Sebuah Perjalanan ke Puncak Abadi Para Dewa, Mahameru: Bagian Dua

Satu hari perjalanan, terpukau dengan setiap sudut yang disajikan Gunung Semeru. Takjub saat pertama kali bertemu dengan Ranu Kumbolo, kegirangan saat melewati Oro-Oro Ombo, kini kami terasa selangkah lebih dekat dengan Puncah Abadi Para Dewa, Mahameru. Read the part one here.
Jambangan Kalimati – 1.5 KM (2,725 – 2,645 mdpl) – waktu tempuh kami: 00:30:00
Jam 17.30 kami meninggalkan Jambangan, tempat pertama Mahameru menyapa kami sejak kami memulai pendakian. Mungkin seharusnya ada beberapa titik kita sudah bisa melihat Mahameru dari jalur pendakian, cuma karena cuaca hari itu yang cukup sering berubah-ubah, sehingga baru kali ini kami bisa menyaksikan puncak yang nanti malam akan kami daki.
Perjalanan ke Kalimati membuat kami satu demi satu mulai menyalakan headlamp. Tak ada tanjakan yang menguras tenaga, lebih banyak jalan datar dan turunan landai. Sempat masuk kembali ke dalam hutan, hingga ranting dan dedaunan kami terobos. Samar-samar di balik pepohonan mulai nampak terang lampu dari balik tenda-tenda yang membuat lampu-lampu itu terlihat seolah-olah berwarna warni.
Wiih, akhirnya nyampe juga di Kalimati, tempat kami akan ngecamp di malam pertama pendakian ini. Agak lama mencari tenda kami, karena malam itu kondisi Kalimati lumayan ramai. Club eighties pun masih tertinggal lumayan jauh di belakang kami.
Tiga tenda kami, saya temukan di paling ujung, dengan tenda silver metalik punya Bang Asta sudah berdiri berseberangan dengan tenda temen-temen yang lain. Sebelah kanan kami, tenda group pendaki lain. Dan di sebelah kiri dan belakang kami sudah lepas rerumputan dan semak-semak datar.

