga yang bisa ditawar. Lokasinya ada di Fort Road. Pertama kami masuk penjualnya menebak kami orang Malaysia. Bukan Pakcik, kami dari Indonesia.
Sesampainya di penginapan, rencana saya mau tidur cepat untuk mempersiapkan besok keliling Leh. Ada beberapa tempat yang udah saya list untuk keliling Leh.
Tips: Untuk kamu yang ambil rute langsung flight ke Leh, mengelilingi Leh bisa kamu jadikan kegiatan untuk aklimatisasi. Jadi begitu sampai di Leh, bisa keliling di beberapa tempat seperti Shanti Stupa (best visit saat sunset) atau Leh Palace. Untuk proses aklimatisasi, bisa ditambah ke tempat-tempat di sekitaran kota Leh yang tidak terlalu jauh: Magnetic Hill, Lamayuru, Alchi, Hemis, Thiksey, atau Stakna. Lokasi tempat-tempat ini bisa dijangkau dari Leh sekitar satu jam aja.
Click here to see all my stories from Kashmir to Ladakh

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.