Kashmir to Ladakh: Day 6, “I Left My Heart in Turtuk”

26 September 2017 – Turtuk, Deskit, Sumur
Turtuk is very beautiful, Akbar. Some tourists stay more than one day… only in Turtuk.”
Saya masih ingat, itu kata-kata yang Kesang ucapkan kepada saya saat mencoba meyakinkan saya untuk bergabung dengan trip tiga hari dua malam menuju Turtuk-Deskit-Pangong. Sesaat setelah menyetujui tawaran Kesang, saya membiarkan Ikhsanul aja yang browse sana sini tentang Turtuk. Sedangkan saya, karena sudah terlanjur tergabung dengan jebakan Rina dan Yosi, saya berpikir biar Turtuk yang menunjukkan langsung kepada saya, seperti apa Turtuk.
Tidak seperti pagi-pagi di Ladakh sebelumnya, kali ini saya dibangunkan alarm HP. Amazing! Mungkin karena hampir 10 jam perjalanan dari Leh ke Turtuk, yang walaupun cuma duduk di samping Pak Sopir (kadang gantian dengan Rina yang pusingnya kumat), ternyata capek banget dan bikin tidur saya jauh lebih berkualitas. Karena di luar masih gelap, setelah sholat subuh saya coba tidur tiduran lagi, yah walopun gagal tidur lagi sih, karena si Ikhsanul udah kebangun dan dia udah siap-siap buat morning walk. Begitu sudah agak terang, kami memutuskan untuk keliling Turtuk. Rina dan Yosi belum keluar dari kamar, dan sarapan dijanjikan oleh Guram jam 9 pagi.
They are still very traditional. And the house, Akbar, are still built from stone.”
Kami keluar dari penginapan. Udara sejuk pegunungan menerpa, penginapan kami berada di depan jalan kecil, sekitar satu meter lebarnya. Lalu di sekitarnya tersusun rumah-rumah penduduk yang benar seperti kata Kesang, terbuat dari batu-batu berupa balok warna hitam. Saya ingat jalan di depan penginapan ini, jalan yang kami susuri malam sebelumnya, dengan parit yang dialiri air jernih.
Tujuan kami pertama, Turtuk Monastery. Kami belum tau tempat-tempat yang wajib dikunjungi di Turtuk. Dan kami cuma nemu satu tempat ini di maps.me. (Sekali lagi saya berterima kasih dengan maps.me, telah membantu kami mblusuk jalanan di Turtuk). Cuma saya ingat, malam saat kami tiba di Turtuk, kami menyeberang di sebuah jembatan gantung besar, dalam hati sudah saya niati untuk ke sana. Yak, nanti harus ke jembatan itu.
Sekitar dua ratus meter kami berjalan, kami mulai meninggalkan rentetan perumahan, Sampailah kami di tempat pertama yang membuat saya kagum. Sebuah kebun buckwheat luas membentang di depan mata, dengan bunga-bunga kecil yang bermekaran. Ada kuning, pink, merah.
Lalu berjejer pohon apricot yang tumbuh di sana sini. Backgoundnya, please guess! Yak benar, pegunungan Himalaya berjejer mengelilingi Turtuk. Ketika kami berjalan mendekat, terlihat sungai Shyok yang luas dan berwarna hijau pucat mengalir deras. Hari itu cerah, langit biru dengan awan-awan bergumpal mendampingi Himalaya. Sayang, di sebelah timur puncak-puncak gunung masih tertutup kabut. Tapi untungnya tak lama, setengah jam kami berada di kebun itu, kabut-kabut sudah hilang tertiup angin.

This slideshow requires JavaScript.