Oke, saya beberapa kali naik gunung, sering kali juga trail run menerobos hutan-hutan di gunung saat malam, saat gelap dan hanya diterangi headlamp. Satu atau dua kesempatan ditemani terang bulan dan titik titik ribuan bintang. Banyak yang nanya, pernah dapet kejadian mistis?
Yah, selama ini selalu dijawab tegas. Nggak pernah, alhamdulillah aman. Nggak pernah ada yang aneh aneh. Sampai malem itu di Kalimati, tepat malam sebelum mendaki ke puncak Mahameru.
Selesai makan malem, kami masuk ke tenda masing-masing. Kami harus memulai summit jam 00 tepat, jadi paling lama jam 23.30, kamis harus sudah bangun untuk bersiap-siap. Nah, jadi beres makan malem kita langsung masuk ke tenda, selain itu juga karena dinginnya udara diselingi dengan angin yang membuat badan nggak berhenti menggigil.
Saya nggak tau apa yang membuat saya selalu nggak bisa tidur di malam sebelum summit. Padahal seluruh tubuh udah capek, mata udah merem, dan ngarep banget buat bablas tidur. Tapi ini pikiran seperti selalu memaksa untuk selalu terjaga. Grogi kah? Padahal udah sengaja beli sleeping pad tiup yang udah kerasa nyaman banget buat tidur.
Entah waktu menunjukkan pukul berapa, suasana Kalimati yang sempat terasa ramai karena banyak pendaki yang baru sampai di Kalimati sudah gelap, lalu sempet denger seorang pendaki muntah-muntah, berangsur-angsur terasa sepi. Hanya suara angin yang membuat tenda bergoyang pelan, menemani suara ngorok Bang Asta yang terdengar teratur.
“Groook.. groook..”
Berjam-jam saya hanya gonta-ganti posisi tidur.
Saya masih mencoba merem, berharap tiba-tiba mimpi memutarbalikkan kesadaran saya. Sebelum kemudian dari sisi atas kepala Bang Asta, tepatnya di luar tenda sisi belakang, saya mendengar suara ngorok lain yang terdengar bersautan dengan suara ngorok Bang Asta.
Seperti mengejek, suara ngoroknya pendek di sela-sela ngorok Bang Asta.
“Groook..” “Grok
“Groook..” “Grok
“Groook..” “Grok
Lama mereka bersaut sautan, suasana yang tadinya sepi jadi terasa ganjil. Saya hanya merem nggak berani membuka mata, dan sengaja kepala saya jauhkan dari sisi tenda. Takut ada sesuatu yang terasa bergerak kalau kepala saya nempel di tepian tenda.
Babiii, pasti babi hutan ini.
Sepanjang malam itu sampai saya nggak sadar suara itu tiba-tiba hilang bersamaan dengan berhentinya ngorok Bang Asta.
Summit Attack – 5 KM (2,645 – 3,676 mdpl) – waktu tempuh kami: 05:00:00
Alarm berbunyi tepat pukul 23.30. Awshit! Belum juga tidur, alarm udah bunyi. Saya mencari-cari HP, mematikannya, duduk sebentar, mengumpulkan kesadaran. Masih di dalam tenda, tapi udara sudah kerasa dingin banget. Lalu terdengar Mas Pur mengajak kami bersiap-siap.
Full gear, saya membuka tenda. Angin yang terasa pelan, namun menusuk sela-sela kulit yang tak terutup membuat badan menggigil. Saya ditawarin satu mangkok soto plus telur balado sebelum pendakian menuju puncak Mahameru. Di samping api unggun, beres menghabiskan soto, saya menyeruput satu gelas kopi pahit selagi menunggu kawan-kawan lain.
Setelah saya hitung tim kami, hanya berenam yang sudah siap untuk muncak. Saya hitung lagi, lah? Nggak ada Mas Haki. Ternyata Mas Haki yang muntah-muntah tadi malem. Semoga hanya masuk angin, dalam hati saya berdoa jangan sampe kena AMS.
Tepat saat berganti hari, kami memulai pendakian kami: summit attack! Masih teringat gimana cerita kawan-kawan kuliah saya yang sekitar tahun 2012 telah lebih dulu mendaki sampai Mahameru,
“Itu summit berat banget.”
“Lo naik satu langkah, turun dua langkah. Bayangin gimana beratnya lo harus pelan-pelan mendaki.”
“Itu pasir halus banget, mana nggak ada jalurnya.”
Now, let’s face it.
2.3 KM pertama, satu jam 24 menit setelah kami mendaki jalan setapak, ditemani pephonan dan rerumputan, kami sampai di batas vegetasi sebelum track yang sedari tadi masih berupa tanah bercampur dengan pasir, kini sepenuhnya pasir kering: Arcopodo. Arcopodo diambil dari peninggalan Majapahit, berupa dua buah arca yang menghadap ke puncak Mahameru. Tapi, dua arca ini disembunyikan oleh warga sekitar, sengaja agar sulit dijangkau, agar terhindar dari orang-orang tak bertanggung jawab. Bukan disembunyikan sih, kalo saya baca baca di beberapa artikel, justru dibuat jalur baru untuk para pendaki yang berniat untuk menuju puncak (gemilang cahaya? Anjay, joke lu satu ini nggak habis habis Mas Bardiq!).

