Perjalanan saya ke Banyuwangi ini sebetulnya adalah karena faktor kemumpungan (is that even a word?). Sekitar pertengahan 2016 temen deket saya, Angga, ngabarin kalau 10 Desember 2016 dia nikah di Jember. Angga ini temen SMA saya, jaman SMA sih cuma sebatas kenal karena memang nggak pernah sekelas. Kami mulai dekat karena sama-sama nggak sengaja ketemu di perantauan, Medan. Yah, walaupun akhirnya dia duluan sih yang pindah dari Medan. (Pak Dirjen, kapan saya mutasi ke Jogja, Pak? Kapan? *curhat)
Begitu dapat kabar si Angga ini nikah di Jember, saya langsung googling, Banyuwangi to Jember. Terlebih lagi tanggal 12 Desember, hari Seninnya tanggal merah, long weekend tuh, jadi resmilah saya akan datang jauh-jauh ke nikahan Angga di Jember, karena sekalian mau janjalan di Banyuwangi.
This slideshow requires JavaScript.
Introducing my travelmates, Adityo dan Tatik. Awalnya saya mau keliling Banyuwangi sendirian, dan udah beli tiket pesawat Surabaya – Jember juga. Eh tiba-tiba dikabarin lagi, temen SMP-SMA-Kuliah saya, Mahendra, nikah di Magelang tanggal 11 Desembernya. Wew. Kalaulah acara Mahendra ini nggak di Magelang kemungkinan besar saya absen datang, karena acara di Magelang berarti harus dateng biar sekalian pulang. Rencana awal adalah sampai di Jember hari Sabtu siang, lalu keliling kota Jember satu hari, malamnya kondangan, mampir ke kafe kolong, lalu Minggu paginya lanjut ke Banyuwangi, dan balik ke Surabaya Senin sore, lalu baru balik ke Medan hari Selasa pagi. Oke, terpaksa saya tukar trip Banyuwangi saya. Saya refund tiket Surabaya – Jember, dan saya beli tiket Surabaya – Banyuwangi. Jadi trip ke Banyuwangi duluan sebelum ke Jember buat kondangan. Saya beli tiket Surabaya – Banyuwangi hari Jumat pagi, jadi hari Jumatnya saya ijin atasan saya, bolos sehari (jangan ditiru), dan ngambil tiket pesawat Medan – Surabaya direct pakai Lion hari Kamis jam 18:50. Barulah karena ada acara nikahan Mahendra di Magelang tanggal 11 Desember, dan tahu kalo saya mau ngetrip ke Banyuwangi, Adityo gabung trip saya, dia dari Balikpapan dan ketemuan di Surabaya. Lalu setelah itu, tiba-tiba Tatik juga ngabarin mau ikut ke Banyuwangi, dan sekalian pulang bareng ke Magelang. H-5 Tatik ngabarin pingin ikut, dia dari Bandung, beli tiket kereta api Bandung – Surabaya hari Kamis pagi, dan lanjut kereta api Surabaya – Banyuwangi hari Kamis malemnya. Jadi kami bertiga ngumpul di Banyuwangi hari Sabtu pagi.
Di tulisan saya tentang Mandiri Jogja Marathon 2017, saya cerita kalau trip saya ke Banyuwangi ini mobilitasnya syerem bener. Jadi begini rute yang saya jalani dari Medan – Surabaya – Banyuwangi – Jember – Surabaya – Magelang – Medan selama 5 hari.
1: Medan – Surabaya by Lion Air (Kamis, 8 Desember 2016 jam 18:50)
2: Surabaya – Banyuwangi by Garuda (Jumat, 9 Desember 2016 jam 05:50)
3: Banyuwangi – Jember by Probowangi (Sabtu, 10 Desember 2016 jam 13:30)
4: Jember – Surabaya by Mutiara Timur Malam (Minggu, 11 Desember 2016 jam 00:37)
5: Surabaya – Yogyakarta by Wings Air (Minggu, 11 Desember 2016 jam 07:30)
6: Yogyakarta – Medan (Selasa, 13 Desember 2016 jam 09:05)
Well, let’s start the journey!
