MesaStila 100 2019: Perhelatan MesaStila Tanpa Gunung Merbabu

The moment of Trail Runs! Semester kedua menjadi tujuan utama agenda race untuk tahun 2019. Ada Bromo Tengger Semeru Ultra (BTS) kategori 70K di awal bulan November yang udah bikin jantung dag dig dug setiap kali melirik kalender. Untuk itu banyak juga persiapan yang harus saya lakukan, termasuk latihan untuk menghadapi BTS.
Setelah beres menyelesaikan misi Road Marathon pertama tahun 2019 di Maybank Marathon Bali, saya mulai mencoba rajin lagi balik ke gunung buat latihan trail, terutama di gunung terdekat dari rumah: Gunung Andong, yang sebenernya juga jadi momok karena salah satu jalur pendakiannya juga bakal dilaluin di race trail jarak jauh pertama tahun ini: MesaStila 100. Ketika saya bilang ‘jarak jauh’, well… it’s literally jarak jauh… enam puluh lima kilo.
Okay, let me share the story with you about MesaStila 100.
Perhelatan MesaStila dimulai kembali! Tahun lalu yang masih bernama MesaStila Peaks Challenge dengan tantangannya untuk berlari mendaki lima gunung (Andong, Merbabu, Merapi, Telomoyo, dan Gilituri) kini berubah nama menjadi MesaStila 100. Mesas100 adalah salah satu race trail terberat di Indonesia, apalagi jika kita sudah ngomongin katergori ultranya; ada 65K, 100K, dan kategori 170K yang baru mulai diperkenalkan di tahun ini.
Event tahun 2018, MesaStila Peaks Challenge (MPC) kategori 42K merupakan race FM Trail yang sangat menyenangkan. Saya sendiri berhasil finish dengan waktu 09:48. Catatan waktu yang lumayan buat saya, karena MPC 2018 adalah race full marathon trail pertama saya, target saya finish 10 jam, dan sepanjang race banyak foto-foto dan nikmatin pemandangan. Pokoknya MPC 2018 itu happy!

Introducing my running buddies: Bocah-bocah Playong Gunung (@bocahplayonggunung), banyak yang dateng dari Semarang, ada juga yang dateng dari Solo dan Magelang. Cuma sempet foto bareng sama yang start di kategori yang sama. Ada Ko Chris, Mas Andy, Pak Ngatiman, Mbak Umi, dan Mas Firli.

REGISTRATION

Jadi, karena niat hati ini mau fokus latihan untuk BTS, dan mengejar target untuk memperbaiki catatan waktu kategori 42K MesaStila, saya pun mendaftar di kategori 42K. Begitu pendaftaran dibuka, saya buru-buru register, lumayan mumpung dapet harga Early Bird. Kali ini, karena rutenya pun sama, saya berani mematok target untuk finish sub 8 jam! Gile? Ya enggak gile juga sih brooo. Namanya juga target, dibuat untuk “dipatahkan”. Wkwkwkwk.
Harga Early Bird pendaftaran kategori 42Knya naik dikit dari tahun lalu, Rp. 680,000.00. Mayan lah, dari pada tahun lalu nggak kebagian Early Birdnya, dan harus keluar uang delapan ratus ribu. Bahkan di kategori 42K nama saya masih di daftar lima awal karena saking cepetnya daftar.
Tapi…
Rencana itu pun berubah semenjak ada kompor di kolom komentar Instagram. Entah ada cerita apa tiba-tiba senior dan panutan lari saya, yang tak lain dan tak bukan: Bang Roy (@rmwidjaja), finisher MesaStila 65K tahun 2018, mention saya di postingan IG MPC 2018, ngomporin buat upgrade kategori. “Hiaah. Mana bisa Bang? Gw udah terlanjur bayar yang 42K.”
Dan, entah gimana ceritanya, kompor dari Bang Roy ini, disambut baik panitia MesaStila 100. Admin IG MesaStila 100 menyarankan saya untuk daftar lagi di kategori 65K, selama saya qualified untuk ambil kategori ini.
Alhasil, dengan menambah biaya pendaftaran 255 ribu, nama saya di Entry List bergeser dari kategori 42K ke kategori 65K! MesaStila yang awalnya dengan kategori 42K untuk latihan BTS 70K, malah resmi jadi race yang lebih berat dari BTS. Biarpun jaraknya lebih pendek lima kilo, tapi elevation gainnya beda jauuuuh. BTS 70K yang jadi target utama trail tahun ini punya Elevation Gain 3,340 m. Sedangkan Mesas100 65K punya Elevation Gain 4,832 m! Beda 1,500 meter dengan jarak yang bahkan lebih pendek lima kilo. Yang terpikirkan saya waktu itu: jalani aja dan mengiyakan kata-kata dari Bang Roy saat berhasil ngomporin saya buat upgrade kategori: “Elo kan udah finish 42K dengan catatan waktu yang nggak buruk. Lha buat apa lagi? Berani aja ambil 65K. Jangan takut DNF, DNF itu biasa bro. Apalagi trail.”
So, let’s face it.

