Kembali ke Trail Race Event, Kembali ke MesaStila

Project: The Devil Made Me Do It
Coast to Coast yang diselenggarakan Februari 2020 (CTC 2020), menjadi ultra trail race terakhir saya. Wait, nggak cuma trail race ding, bahkan race terakhir! Karena kamu tahu sendiri lah ya, sebulan setelahnya dunia diguncang wahana Covid. Kalau kamu membaca tulisan saya tentang CTC 2020 tadi, kamu pasti paham kalau saat race itu, setelah dengan pahitnya saya memutuskan untuk DNF di KM 64, saya masih harus menahan sakit selama hampir 7 bulan setelahnya karena HNP (Hernia Nukleus Pulposus) alias syaraf kejepit di pinggang) saya kumat. Ouch, that hurts!
Tujuh bulan nggak bisa berolahraga, ditambah wahana Covid yang membuat saya lebih banyak tiduran ketimbang olah raga, membuat turning point hebat. Performa lari yang sudah lamaaaa dibangun, beneran seperti balik ke 0. And the bad part is, keinginan untuk latihan lagi yang beneran minim.
Berapa lama nih Mas Bardiq demotivasi lari?
Ha! Check my strava, mileage yang dulu sebulan bisa puluhan kilo, elevation gain ribuan meter, terus flat aja nyaris 0 per bulan. Nggak full rebahan sih memang, setelah HNP sembuh, ngegym masih (mayan) rajin, hiking dan trail run hepi hepi pun masih disempetin. Tapi untuk kembali ke race? I feel I need to make a story about it.
Mempertimbangkan beberapa race untuk comeback, dari sisi biaya dan effort, saya memutuskan untuk kembali ke MesaStila. Sejak tahun 2021, MesaStila 100 mengupgrade beberapa kategori larinya. Tahun 2018 saat saya finish kategori 42K dengan catatan waktu 09:48:24 membuat saya pingin upgrade ke kategori 65K di tahun 2019, iyee saya DNF di kategori 65K. Nah, mulai tahun 2021 kategori 42K naik jadi 50K (realnya 48K) dengan EG naik dari 2539 meter jadi 2960 meter. Buat yang kategori 65K naik jadi 75K (realnya 77K) dengan EG naik dari 3410 meter jadi 6564 meter.
Hey! Ini gimana ceritanya, 42K jarak nambah 6K, EGnya nambah 400 meter, lah yang 65K jarak nambah 12K tapi EGnya nambah sampe 3000 meter. Fix, 75K bukan tempatmu untuk “kambek” ya Mas Bardiq. Sadar diri, karena pas di kategori 65K dulu naik Gunung Merbabu satu kali aja kau nggak jadi, ini kategori 75K jadi dua kali. Ambil limpol aja ya kita? Biar nggak mabok elevasi.
Setelah memutuskan untuk kembali ke MesaStila, akhir April nama saya sudah nangkring di runner list kategori 50K.
Tulisan ini menjadi postingan paling berbeda dengan semua tulisan saya. Tidak banyak foto, tidak banyak review rute, tidak ada detail elevasi atau ina inu yang lain. Karena nggak banyak berbeda detail kategori 50K dengan 42K dulu, hanya nambah 4K di Telomoyo sampai hampir ke puncak, dan puter balik dan nyambung di rute yang sama di kategori 42K. Monggo bisa dibaca lebih detailnya di tulisan saya 2018 dulu di sini.
Ini adalah sebuah kontemplasi. Bagaimana emosi saya campur aduk menyelesaikan jarak lima puluh kilo, dengan kemampuan yang not the same yet dengan diri saya dulu.
(Yes, I need to bold that “not the same yet”, because someday I will be, or even stronger.)
THE DEVIL
I named this comeback project: The Devil Made Me Do It. Terinspirasi dari sequel film The Conjuring, yang menceritakan sesosok “Devil” yang merasuki salah satu karakter dalam film bunuhin orang. Sama seperti premis film ini, saya dibuat sesosok “Devil” untuk melakukan hal-hal yang nggak saya inginkan: latihan. Yaah, dari pada harus rutin lari lagi, rutin long run lagi, rutin ngerjain pe er ribuan elevasi lagi, saya lebih suka tidur sambil rebahan ye kaan.