Pesawat saya dari Medan ke Surabaya take off jam 18:50, jadi saya jam 3 sore udah permisi dari kantor (Hehehehe, jangan ditiru please, kebanyakan ijin) dan sampai di bandara Kualanamu jam 6 sore. Kok lama amat kantor ke bandara? Iya Pak, kantor saya di ujung utara kota Medan, dan bandara Kualanamu ada di Deli Serdang, lewat ujung selatannya kota Medan. Jadi bener-bener harus belah kota Medan.
Pesawat saya on time (thank you Lion *sujud syukur) take off dan landing di bandara Juanda jam 10 lewat lima menit. Pesawat Medan – Surabaya ini resmi jadi flight domestik terlama yang pernah saya naikin, tiga jam 15 menit total. Sampai di Juanda si Adityo udah landing duluan, dan saya disambut tim hore penyambutan dari temen-temen Surabaya (Special thanks to komandan komandan awak yang jemput di bandara Juanda: Mas Dhani, Yudha, Kunto, dan tentu saja Zaenal yang rela kosannya kami inepin dan pagi-pagi habis subuh nganter saya dan Adityo ke bandara).
Karena sudah jam 10 lewat, dan paginya harus lanjut pesawat ke Banyuwangi, kami cuma mampir makan malem di Rawon Setan. Kenapa namanya rawon setan? Karena warung makan ini buka di jam-jam setan berkeliaran. Saya nggak tau harganya karena dibos-in komandan-komandan Surabaya. Rawon ini makanan yang saya kangenin. Di Medan susah cari rawon yang rasanya khas kayak gini.
Kosan si Zaenal ini dekat dengan bandara Juanda di Sidoarjo, paling cuma 15 menit. Agak susah saya bangun pagi karena selesai makan dan ngobrol-ngobrol di Rawon Setan, nyampe kosan Zaenal sudah jam 12. Langsung tidur dan bangun adzan subuh jam 03:45. Padahal subuh di Medan saat itu sekitar jam 05:00. Beda sejam lebih bro. Akhirnya kami siap-siap dan jam 05:15 udah sampai di bandara.
Pesawat kami pakai ATR, yang pakai baling-baling. Ini pertama kali saya naik ATRnya Garuda. Pramugarinya pakaiannya santai aja, pake celana panjang, rambut pun biasa aja digerai-gerai. Cuma dapet snack roti aja.
Kami landing di bandara Blimbingsari, Banyuwangi sekitar jam 7 pagi.
This slideshow requires JavaScript.
Dari bandara kami naik taksi ke stasiun Karangasem, Banyuwangi. Di stasiun Karangasem kami ngambil sepeda motor. Kami rental dua sepeda motor dari Mas Koko. (Yang mau ke Banyuwangi, cari sepeda motor, bisa hubungi Mas Koko di +6285331273535). Kami sewa dua sepeda motor untuk satu hari, dijanjiin bebas balikinnya kapan aja pas udah beres. Kami bayar tiap sepeda motor 100 ribu. Mahal ya? Karena lagi long weekend katanya, jadi harga sewa kendaraan juga ikut naik. Mungkin juga karena saya terlalu mendadak cari rental sepeda motor. Kami ngontak Mas Koko baru pas landing Surabaya.
Kami sarapan soto di depan stasiun Karangasem, istirahat bentar sambil nungguin Mas Koko. Habis itu kami berangkat ke stasiun Banyuwangi kota, jemput Tatik yang juga baru nyampe di Banyuwangi.