Kami melanjutkan perjalanan, dan kali ini agak disasarin maps.me. Jalan yang kelihatan di map berupa garis putus-putus ternyata menerjang kebun dan sempet manjat-manjat bebatuan. Sampai kami tiba di kaki monastery. Ada sebuah lahan luas yang di atasnya terdapat jeriken dari besi yang sudah berkarat. Tersusun berjejer sepanjang lahan ini. Makam?
Kami belum memutuskan untuk naik, rencana mau mengunjungi monastery setelah sarapan. Jadi kami pulang dulu ke penginapan karena memang sudah jam 8. Sekalian ngapalin jalan yang mulus, nggak pake nanjak nanjak. Saat di perjalanan pulang, kami melewati sebuah bangunan  yang masih sepi. Kami yakin ini sekolah, di tembok sisi kiri teradapat tulisan, “ENTER TO LEARN” dan di sisi kanannya, “LEAVE TO SERVE”.
Saat kami sampai di penginapan, Rina dan Yosi sudah bangun. Guram sudah berada di dapur menyiapkan sarapan kami. Saat kami masuk ke dalam kamar. Guram datang, Dia ngajak ngobrol tentang banyak hal dengan kami. Penduduk Turtuk adalah suku Balti, yang dulunya berada di wilayah Baltian, Pakistan. Bapak dan kakak-kakaknya terlahir saat Turtuk masih berada di wilayah kekuasaan Pakistan. Saat perang Indo-Pakistan pecah, tepatnya pada tahun 1971, Turtuk berhasil direbut oleh India sampai sekarang. Guram lahir saat India sudah berkuasa saat itu. Sehingga dia terpisah dengan banyak keluarga dan kerabatnya, karena saat perang banyak penduduk Turtuk yang mengungsi. Dia bercerita tentang desanya yang indah, tentang Sichen Glacier yang lelehannya mengalir di Shyok River, memberi kehidupan untuk penduduk Turtuk, dia bercerita tentang kuburan di bawah monastery. Ah saya jadi inget lahan luas yang di atasnya berjejer jeriken yang saya lihat tadi pagi. Ternyata, itu adalah makam tentara Pakistan saat perang Indo-Pakistan dulu.
Guram memiliki dua orang anak, yang paling besar masih berusia dua tahun, Sadam Husein. Dan satu lagi masih digendong Ibunya. Saat kami sedang ngobrol dengan Guram, Sadam ikut datang dan malu-malu mengintip di balik pintu.
Guram memberikan beberapa tempat lain yang harus dikunjungi selain Monastery: Masjid Jamia, dan penggilingan gandum di hilir sungai. Saya memang berencana mengunjungi jembatan tempat tadi malam kami menyeberang, pas tuh sekalian mampir ke hilir sungai, buat liat penggilingan gandum.
Obrolan kami ditutup saat Guram menjelaskan, di daerahnya ada tiga jenis muslim. Dia menjelaskan ketiganya. Muslim A, muslim B, dan muslim C. Lalu di akhir ceritanya dia bertanya kepada kami, kami muslim yang mana. Kami bengong mau jawab apa. Menangkap kebingungan kami, lalu Guram ngajak kami mulai sarapan.
Pagi itu kami sarapan dengan omelette dan milk tea, tentu saja yang mencuri perhatian saya adalah lalapannya. Enak betul. Sarapan pagi itu kami ngobrolin tentang Turtuk yang kami jelajahi tadi pagi. Yosi yang semangat buat keliling Turtuk setelah sarapan, Rina masih sakit kepala jadi memilih buat istirahat aja. Saya bercerita sedikit tentang Turtuk yang dulu milik Pakistan, lalu India merebutnya setelah perang pada tahun 1971. Mungkin agak salah membahas tentang perang dengan Rina dan Yosi. Mereka akhirnya membahas tentang Palestine. Bagaimana mereka juga mengeluhkan tentang perang Israel dan Palestine. Saya sih diem aja, menolak untuk berkomentar.
Rina dan Yosi adalah Israeli berusia sekitar 50 tahun. Rina is Jewish, and Yosi is Atheist. Mereka pasangan yang menolak dibilang pacaran. Rina bekerja sebagai staff Banjamin Netanyahu, perdana menteri Israel. Mereka sampai di Ladakh lebih dulu dari kami, dan sempat menikmati Ladakh Festival. Keduanya terserang AMS dan selalu mengeluh antara sakit kepala, mual, atau tidak enak badan sepanjang perjalanan. Mereka selalu menyempatkan untuk traveling satu atau dua kali dalam setahun. Yosi lebih bersemangat dari pada Rina. Saat di Turtuk, dia juga yang menyambut ajakan kami untuk keliling Turtuk (walopun akhirnya kami malah ditinggal duluan). Rina seorang shopaholic, yang walopun sepanjang perjalanan dia minum obat pengilang rasa pusing, dan selalu cemberut karena tidak enak badan, tapi langsung berubah on fire dan besemangat saat saya ajak bercerita tentang Hong Kong. Menurut dia Hong Kong itu surga buat belanja. Saya masih ingat, Rina sulit untuk memutuskan, liburan mana yang lebih menyiksanya, Satu minggu di Ladakh dengan AMS-nya, atau tahun lalu saat dia cruising dari Southampton ke Reykjavik, tapi ternyata liburan 8 harinya itu diterjang badai tanpa henti.
Dan saya siap untuk mengexplore Turtuk! Saat saya pakai sepatu dan bersiap-siap di dalam kamar, ternyata Yosi sudah duluan ninggalin kami. Kami cuma janjian jam 11 siang sudah kembali ke penginapan karena handphone nggak dapet sinyal. Jadi kami langsung menuju Turtuk Monastery. Walopun trekking level Easy, tapi jangan lupa bawa bekal air minum ya. Jangan kayak saya, mintain bekal minum si Ikhsanul mulu.
Sebelum kami berangkat, Guram mengantar kami sampai depan penginapan. Rupanya dia sekalian mau pamitan karena nggak bisa menemani sampai jam kami check out nanti, dia harus mengajar. Ternyata Guram seorang guru. Dia menjabat lama tangan saya, senyumnya tulus. Dia berterima kasih kepada kami dan bersyukur bisa menjamu kami.

