Desa Adat di Tepi Pantai Ratenggaro

Tujuan terakhir dari perjalanan hari kedua kami di Sumba, masih di ujung Barat Daya Pulau Sumba: Pantai Ratenggaro. Setelah puas main air di Danau Waikuri, kami melanjutkan ke salah satu pantai di daerah Kodi, Pantai Ratenggaro. Letaknya sekitar 20 kilo dari Waikuri.
Saran dari saya, and please set it as your reminder. Daerah Ratenggaro di Kodi adalah daerah di Sumba Barat Daya yang masih rawan. Jadi, jangan pergi ke sini dalam jumlah yang sedikit, dan usahakan dalam geng kamu ada orang lokal yang nemenin. Saya sendiri diwanti-wanti oleh orang lokal di sana, dan memang sempet nemu beberapa artikel yang menceritakan kalo Sumba daerah sini memang belum aman. Pak Gub NTT, atau Pak Kadin Pariwisatanya, mungkin bisa ikut mengelola ya, biar turis lebih merasa aman dan nyaman. Kan untuk kemajuan daerahnya juga to?
Untuk sampai di pantai ini, beberapa kali melewati jalanan batu yang masih jelek. Kami sampai di Pantai Ratenggaro dengan udara yang sangat panas, matahari sangat terik. Good weather for a beach trip.
Sepanjang perjalanan sebelum sampai di Pantai Ratenggaro kita melewati banyak kuburan khas berbentuk batu yang ternyata, beberapa di antaranya merupakan peninggalan zaman megalitikum. Duh, megalitikum. Ngingetin sama pelajaran Sejarah jaman SMP-yang nilai saya selalu jelek.
Pantai Ratenggaro merupakan pantai dengan air laut yang tenang, bibir pantai yang luas, dan pasir pantai halus yang putih kecoklatan. Di sini juga tempat bermuara sungai-ntah-apa-saya-kurang-tau-namanya. Juga di sebelah Pantai Ratenggaro, di seberang muara sungai ada pantai Wainyapu. Saya baca-baca sebuah artikel di pedomanwisata.com, kalau menurut masyarakat Ratenggaro, untuk menuju Pantai Wainyapu dilarang langsung menyeberangi muara sungai, pantangan.
Pantai ini menjadi salah satu tempat ikoniknya Pulau Sumba, karena dari tepi pantai kita bediri, kita bisa melihat puncak-puncak rumah adat desa Ratenggaro di seberang sungai juga makam batu peninggalan zaman megalitikum.

Iya, adeknya make kaos kebalik. Hehehehe.
Pak Raja bukan ya yang moto? Saya kok lupa.

Mulai terbiasa kalo nggak ikut di foto.
Saat saya kemari, saya ketemu beberapa remaja yang sedang mancing, tapi nggak tau kenapa kurang ramah. Jadi setelah saya sapa dan ajak ngobrol sebentar, beberapa menjawab dengan bahasa daerah. Udah gitu beberapa temennya nimpalin dan mereka ketawa rame-rame. Yah sudah, saya tinggal aja, nggak perlu berlama-lama.
Pantai Ratenggaro
Pantai Ratenggaro
Pantai Ratenggaro
Di sini ada kuda-kuda yang disewakan untuk pengunjung yang mau sekedar berfoto di atas kuda. Mereka minta 20 ribu untuk satu orangnya. Ya nggak bisa dipake buat keliling juga sih, cuma buat foto bentar doang. So prepare your best pose.
Photographed by: @prabowoadityo

By the way, naik kuda tanpa pelana itu sakit Pak. Mulai dari nanana sampai lalalala sakit semua. Pas si kuda jalan aja ngilu, untung nggak lari dia ya. Bisa mengancam masa depan klan saya. Tapi orang-orang di Sumba selow aja tuh saya lihat, kayak udah pada pake sempak dari baja.
Karena udara makin panas, dan juga kami yang nggak begitu tertarik untuk nyemplung ke laut, jadi kami langsung mampir ke Kampung Adat. Ah, mungkin karena udah puas jumpalitan di Danau Waikuri, jadi kami memutuskan nggak basah basahan lagi.
Seperti yang saya ceritain di atas, kalo tempat ini masih kurang dikelola oleh pemerintah, jadi ternyata untuk masalah parkir mobil juga masih ‘liar’. Kami diminta bayar 50 ribu untuk satu mobil. Tidak jelas uang itu apakah untuk kontribusi, untuk uang keamanan, atau hanya sekedar uang parkir aja.
Geng kami yang pingin mengunjungi Kampung Adat duluan (karena Helmi juga geng sebelah yang kelamaan nggak beranjak), akhirnya kami minta tolong driver kami buat minta anterin ke kampung adat; memang kami masuk ke wilayah asing, takutnya kalo ada peraturan atau larangan adat mereka yang kami nggak tau. Jadi saat mobil kami jalan duluan, kami dicegat, disuruh bayar 50 ribu. Karena nggak mau ada masalah, saya bayarlah uang yang mereka minta. Ternyata dua mobil yang lain nyusul. Dan biaya yang udah diminta ke kami, diminta lagi ke Helmi. Karena di sini Helmi sebagai tour leader yang pegang uang untuk biaya-biaya kayak gini. Akhirnya driver kami yang turun dan ngejelasin kalo kami udah bayar, biar nggak bayar dobel. Lumayan ada sedikit cek cok mulut antara warga, Helmi, dan driver kami. Untungnya tidak ada masalah lebih lanjut.
Dan sampailah kami di Kampung Adat Ratenggaro.
Jalan masuk menuju Kampung Adat
@anestampubolon

Sudah pukul empat dan kita harus segera balik ke hotel di Tambolaka. Masih sekitar 2 jam, jadi kami segera bergegas balik sebelum gelap. Hari kedua usai, dan kami tetap berdoa untuk hari yang cerah esok hari.
Click here to see all of my Sumba stories.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.