Taman Nasional Baluran
Dari stasiun Banyuwangi kami mampir dulu ke mini market buat beli ganjel perut sama air putih. Juga mampir ke pom bensin buat full tank sepeda motor dulu. Perjalanan dari Banyuwangi sampai Taman Nasional Baluran kami tempuh sekitar satu setengah jam, 45 kilo. Taman Nasional Baluran ini sudah masuk Kabupaten Situbondo. Jalan sepanjang Banyuwangi sampai Taman Nasional Baluran tergolong sudah bagus, hanya ada beberapa area yang berlubang. Kami sampai di pintu masuk sekitar jam 10 pagi dan tempat masih sepi. Hanya ada satu rombongan Bapak-Bapak pakai motor besar. Nah, dari sini barulah jalan jelek. Banyak lubang, becek, dan sebagian besar jalan masih berbatu.
Taman Nasional Baluran ini dapet julukan Afrikanya pulau Jawa, savana luas dengan pemandangan gunung Baluran di kejauhan. Kalau datang di musim yang tepat, bisa dapet view rerumputan coklat yang luas, kami datang bulan Desember dengan intensitas hujan yang lagi tinggi-tingginya. Jadi savananya lagi penuh rumput hijau. Agustus adalah bulan yang pas buat berkunjung ke Banyuwangi, selain Taman Nasional Baluran sedang dipoles warna coklat, untuk ke kawah Ijen juga bulan Agustus yang paling recommended.
Taman Nasional Baluran adalah habitat banyak binatang. Kami ketemu sekumpulan rusa, sapi, burung merak, dan tentu saja, monyet-monyet yang bisa agresif. Sempet juga waktu kami parkir sepeda motor, dan kami tinggal sebentar buat foto-foto, sepeda motor kami sudah diserang kawanan monyet. Mereka sih ngincar makanan, jadi hati-hati ya. Diamanin baik-baik barang-barang kamu. Ada sekitar 10 menit lebih buat nungguin monyet-monyet itu menjauh.
Di ujung rute Taman Nasional Baluran ada pantai Bama yang juga menyediakan water sport.
This slideshow requires JavaScript.
Pantai Pulau Merah
Selesai dari Taman Nasional Baluran kami balik ke Banyuwangi kota, kami cari makan dan mampir di Aamdani Restaurant. Tempatnya luas, banyak pilihan tempat untuk makan. Kami pilih di lantai atas yang tanpa atap, untung mendung, jadi nggak kena sinar matahari langsung. Pas di Aamdani Restaurant ini lah saya diWhatsApp Mas Koko yang punya sepeda motor, katanya kami harus balikin sepeda motor paling lambat jam 10, padahal kemarennya dia bilang boleh pakai sampai sore. 😦
Sambil nyantai makan seafood, kami buka perbincangan pantai di Banyuwangi. Rencana awal, saat agenda ke Banyuwangi saya rancang untuk dua hari penuh, saya pingin mampir ke tiga pantai. G-land atau Patai Plengkung (total 90 kilo dan akses paling susah), Pantai Pulau Merah (70 kilo), dan Pantai Teluk Ijo (86 kilo). The problem is, kami beres dari Taman Nasional Baluran dan sampai di Banyuwangi kota lagi sudah jam 2 siang. Dan pantai-pantai itu jauh dari Banyuwangi kota. Bahkan kami hampir batal main ke pantai karena sudah sore, jarak pantai yang jauh, dan mendung pulak. Akhirnya dari ketiga pantai itu kami pilih yang paling dekat dan mudah aksesnya saja, Pantai Pulau Merah.
Jam 2.30 selesai istirahat sama makan siang, kami berangkat ke Pantai Pulau Merah. Aksesnya mudah, google map akurat dan jarak tempuh kami sekitar 2 jam 45 menit. Kami sampai di Pantai Pulau Merah sekitar jam 5.15. Sudah mau gelap di Banyuwangi jam segini, kalo di Medan sih masih terang. Pantai Pulau Merah pasirnya halus dengan warna coklat terang. Yang bikin khas dari Pantai Pulau Merah adalah nampak bukit di kejauhan yang ditumbuhi pepohonan, Pulo Merah. Katanya warna tanah di bukit tersebut merah, dan kalo laut sedang surut, kita bisa mampir ke Pulo Merah dengan berjalan kaki. Sekali lagi… katanya.