This slideshow requires JavaScript.

Di Turtuk, penduduknya berbeda dengan penduduk di Ladakh yang selama ini saya temui. Ladakhi kebanyakan (atau selama saya meminta ijin dengan sopan) mau untuk difoto. Baik mereka berpose, atau minta dibuat kayak candid. Tapi di Turtuk, beberapa kali saya minta ijin untuk memfoto, mereka menolak. Hanya anak-anak yang langung berpose pas kita angkat kamera. Yah, walopun beberapa harus disuap dulu pake permen atau jelly.
Saat di perjalanan, kami ngelewatin sekolah yang masih sepi saat kami lewati tadi pagi. Kali ini banyak anak-anak dengan seragam kotak-kotak merah dan celana abu-abu tua. Mereka berlarian saat saya dan Ikhsanul melewati sekolah mereka. Kami menyapa sejenak, saling ngobrol dengan bahasa yang sama-sama nggak ngerti. Mereka nunjuk-nunjuk kawat gigi Ikhsanul, aneh kali ya. Gigi kok dipagerin.

This slideshow requires JavaScript.

Saat kami sedang bersusah payah cari jalan untuk sampai di monastery, Yosi juga baru sampai. Saya heran, entah kenapa kok monastery ini dibangun di atas-atas bukit, susah amat kalo mau naik ya. Tapi begitu sampai di atas, pemandangan yang luar biasa indah bisa saya saksikan. Gunung-gunung batu besar mengelilingi Turtuk dengan sungai Shyok mengukir di bawahnya. Turtuk ada di bawah kami, dengan lahan kebun yang membentang, pohon-pohon apricot yang kelihatan hijau, dan pohon-pohon poplar yang menjulang tinggi. Sebuah pagi yang akan selalu saya kenang.

This slideshow requires JavaScript.

Dari sini kita bisa melihat K2 atau Mount  Godfwin-Austen, puncak tertinggi di dunia setelah Mount Everest.

This slideshow requires JavaScript.

Sudah jam setengah 11 dan kami memutuskan untuk kembali ke penginapan. Ada yang membuat saya sedikti resah. Saya lupa waktu. Sepanjang perjalanan balik ke penginapan ini, saya kepikiran masih sempat atau enggak buat mampir ke jembatan dan tempat penggilingan gandum. Karena jam 11 kami sepakat untuk beberes dan segera meninggalkan Turtuk. Dan betul saja, sampai di penginapan, sudah nggak ada waktu lagi untuk mengexplore lebih jauh. Gyal sudah datang dan meminta kami bersiap untuk menuju mobil.
Dan terpaksa saya meninggalkan Turtuk. Masih berat saya meninggalkan keindahan ini. Saya belum puas, saya belum berjalan lebih jauh lagi. Kesang benar, saya butuh lebih dari satu hari untuk menikmati Turtuk. Saya sedih meninggalkan Turutk. 😦

This slideshow requires JavaScript.