PREPARATION

Persiapan untuk beberapa ultra trail marathon sebenernya udah dimulai sejak selesai bulan Ramadhan, udah beberapa kali ikut temen-temen Bocah Playon Gunung buat tektok ke Sumbing dan Lawu, yah meskipun latihan naik gunung ini terhenti beberapa saat karena harus turun ke aspal lagi di Bandung, Kudus, dan Bali.
Baru setelah selesai Bali Marathon, saya kembali main-main ke Gunung Andong ngeloop 2-3 kali, lumayan dapet Elevation Gain 1200an. Dan tepat seminggu sebelum race dimulai, ada charity trail run dari Longrun Rangers: Menoreh Trail Run, saya ambil kategori 10K aja itung-itung tapering dan masih dapet Elevation Gain 500an lebih.

THE DISASTER

Gunung Merababu kebakaran! Dan semakin melebar titik apinya. Tanggal 21 September 2019, terpaksa panitia memutuskan untuk mengubah rute, dan mengumumkan untuk menggunakan Alternative Route, yang pernah dipakai tahun 2015. Lumayan banget ngaruhnya rute alternatif ini.
Bayangkan, tanpa Gunung Merbabu, Elevation Gain kategori 65K turun dari 4,832 m jadi 3,803. Seribu lebih. Kategori 100K dan 170K akhirnya dibuat ngeloop beberapa kali rute 42K.
Sedikit kecewa karena memang merasa resah sekaligus tertantang dengan kategori 65K ini. Tanpa Merbabu, Water Station (WS) yang diberlakukan COT pun berkurang. Ada dua COT yang menghantui, WS 2 jam 05.00 pada KM 28.3 di Basecamp Wekas tepat sebelum naik Gunung Merababu. Dan satu lagi yang paling bikin terbayang ada di WS 3 jam 11.00 pada KM 48 di Basecamp Sedadap setelah turun dari Gunung Merbabu, sebelum naik ke Gunung Telomoyo.
Karena kebakaran hutan ini, rute diubah. Setelah sampai di WS 2 di Wekas, langsung berbelok ke CP 2 di Basecamp Cuntel sebelum menuju WS 3 di Sedadap. Dan nggak ada COT di Sedadap, hanya rute ke Telomoyo ditambah. Kalau rute yang biasa, naik di Telomoyo hanya sampai setengahnya lalu ketemu Check Point dan berbelok menuju Gilituri.
Sebetulnya ada rasa lega elevastion gain kategori 65K berkurang.
Jadi beginilah map elevasi dan rute MesaStila 100 kategori 65K dengan alternative route:

RACE PACK COLLECTION

Berbeda dengan tahun lalu yang saya nemenin (baca: ngawal) Bang Roy dari Semarang sampe ngambil racepack dan nginep di MesaStila, kali ini saya memilih dari Semarang pulang dulu ke rumah. Kebetulan jarak dari rumah ke MesaStila cuma 20an kilo. Jadi Sabtu pagi saya berangkat ke MesaStila buat ambil race pack, sebelum siangnya balik lagi ke rumah buat nabung tidur.