But this devil, kept smirking at me, making fun of me.
So who is the devil?
Simple: myself.
Devil ini adalah diri saya sendiri. Yang sering saya ceritakan sendiri di blog ini, bisa menamatkan MesaStila 42K di bawah 10 jam, finish full marathon dalam waktu 4:28, bahkan menyelesaikan 70K++ di BTS Ultra.
Dan benr aja bro, this devil bisa membuat curva tajam di history mileage Strava saya. Yang hampir setengah tahun pertama di 2022 flat, tiba tiba meroket.
Bahkan justru di latihan-latihan gila ini. Di latihan-latihan seperti kesurupan ini, saya paham betul kalau performa fisik saya sudah sangat jatuh. Well, this project ain’t easy.
DEFEATING THE DEVIL
Jam 00.15 saya sudah sampai di MesaStila Resort. Setelah sekali lagi memastikan seluruh gear sudah lengkap, di atas basahnya tanah berbatu sehabis hujan deras sepanjang sore tadi, saya mendekati garis start. Pintu masuk MesaStila yang memanjang dan menanjak membuat memory saya terus berputar. Empat tahun lalu, MesaStila Peaks Challenge menjadi event trail pertama saya, hey look at me now.! I’m back.
Lima belas menit sebelum race dimulai, peserta kategori 50K yang tak sampai 70 orang sudah mulai merapat. Kalau kategori mini ultra kayak gini, mendekati flag off juga nggak sampe uyel-uyelan. Masih bisa sambil pemanasan dan stretching, kalau mau nyelip nyelip sampai depan pun masih ada space.
Lagu Indonesia Raya kami nyanyikan sebelum MC mulai menghitung mundur. Atmosfer yang sudah lama banget nggak saya rasain, gimana rasa nervous dan excited rebutan memenuhi rongga dada. MC pun menghitung mundur.
5.. 4.. 3.. 2.. 1..
And the flag was off! Disambut kembang api yang saut sautan, saya mulai berlari lari kecil, mengikuti langkah-langkah peserta yang di depan saya. Diterangi headlamp, mencoba mencari pijakan yang paling kokoh, karena setelah diguyur hujan sederas tadi, banyak tanah yang licin bahkan berlumpur.
Kerumunan peserta mulai terbagi, saya mulai sering berlari sendiri. Sering kaki terasa berat karena lumpur sudah menumpuk tebal di bawah sepatu. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang selalu sendiri selama pendakian Gilituri, kali ini ada satu dua peserta lain yang hampir selalu bareng. Yah, meskipun gara gara bareng ini justru bikin kesasar. Ada kali ya, sekitar 300 meter nyasar dan baru sadar setelah track yang tadinya jalan setapak berlumpur, tiba tiba jadi full sungai. Hey hey, baru aja mulai udah basah itu kaos kaki.
Selepas dari puncak Gilituri pun, downhill yang direncanakan untuk dilibas buat ngejar waktu, berubah jadi perosotan. Nggak sanggup laa, kaki jinjit jinjit cari pijakan. Dari bentukan jalannya aja udah keliatan kalo peserta sebelum saya udah pada meluncur. Awalnya masih malu malu, dengan posisi jongkok, dan kedua tangan nahan posisi badan, saya meluncur bertumpu kedua kaki. Baru setelah tricep kanan kiri kerasa nyeri, akhirnya nyerah. Duduk selonjoran dan ngikutini aja arah jalanan. Sempat beberapa kali nyalip peserta yang masih belum rela celananya kotor, dengan mentelnya turun pelan pelan. “Hajar aja booos.”
Sampai titik ini, saya masih terus menghafal timing yang saya dapetin ketika ikut MesaStila 2018 dulu.
Tiba di KM 16, WS 1 di BC Kudusan: 02:45
Tiba di KM 19, CP 1 di Puncak Andong: 04:25
Tiba di KM 23, WS 2 di Sedadap: 05:10, sekaligus COT di sini 07:00
Well, can I at least rerun my own timing?