Kami meninggalkan Turtuk jam setengah 12. Ada perjalanan jauh yang menanti kami. Karena kami putar arah, artinya perjalanan ini sama dengan perjalanan yang kami tempuh saat menuju Turtuk.
Hampir tiga jam perjalanan dan kami sampai di Hunder untuk makan siang terlebih dulu, baru kemudian mampir untuk berkeliling Nubra Valley dengan Camel Ride. Untuk masuk ke kawasan ini (sekedar berjalan-jalan di padang pasir berwarna abu-abu terang dan befoto dengan para unta) kita membayar masing-masing orang Rs. 30. Sedangkan untuk menaiki unta dan berkeliling selama 15 menit kami membayar Rs. 200 per orang. What a fun experience.

This slideshow requires JavaScript.

Tujuan kami selanjutnya adalah Sumur untuk beristirahat, tapi Gyal mengajak kami untuk singgah dulu di Deskit Monastery. Monastery di Ladakh selalu memiliki pemandangan yang luar biasa, jadi kami menyetujui ajakan Gyal.
Lumayan macet saat mau memasuki kawasan Monastery, sepertinya antre untuk keluar parkir Monastery. Dan tebaklah, mobil siapa yang berpapasan saat kami lama menunggu untuk masuk ke kawasan Monastery, yak! Rombongan Jebraw dan Naya! Karena mobil kami sama-sama sedang berhenti. Saya nunggu masuk, dan rombongan mereka nunggu keluar, kami sempet ngobrol sebentar.
Nay, habis dari Turtuk kami kemaren, jadi nggak jadi nemuin di Summer Harvest. Cek DM IG ya.”
“Ooo pantes, ditungguin nggak datang.”
(Jadi, setelah saya pesen buat cek DM IG, baru DM saya dibaca sore harinya. Hemmm.)
Setelah sampai, ternyata ini bukan Deskit Monastery, ternyata yang kami singgahi adalah patung Buddha Mitreya setinggi 32 meter. Dari sini, kami bisa melihat Deskit Monastery yang dibangun di tebing sebelah barat. Sayangnya, karena sudah sore, jadi matahari sudah berada di belakang monastery. Jadi, waktu paling tepat berkunjung ke mari adalah pagi hari agar tidak backlight. Selain Monastery kami bisa melihat Nubra Valley yang luas.

This slideshow requires JavaScript.

Karena sudah jam 5 kurang seperempat, dan penginapan kami malam itu ada di Sumur yang berjarak kurang dari satu jam lagi, jadi kami segera meninggalkan Deskit.
Selama perjalanan kami menjelaskan kepada Rina dan Yosi kalau kami sudah terlanjur memesan penginapan di Sumur, jadi kami minta tolong kepada mereka agar juga menginap di Sumur. Mereka tidak keberatan. Saya bilang mereka boleh lihat dulu penginapan kami, kalo cocok gabung aja. Walopun dalam hati saya tahu kalo penginapan kami sudah full booked. Kami aja dapet kamar cadangan karena minta untuk mereschedule hari kami menginap.
Dan benar saja, saat kami tiba di Nubra Eco Lodge, kami disambut dua staff hotel, orang Punjab yang ramah. Mereka menanyakan apakah kami sudah memesan kamar sebelumnya, karena penginapan sudah penuh. Hehehehe. Akhirnya setelah mengantar kami, Gyal mencarikan penginapan untuk Rina dan Yosi.
Kami diantar ke kamar kami, dan nyaman! Bedanya cuma kamar mandi dalem dan enggak. Kamar mandi untuk kami ada di ujung lorong, tepat di samping kamar. Not so bad.
Patut kalau memesan kamar di Nubra Eco Lodge harus dari jauh-jauh hari. Karena penginapan ini menyediakan kamar yang nyaman banget, bersih, air panas 24 jam, makanan yang enak, dan tentu saja: we were surrounded by beautiful Himalayas. Penginapan ini berada di Nubra Valley, dan mulai tanggal 15 Oktober tidak lagi menerima tamu karena memasuki winter, air akan membeku, dan buka lagi sekitar bulan April.
Sore itu setelah kami keliling-keliling, kami duduk-duduk di ruang makan outdoor. Tentu saja sambil nge-milk tea dan makan kue.
Kami meminjam telpon dari penginapan. Ada dua orang yang kami telpon sore itu: 1. Penginapan kami yang terlanjur kami pesan untuk besok di Pangong Tso, Regal Camp. 2. Kesang, nanyain progress trip Tso Moriri yang kami buat. Kan karena udah gagal nginap di Pangong Tso, tapi ternyata trip Tso Moriri kami nggak ada yang minat, yang sama aja, kena biaya banyak juga kalo maksain berangkat ke Tso Moriri.
Telpon pertama, yak penginapan dengan ramah membantu untuk cancel penginapan, dan dengan galak menolak untuk minta refund.
Telpon kedua, yang pertama ditanya Kesang, “How is Turtuk Akbar? Isn’t it beautiful?” Okay Kesang, you win. Lalu masalah trip ke Tso Moriri, ada satu young lady yang berminat untuk gabung. “Only one?” Saya balik tanya ke Kesang, dan sementara memang baru satu. Lumayan lah ya, pengganti Adityo yang batal ikut kalo pembagian duitnya dibagi tiga.