Sebagai gambaran saja, 2.3 KM dari Kalimati ke Arcopodo dapat kami lalui dalam waktu 1:24:00. Maka sisa jarak adalah 2.7 KM, yang kami habiskan dalam waktu 3:35:00.
Di sini kesabaran dimulai, kekuatan diuji. Kami pendaki paling depan, dan setelah dirembug, saya jalan paling depan, sementara Mas Pur nemenin Mas Tomi di belakang. Satu langkah demi satu langkah, pelan saya mendaki, mencari jalan, mencari pijakan yang tidak terlalu merosot, sesekali berhenti, duduk, karena kecapekan. Mendongak ke atas, gelap tak terlihat puncak, tetapi bintang-bintang tersebar di langit yang cerah. Melongok ke bawah, titik-titik lampu headlamp para pendaki mengisi punggung Semeru.
Saya memutuskan untuk istirahat. Mencari perlindungan dari angin yang membuat keringat jadi terasa sangat dingin. Beberapa pendaki mulai menyalip rombongan kami. Bang Asta pun meminjamkan satu trekking polenya. Ahahahahah, nyerah juga saya summit attack gini nggak pake trekking pole dengan berdalih ngetes otot core.

This slideshow requires JavaScript.

Langit mulai berubah warna, membuat gradasi warna yang indah dari gelap pekat di sisi kanan Mahameru, berangsur-angsur menjadi ungu muda dan semakin mendekati sisi kiri Mahameru berubah semakin cerah. Puncak Mahameru mulai terlihat, membentuk garis horizon kontras dengan langit.
Tepat di depan saya, tegak berdiri sebuah tiang dengan bendera melambai pelan di ujungnya. Siluet para pendaki yang telah tiba terlebih dulu di Puncak Mahameru, memperindah lukisan pagi yang terpampang.
WOOY! KAMI SAMPAI DI MAHAMERUUUU!

This slideshow requires JavaScript.

Kami menghabiskan sekitar dua jam (dua jam!) di Puncak Mahameru. Cuaca begitu cerah, angin bertiup pelan seakan sengaja menemani kami berlama-lama di atap Pulau Jawa. Kami sengaja tak buru-buru turun, menunggu atraksi Semeru yang dinanti banyak pendaki: semburan asap dari kawah gunung Semeru, Jonggring Saloko.
Ketika terdengar bunyi gemuruh, lambat-lambat dari arah kawah mulai membumbung gumpalan asap berwarna abu-abu terang, menerobos biru langit seperti rasa kagum dan gembira yang ikut menyeruak di dada.
Jangan lupa, tidak boleh mendekati kawah ya, karena Gunung Semeru adalah gunung aktif yang dikhawatirkan terjadi aktivitas vulkanis yang membahayakan pendaki.
And here we are, at the highest point of Java.

Btw, kalau saat summit kita membutuhkan waktu 5 jam dari Kalimati, saat turunnya, saya hanya membutuhkan waktu satu jam saja.

This slideshow requires JavaScript.

Karena kami akan menghabiskan satu malam lagi di Ranu Kumbolo, sebelum jam 8 kami sudah meninggalkan Puncak Mahameru. Tak banyak kami beristirahat, agar sebelum gelap, kami sudah sampai di Ranu Kumbolo.
And here is the recap….

This slideshow requires JavaScript.