Udah pada nonton Pirates Caribbean: Dead Man Tell No Tales aka Salazar’s Revenge? Yang nggak mau kena spoiler, bisa diskip aja paragraf ini yak. Jadi inget adegan pas laut kebelah terus Jack Sparrow sama Catrina Smyth jatuh sampe dasar laut buat ngambil trident of poseidon? Laut kan kebelah tuh, jadi dua tebing ngebentuk jalan di tengah, terus kita bisa liat crewnya Salazar di sisi dalam laut dari dinding air. Nah, pas saya selesai ngetik tentang pantai pulau merah, yang kalo laut sedang surut, kita bisa mampir ke Pulo Merah dengan berjalan kaki. Malemnya saya ngimpi kalo buat ke Pulo Merah ini, laut bakal kebelah dan kita kita jalan kaki lewat dasar laut. Tapi kanan kiri saya bukan terumbu karang, karena masih pantai kali ya. Jadi masih pasir pantai, dan lautnya biru jernih. Terus saya lihat ada penyu gede banget lagi renang. Langsung mikir, “Dulu ngapain jauh-jauh nyampe Derawan lihat penyu. Di sini tuh bisa liat penyu segede itu.” Yeah, well…
Setelah puas nyemplung dan main-main di pantai, kami siap-siap buat balik ke hotel. Sebetulnya sih karena di kejauhan udah kelihatan hujan, mendung banget. Jam 6 sore kami balik ke Banyuwangi kota. Kami mampir sebentar di mini market dekat parkir sepeda motor untuk beli jas hujan, jas hujan yang murah itu, 3 ribuan, yang bahannya tipis banget dan langsung sobek bagian keteknya pas baru saya pake. Bahkan ketika kami balik ke Banyuwangi kota nggak jadi hujan dan cuma kami bertiga yang pake jas hujan. Jas hujan ini nggak mungkin saya lepas, karena pasti makin banyak sobek pas saya lepas, mana tahu tiba-tiba hujan.
This slideshow requires JavaScript.
Pas mulai masuk Banyuwangi kota, kami mampir makan dulu. Sekalian numpang ngercharge nih, HP saya mulai lowbatt. Selesai makan malem, sekitar jam 8.30 kami buka google map buat cari lokasi hotel kami. Kami nginap di Kampoeng Joglo Ijen, hotel dengan jarak sekitar 30 menit dari Paltuding. Paltuding adalah pos terakhir sebelum pendakian ke Gunung Ijen, di sini termasuk loket pembelian tiket, tempat parkir, dan juga ada penginapan yang disewakan, yah… tapi dengan kondisi yang seadanya sih. Review saya tentang hotel Kampoeng Joglo Ijen bisa dibaca di sini ya.
Dari tempat kami makan sampai hotel kami “sebetulnya” dekat, jika jalan kami bener dan nggak kesasar sasar. Yes, kami kesasar. Ini pertama kali kami disasarin google map dengan sebegini sadisnya, sebegini ngenesnya. Ada pertigaan jalan, dan google map kasih arah buat belok ke kiri. Awalnya nggak ada yang mencurigakan dengan belokan ini, masih jalan aspal dan rumah-rumah warga. Makin lama… jalan makin nanjak. Kami belum curiga. Makin lama… jalan dari aspal berubah jadi batu-batu. Kami masih optimis. Makin lama… rumah-rumah warga ngilang, kanan kiri berubah jadi kebon dan sawah, jalan masih batu-batu. Kami masih mikir, “Ah mungkin karena hotel kami memang nature abis, memang jauh dari keramaian, jadi agak susah kali ya aksesnya.” Tatik yang saya bonceng sempet becanda, “Gimana? Jalan ke hotelnya kayak gini, berani kalo jadi ngetrip sendiri?” Saya, bales nyengir aja tuh.