This slideshow requires JavaScript.

Nggak ketemu siapa-siapa, jadi setelah beres ngambil racepack yaa langsung pulang aja. Isi racepack banyak voucher dan saya naksir tasnya, tas sepatu yang model jinjing, bukan yang model sack.

Yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, kali ini MesaStila menggunakan race organizer dari Raceyaya. Hasil ngobrol dari staf MesaStila, kalau tahun-tahun lalu, MesaStila memanfaatkan seluruf stafnya untuk ikut mengelola race. Saya inget tahun lalu memang beberapa staf resort yang merangkap jadi pencatat waktu, karena tahun lalu pencatatan waktu masih dilakukan secara manual.
Nah, tahun ini kita para peserta dikasih gelang yang sudah dilengkapi dengan chip khusus. Nanti pada titik-titik Check Point, kita akan diminta check in dengan cara melekatkan chip pada mesin scanner. Lalu pop! Nama kita bakal muncul di mesin scanner tersebut. Gelang ini dipakaikan pada peserta pada saat pengambilan BIB, untuk melepas harus digunting. Gelang ini baru boleh dilepas saat peserta finish atau DNF.

This slideshow requires JavaScript.

Kali ini sekali lagi saya melewatkan Technical Meeting, karena TechMeet kategori 65K sore, sedangkan saya ambil racepack masih pagi, dan memutuskan buat pulang aja.
Wish me luck.

THE RACE

Flag off untuk kategori 65K tepat jam 22.00, saya berangkat dari rumah setelah beres sholat Isya, sekitar jam 19.30 saya naik ojol ke MesaStila. Mahal juga ternyata, 20 kilo lebih dan habis 53 ribu. Sampe di MesaStila masih jam setengah sembilan lebih. Beberapa temen ada yang nyewa kamar di rumah penduduk sekitar, agak jauh dari MesaStila jadi saya memilih buat nunggu di venue langsung. Dan udah ada Pak Ngatiman! Pak Ngatiman ini salah satu pelari yang menginspirasi saya. Usianya sudah 65 tahun, tapi larinya lebih hebat dari saya. Dua bulan lalu dia baru aja menyelesaikan Run to Care di Bali kategori individu. 150 kilo!

Setelah sekali lagi ngecek semua gear yang sepertinya bakal dibutuhin dalam perlarian yang panjang menempuh jarak 65 kilo, dan naik turun gunung, saya menuju start line untuk check in. Temen-temen dari Bocah Playon Gunung pun udah pada dateng. Kami pelari 65K pose dulu sebelum menjajal track dari perhelatan MesaStila kategori 65K.

This slideshow requires JavaScript.