This slideshow requires JavaScript.

Listrik di Nubra Eco Lodge hanya menyala dari jam 7 sampai 11 malam. Jadi saat lampu menyala, kami para tamu hotel berkumpul di ruang makan. Ada prasmanan yang disediakan untuk kami. Dan makannya, enaaaak. Sayurannya segaaaaar.
Bon Appetit!
Click here to see all my stories from Kashmir to Ladakh

17 thoughts on “Kashmir to Ladakh: Day 6, “I Left My Heart in Turtuk”

    1. Banget Mbak. Coba kalo hari pertama nyampe Leh langsung ngurus ILP, pasti berangkat ke Turtuk bisa pagi. Nyampe sana belum gelap. Oke Mbak siap. Nanti ditambah lagi fotonya. Hehehe.

      Like

  1. Keren ya turtuk, mas. Keknya banyak yang nggak tau soal turtuk. Dulu aku juga sampai deskit sama hunder ja, abis tu pulang balik ke leh.

    Like

  2. cuma bisa blg WOW!!! baguuuus bgt Turtuk.
    Jauh lbh bagus liat foto2nya disini daripada dari hasil googling 😀
    Kalo mau kesana lagi ikuut. hahaha XD

    Like

    1. Terima kasih Mbak Tita, udah baca baca diary saya. Wkwkwkwk.
      Iya nih Mbak. Belum menyeluruh explore Turtuknya, sedih ah. Tapi sepertinya cukup sekali kalo ke Ladakh lagi. Himachal Pradesh seru juga keknya buat dijelajah Mbak.

      Like

  3. Halo dari utara Australia, I love the way you’re writing. Lengkap, detail ceritanya, pertanyaan saya, kamu bawa notes kemana-mana ya bahkan isi percakapan sama temen perjalanan aja masih diingat ? But that makes your writing rich ! #sokiyebanget
    Jadi kesimpulannya, trip 10 hari Ladakh kamu abisnya berapa ? Bisikin dong, rincian biaya yang kamu tulis kan estimated, saya mau tau aktualnya, rencana kesana taun depan. Terima kasih , Akbar !

    Like

    1. Halo Mbak Melti!!! Really glad hearing you like it. 🙂
      Hahahaha. Nggak kok Mbak, cuma saya catet di Note HP biasanya, hari ini ke mana aja, ngapain aja. Kalo percakapan emang yang memorable berarti ya. Hehehehe. Sama satu lagi, banyak banget moto. Kadang kalo bingung urutan perjalanan, saya sering buka foto foto terus diurutin berdasarkan date takennya, insyaallah ngebantu bikin cerita.
      Hmmm. Aku kemaren total 13an Mbak. Sudah all in, dan trip kemaren ini nggak banyak beli oleh oleh.
      Enjoy Ladakh Mbak Melti!

      Like

      1. Pagi Mas Akbar, untuk sharing cost mobil dpt hrg berapa? Sy coba-coba baca blognya, belum nemu untuk rincian sharing cost mobil. *apa bacanya ada yang kelewat yah 😅😅😅

        Like

      2. Halo Mas Iwan. Selamat siang. Hehehehehe.
        Tulisan tentang transportasi saya di India bisa dibaca di sini Mas. https://bardiq.me/2017/10/18/transportationinindia/
        Untuk sharecost mobil di Leh, saya ikut Ancient Tracks Mas. Jadi nanti Ancient Tracks yang ngumpulin travelersnya. Untuk biayanya, mengacu biaya sewa taksi yang udah ditentukan pemerintah Ladakh, listnya ada di sini. http://www.travelhimalayas.in/transportation/taxi-rental/316-leh-local-taxi-rates-2015.html

        Hope it helps.

        Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.