Makin lama… jalan makin sempit, dan udah jadi jalanan tanah. Beberapa spot malah ngelewatin lumpur, Tatik beberapa kali harus turun karena jalan yang licin berlumpur. Sepatu saya udah kotor parah, lumpur tok. Padahal ini sepatu yang mau saya pake ke kondangan juga. Sempet papasan sama Bapak-bapak dari sepeda motor, kami lihat-lihatan, ekspresi mukanya heran. Tapi nggak bilang apa-apa juga. Karena kami ketemu orang dari arah berlawanan, jadi kami pikir jalan kami masih bener. Dan akhirnya mulai muncul rumah-rumah warga, jalan-jalan tanah berubah jadi jalan berbatuan. Wah, udah mau sampe nih. Jalannya udah bener.
Beneran udah mau nyampe? Belum guys. Beberapa ratus meter kami keluar dari jalan berlumpur tadi, google map kasih tunjuk untuk belok lagi, dan nanjak lagi. Setelah diskusi bentar, kami lihat arah yang ditunjukin google map, dan kami sepakat buat sekali lagi menaruh kepercayaan kami untuk google map. Ternyata, jalanan yang ini lebih parah, jalan makin sempit, licin, sepi rumah penduduk. Sampai kami di jalan sempit, satu-satu kami coba naik. Tatik turun dan nunggu dulu di bawah baru saya naik. Setelah berhasil, saya nunggu si Adityo. Lama banget, mana kanan kiri kebon gelap, ada rumah kosong juga di sebelah kiri saya. Ada sekitar saya 10 menit saya nunggu di situ, baru pas saya lihat ke belakang, Tatik ngasih kode saya buat putar balik. Duh. Jalannya licin, curam, takut kepleset. Setelah sampai bawah jalan turunan tadi, ada beberapa warga yang ngasih tahu, kalo itu jalan buntu, cuma kebon kebon sama sawah aja. Dan setelah ngobrol lumayan panjang, ada Mas Mas yang rela nganter kami sampai ke hotel. Baik beneeer…
Gara-gara disasarin google map tadi, kami nyampe hotel udah hampir jam 10 malem. Setelah check in, kami dianter ke kamar. Saya sempet mandi sebentar sama sholat sebelum lanjut tidur. Kami setel alarm jam 11.20, dan malem itu saya tidur nggak sampe sejam setengah.
Kawah Ijen
Pas alarm bunyi jam 11:20 malem, ngantuk banget, saking ngantuknya pas matiin HP nyampe kepikiran buat batal naik ke Ijen, udah kapan-kapan lagi aja, bahkan sempet tiduran lagi. Tatik sama Adityo bahkan kebangun aja enggak. Ada 10 menit saya tiduran ngumpulin nyawa, yang beberapa kali juga hampir ketiduran, akhirnya maksain buat ke kamar mandi buat cuci muka, baru bangunin Tatik dan Adityo.
Setelah siap-siap, jam 12.15 an kami berangkat ke Paltuding. Kami sampai di Paltuding sekitar jam 12.45, udah rame orang. Setelah parkir sepeda motor, kami langsung ngantre beli tiket. Loket belum buka, tapi udah mulai pada ngantre. Oiya, yang mau dapet Blue Fire, nggak usah berlama-lama ya. Penanjakan dibuka jam 1 pagi. Jadi begitu sampe Paltuding, langsung beli tiket dan langsung ke pintu masuk aja. Jadi begitu pintu dibuka, langsung mulai daki.
Track Gunung Ijen ini udah bagus, banget malah. Jalan tanahnya udah lebar dan mulus. Karena memang banyak penambang yang naik turun setiap harinya. Ada satu penambang yang barengin kami naik. Sambil ngobrol-ngobrol, katanya kalau weekend gitu memang rame. Dan banyak penambang yang off, cari sambilan jadi taksi tarik atau jual souvenir dari belerang. Taksi tarik ini bawa pengunjung pake semacam gerobak yang dimodif buat bisa ditarik sama penambang. Jadi kalau nggak kuat daki Gunung Ijen, bisa pake jasa Bapak-Bapak ini. Tarif untuk naik harga dibuka pertama sekitar 500-600 ribu, dan masih bisa ditawar.