Hampir jam sepuluh malam dan seluruh peserta telah berkumpul di area start line. Tahun ini ada 54 peserta yang mendaftar di kategori 65K, dan  yang berada di garis start nggak sampai 50 orang karena ada beberapa peserta yang DNS.
Setelah berdoa bersama, MC mulai menghitung mundur, 5.. 4.. 3.. 2.. 1..
Dan kami peserta 65K dilepas dari MesaStila Resort, hanya diterangi dari headlamp masing-masing peserta, mulai menembus gelap masuk ke jalur sawah-sawah dan perkebunan yang kering, yang ketika kaki dihentakkan, debu mulai bertebaran.
Merasa jarak yang akan saya tempuh lebih jauh dari kategori 42K tahun lalu, saya memilih untuk berlari dengan pace lebih santai. Di KM KM awal, karena jalanan belum mulai menanjak, saya ambil pace sekitar 08:00, baru memasuki KM 3, track mulai menanjak karena mulai memasuki area Gunung Gilituri.
Tanpa sadar, karena rombongan pelari di depan saya lumayan banyak, ada beberapa yang nyeletuk, “Eh kesasar ya?” Baru saya cek di GPX, ohiya, kok melenceng gini. Padahal belum masuk ke hutannya Gilituri, masih banyak rumah-rumah warga. Tapi karena percabangan jalan saat kami mulai kesasar sudah lumayan jauh, kami tetep memutuskan untuk menyusuri jalan. Selain saya ada Mas Firli yang duluan di depan, dan satu pelari cewek dari Malaysia. “Lanjut aja Mas. Di depan ada belokan kok, nyambung sama rute yang bener entar.” Jadi ya sudah, saya ngikut aja sama Mas Firli karena memang nggak jauh juga kami kesasar dan rute yang bener. Tepat di belokan, jam tangan mulai kasih notifikasi “On Course” tanda kalau saya berlari di rute yang bener.
Mulai pendakian di Gilituri, dan jarak antar pelari masih nggak terlalu jauh. Ada sekitar 6-8 pelari, jalanan mulai terjal, makadam demi makadam demi makadam demi makadam, nggaaaak habis habis. Sampai kemudian langkah kami terhenti. Lah nggak ada jalan lagi! Untuk kedua kalinya saya nyasar. Marking nggak begitu jelas, banyak peserta lain yang jalan duluan, juga sama-sama kesasar. Di tengah gelap kebon-kebon, dengan bantuan cahaya dari headlamp, kami masing-masing mencoba menerabas gundukan-gundukan tanah terjal yang sebagian besar tertutup pepohonan. Sampai akhirnya saling tersenyum senang karena ketemu jalan yang benar. Nggak lama dan para pelari yang tadi kesasar bareng ini tiba-tiba udah ngilang aja. Udah jauh ninggalin saya. Di tengah pendakian Gilituri saya beneran sendiri, terpaksa saya nggak berani terlalu cepet karena meniti satu demi satu marking, ketimbang kesasar atau nyungsep ke jurang. Pendakian ini pun ditemenin sama aroma wangi-wangian dari pohon entah apa yang tumbuh di sekitar Gilituri. Yaah, lumayan mengundang imajinasi tentang film-film Suzanna.
Memasuki KM 12, tepat setelah meninggalkan Gilituri, Mas Andy tiba-tiba muncul dari belakang. Urusan downhill, memang kenceng dia, saya dikebut padahal tadi dia udah lumayan jauh ketinggalan. Dan malah kami berdua kesasar (lagi). Ada sekitar empat orang yang bareng kami, dan GPX udah menunjukkan tanda-tanda “Off Course” dan mulai melenceng dari rute berwarna biru. Kami memutuskan buat cari jalan buat sampai di rute kembali, yah.. meskipun nerabas pohon-pohon bambu. “Bener nggak nih jalannya Mas?”
Dengan bermodalkan nekat, dan udah kepisah dengan dua pelari yang dari tadi bareng kami, akhirnya kami sampai juga di jalan yang benar. Walaupun habis itu ketemu juga sama dua pelari tadi yang kepisah. Nggak terasa Mas Andy pun pelan-pelan saya tinggal lumayan jauh.
Jam 1 pagi tepat, saya sampai di WS 1. Waktunya reload dan unload. Sempet kecebur di selokan, jadi saya lumayan lama juga di WS ini sambil meres meres kaos kaki yang udah basa kuyup. Dan saya pun siap mendaki Kudusan untuk summit ke Gunung Andong menuju CP pertama.