Sebelum jam 16.30 kami sudah sampai di tepi Ranu Kumbolo, masih sempat kami menikmati Ranu Kumbolo sore itu. Rucksack yang sedari kemarin setia memeluk punggung saya rebahkan, lega rasanya saya dapat mencapai puncak dan menyaksikan begitu banyak hal baru tentang Semeru. Tapi ternyata, belum habis Gunung Semeru menceritakan secara visual keindahannya yang terus membuat saya takjub.
Malam itu, jam 19.00 lebih, beres makan malem, dan tenda udah manggil-manggil, sleeping bag sudah merayu-rayu. Badan sudah gontai diterpa dingin dan angin di Ranu Kumbolo yang nggak berhenti bikin gigi beradu. Ternyata iseng nantangin hunting milky way, nggak hanya disambut baik Bang Asta, bahkan juga ditagih.
Terpaksa badan yang sudah mulai direbahkan, sleeping bag yang sudah disiapkan, harus dihempaskan. Huhuhu, mana dingin banget, pingin langsung tidur karena sepanjang malem di Kalimati kemarin yang nggak juga bisa tidur meskipun badan sudah rewel.
Setengah badan saya keluar tenda, sementara pinggang ke bawah masih ngumpet di dalem tenda, mencari kehangatan di sela-sela sleeping bag. Beberapa kali mencoba mencari milky way dari luar tenda. Beberapa kali saya cek, titik titik bintang bergerombol di balik pepohonan.
“Wah nggak bisa nih dari sini.” Gumam saya pelan.
“Cemana Bang? Cari tempat yang agak lapang? Biar nggak polusi cahaya juga?” Bang Asta mulai mengajak saya yang keliatan banget males-malesan keluar tenda.
Ya sudah lah, “Yok Bang. Naik ke Tanjakan Cinta kita?”
“Boleh, “ jawab Bang Asta singkat.
Karena sepatu dan headlamp sudah saya pack, malem itu berbekal lampu HP dan sandal jepit, kami mendaki Tanjakan Cinta.
Lambat laun kami menjauhi kerumunan tenda di tepi Ranu Kumbolo, sedikit demi sedikit mendaki Tanjakan Cinta, ternyata justru semakin dekat rasanya kami dengan langit. Dengan jutaan bintang yang ternyata telah menanti kami.
Berdua cekikian takjub, karena semakin kami menjauh dari Ranu Kumbolo, semakin dekat kami pada gelap yang beratapkan Bima Sakti.
Milky Way above Semeru. Photographed by: @artdhyasta
Last Day – Ranu Kumbolo to Ranupani – waktu tempuh kami: 03:25:00
Kami berencana untuk meninggalkan Ranu Kumbolo sebelum pukul 11, agar bisa sampai Ranupani sebelum jam 4 sore. Karena rencananya setelah kita sampai di Ranupani nanti, kami langsung cusss lanjut ke balik ke kota Malang.
Ranu Kumbolo saat pagi hari, memberikan nuansa yang sangat berbeda. Dengan kabut yang muncul dari permukaan air danau, sayup-sayup bergerak perlahan menemani matahari yang mulai malu-malu mengintip di balik perbukitan.
Melawan malas dan dingin, saya memakai sweater, membungkus kaki dengan kaos kaki dan sandal, menarik matras dari dalam tenda untuk saya jadikan alas. Duduk duduk sebentar saya menikmati suasana pagi itu. Meskipun masih terasa jengkel gara-gara sepanjang malem sibuk benerin posisi tidur. Udah semaleman di Kalimati saya nggak tidur, di Ranu Kumbolo posisi tenda dibangun di tanah yang miring. Semaleman kebangun gara-gara posisi tidur yang awalnya udah bener, tau-tau udah jongkok dengan posisi kaki hampir menendang pintu tenda.

Jangan terlalu terlena dengan view ini ya! Ayok, saya ajak jalan sebentar. Masih ingat area di sisi utara Ranu Kumbolo yang dulunya camping ground? Nah, saya ajak Bang Asta dan Mas Tomi buat ke sana. Yang pasti suasananya lebih sepi karena nggak ada satupun tenda yang didirikan di area itu.
And see? We didn’t regret going through the mist and the cold that morning.

This slideshow requires JavaScript.

Atau bisa juga kalian manfaatin buat pemotretan album cover. Ahahahahahaah.
Jam 10.30, setelah beres packing barang bawaaan, akhirnya kami meninggalkan Ranu Kumbolo. Tiga hari dua malam yang tidak akan pernah saya lupakan. Terima kasih Semeru, I just checked first of the seven summits of Indonesia.
Thanks Bg Asta for this superb photo.

One thought on “Sebuah Perjalanan ke Puncak Abadi Para Dewa, Mahameru: Bagian Dua

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.