Nope! Banyak faktor tentu saja, entah karena MesaStila 2018 yang nggak pake kesasar karena flag off pagi, entah karena kondisi kali ini yang licin parah karena sehabis hujan deras, tapi saya lebih meyakini kalo I was simply faster back then.
Saya sampai di WS 1 dengan waktu 03:15, thirty minutes late. Dan setelah bersusah payah mendaki Andong via Kudusan, berkali kali kepleset, saya sampai di Puncak Andong untuk dapetin gelang pertama dengan waktu 05:20, lebih lama satu jam. Pas 2018 dulu saya sudah sampai Sedadap, kali ini saya baru sampai Puncak Andong. Sisa waktu sebelum COT di Sedadap sekitar 01:40 lagi. Harus ngejar turun Andong via Pendem, dan ngabisin sisa 4K sebelum pukul 08:00.
The only privilege I had: I am the Warlock, alias warga lokal. Udah hapal betul rute track Gunung Andong, karena emang Gunung Andong tempat ngerjain pe er elevasi. Cuma terus berdoa semoga track jalur Pendem tidak licin, karena kabut sudah mulai menutupi Puncak Andong, dan gerimis mulai turun.
Saya melibas 4K menuju Sedadap dengan waktu yang nggak buruk buruk amat. Saya lega sampai di Sedadap pukul 07:20. Masih sempat minta sarapan dan isi ulang cemilan. Nggak mau berlama lama, saya langsung melanjutkan permainan ini. Karena tantangan yang nggak kalah sadis dari mendaki Andong dari Kudusan adalah Gunung Telomoyo.
Pendakian Telomoyo dimulai sekitar KM 26. Sekitar 7K meniti jalanan aspal Telomoyo yang berkelok kelok. Ini sih yang paling perih. Dua telapat kaki udah kerasa sakit semua. Bertumpu dua paha yang udah terasa panas, selangkah demi selangkah, tanjakan curam ini nggak mungkin dilariin dengan pace berapapun. Nggak jauh sebelum sampai di Puncak Telomoyo, panitia di KM 32K sudah stand by bagiin gelang kedua.
Saya melirik jam tangan, habis ini bakal lebih banyak turunan. Jam tangan saya setting di tampilan ETA. COT kategori 50K jam 13.00, jadi selama sisa belasan kilo ini saya mantengin ETA . Mulai menuruni Telomoyo,saya lari-lari kecil dan ETA masih stabil di 12:20, jangan sampai lewat dari 12:45. Tapi nggak boleh lengah nih, saya tahu betul sisa 17K nggak melulu turunan, karena EG juga masih 2400an. Jadi masih ketemu tanjakan 500an. Engap juga di KM KM penghabisan ketemu tanjakan.
Di 10K terakhir, saya bisa nyalip sekitar 3-4 pelari, banyak yang udah kecapean. Maklum sih, 40an kilo juga udah dilaluin. Saya tetep lari pelan, dikit-dikti mellirik ke jam tangan. Di setiap tanjakan, ETA semakin mundur 12:25… 12:35… sempet nyentuh 12:50 sementara masih di KM 43. Jalanan silih berganti, tanjakan tanah, turunan makadam yang menyiksa lutut, perosotan lumpur, apapun… track apapun.
Setiap langkah terbayang diri sendiri, I imagined the devil would laugh at me, the hardest and meanest laugh I’d ever imagined. I was just holding the only mantra I had: Remember your game.
Sampai akhirnya saya tiba di sisi muka MesaStila, gerbang yang berwarna putih megah menyambut. Saya berlari kecil di jalanan aspal terakhir sebelum akhirnya di berbelok tanjakan itu, 20 meter tanjakan berbatu menuju garis finish. Senyum mulai mengisi raut muka, meskipun sebetulnya air mata sudah mengintip di balik kerutan mata.
Saya kembali ke MesaStila, and I just defeated my own devil.
Thank you @sambara.kirti

One thought on “Kembali ke Trail Race Event, Kembali ke MesaStila

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.