Pendakian di Kudusan pun terasa lebih berat dari tahun lalu. Entah kenapa banyak pijakan pasir yang selalu ambles setiap diinjak. Harus dibantu dengan trekking pole alami merk Qtela biar nggak kesusahan. Perjalanan yang berat ini pun terpaksa harus ditempuh lebih lama dari perjuangan tahun lalu. Saya baru sampai di CP 1 tepat di puncak Gunung Andong jam 3 lewat 7 menit. Itu pun setelah dengan sangat kesulitan mencari jalan, puncak Andong penuh tenda woooi…
Selepas check in di CP 1, saya masih kesusahan untuk mencari jalan. Problem lain pun muncul: rute yang muncul di GPX berbeda dengan marking yang saya temukan. Saya ngira-ngira kalau rute GPX nih turun Gunung Andong lewat jalur Sawit, sementara seingat saya dari rute tahun lalu dan juga marking yang saya temuin turun dari Gunung Andong lewat jalur Pendem. Lumayan lama saya ragu-ragu untuk memutuskan rute yang mau saya ambil. Akhirnya saya memantapkan hati untuk mengikuti marking. Nggak akan kesasar. Saya cuma mencoba menenangkan diri, kedua rute udah pernah saya laluin, dan juga kedua rute nanti juga nyambung.
Tepat setelah turun dari Gunung Andong, rute pun kembali tepat, jam tangan kembali menunjukkan notif, “On Course”. Namun… ternyata waktu sudah menunjukkan hampir pukul 04.00. Sementara jarak sampai WS 2 di Wekas masih tujuh kilo lagi. Oalaah broooo, tujuh kilo kalo keliling Tri Lomba Juang mah gampang, lha ini saya dihajar tanjakan demi tanjakan nggak habis-habis. Tertatih-tatih saya dikejar COT, sementara di ufuk timur langit mulai terang, saya belum sholat subuh!
Akhirnya.. I waved the white flag! Sudah jam 04.55, dan jarak menuju WS 2 di Basecamp Wekas masih 3 kilo lagi. Tepat saat saya udah mulai jalan santai, pasrah, sambil menikmati fajar yang luar biasa cantik (asli cantik banget itu di kejauhan dari Gunung Sumbing, Sindoro, Prau, Andong, Telomoyo, dan Ungaran kelihatan semua!), saya berpapasan sama Pak Ngatiman yang baru melanjutkan perlarian selepas dari WS 2. Raut mukanya sedih melihat saya DNF, dia menghampiri saya sebentar, tangan kanan menyalami, tangan kiri menepuk-nepuk bahu saya, “Kowe ki iso! Ngebut neng awal! Dewe ki ora perlu munggah Merbabu, lewat WS 2, terus aman, mesti finish!” Saya pun langsung mberambang denger omelan Pak Tua yang kurang lebih begini kalau diterjemahin, “I know you can do it! You have to be fast in the beginning. We don’t have to climb Merbabu, after reaching WS 2, we should be fine, we must finish!
Saya merasa, perjalanan menghabiskan tiga kilo terakhir menujut Basecamp Wekas ini menjadi salah satu fajar yang nggak akan pernah saya lupakan. Ditemani langit berwarna abu-abu yang mulai terang, di ujung barat berejer gunung-gunung menemani tiga kilo yang terasa pedih. Gunung Sumbing, Sindoro, Prau, Andong, Ungaran, dan tentu saja Telomoyo yang sudah saya bayangkan akan saya daki siang itu, harus terhenti di sini.

This slideshow requires JavaScript.

Di antara gunung-gunung yang berbaris itu, ufuk barat mulai berwarna memerah memantulkan sinar matahari. Di balik saya, gunung Merbabu yang gagah turut menepuk-nepuk pundak saya, “Indah ya Bar? Jangan sedih, coba lagi tahun depan ya?’

Saat mengupgrade kategori di MesaStila 100 dari 42K menjadi 65K, saya tahu saya akan DNF. Melihat jarak 65K yang harus saya selesaikan di bawah waktu 18 jam, dengan elevation gain sampai 4,832 m, dua WS dengan waktu COT yang sadis. Saya sudah tahu akan DNF. Saya sudah tahu. Hanya DNF di mana, hanya ingin mengukur kemampuan mental dan fisik, sejauh mana. Dan saat elevation gain turun karena panitia memutuskan untuk menggunakan rute alternatif, untuk mencoret Merbabu dari perhelatan MesaStila, muncul rasa percaya diri.
Saya merasa mampu menaklukan rute alternatif 65K MesaStila 100, karena tak perlu mendaki Merbabu, karena hanya satu WS dengan COT…
ternyata saya terlalu merasa mampu.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.