Kami naik Gunung Ijen non stop dan makan waktu sekitar 50-60 menit. Cuma berhenti sesekali untuk minum dan kencing. Ketika sampai di atas, pas mau turun buat ke area Blue Fire, banyak yang nyewain masker. Menurut saya, Blue Fire ini adalah main attraction dari Gunung Ijen (karena kami nggak sempat menikmati kawah Ijeh sih sebenernya). Untuk melihat Blue Fire, harus pada waktu dan kondisi yang tepat. Waktu paling tepat adalah saat masih gelap, karena kalau sudah muncul sinar matahari, cahaya matahari bakal lebih terang dari cahaya dari Blue Fire, jadi Blue Fire nggak akan kelihatan. Kondisi yang tepat adalah saat arah angin bergerak ke satu arah, nggak berganti-ganti. Jadi asap belerang nggak menutupi pandangan kita.
Setelah sampai di atas Gunung Ijen, kita harus menuruni kawah untuk melihat Blue Fire. Turunannya berbatu dan terjal. Kita bakal sering berpapasan sama penambang yang bakal naik turun, dahulukan mereka ya, kasih jalan. Kalau hujan pasti tambah licin juga. Sekitar 30 menit sampai bisa di tempat paling dekat untuk bisa menikmati Blue Fire. Setelah puas, kami bergerak naik. Nah pas kami naik ini arah angin mulai berubah. Jalan kami balik ke atas Gunung Ijen mulai ditutupi asap belerang. Dan pas kami sampai di atas, puncak gunung Ijen sudah nggak kelihatan karena tertutup asap belerang yang parah banget. Karena masih gelap, dan asap belerang yang makin bikin kami susah napas, kami memutuskan buat turun ke Paltuding. Yes, we missed the crater.
Sepanjangan perjalanan pulang ini kami ditemenin pemandangan indah berupa gunung-gunung dan lembah. Kalau udah capek, bisa pakai jasa taksi tarik ini. Biayanya lebih murah dari pada ketika naik. Sekiar 100 ribu dan (mungkin) bisa ditawar lagi, karena jalanannya turun lah ya.
Yang perlu disiapin buat naik ke Gunung/Kawah Ijen: Headlamp, masker/buff (kalau masker biasa atau buff kurang, ada yang nyewain masker yang dilengkapin filter), jas hujan (kami nggak bawa sih, alhamdulillah nggak hujan), air minum minimal satu orang 600 ml. Itu yang menurut kami wajib dibawa. Boleh juga kalau mau pake sepatu trekking, sarung tangan, tutup kepala, cemilan/roti.
Agustus adalah bulan paling recommended untuk mengunjungi Kawah Ijen. Walaupun menjadi kondisi Ijen yang paling dingin, pada bulan Agustus (kata Mas Mas penambang yang barengin kami naik Ijen) bintang-bintang kelihatan lebih banyak dan bisa lihat posisi sunrise yang lebih cakep.
This slideshow requires JavaScript.
Kami sampai di hotel sekitar jam 7 pagi, dan yang pertama saya lakukan adalah mandi, baru langsung tidur, karena ngantuk banget (saking ngantuknya pas di jalan balik hotel dari Paltuding si Adityo naik motor nyampe nyeruduk semak semak, dua kali!) dan disuruh balikin sepeda motor jam 10, berarti kami harus check out dari hotel jam 9. Padahal masih pingin tidur sekalian ngabisin jam check out sampai jam 12. Eh, tiba-tiba jam 8.30 Mas Koko ngeWhatsApp, katanya kami boleh balikin sepeda motor jam 1 siang. Ah, nikamatnya. Lanjut tidur sampai mepet jam check out. Thank you Mas Koko.
Kami check out dari hotel sekitar jam 12 lebih dan nyempetin makan siang (sarapan?) di restaurant hotel sebelum balik ke Stasiun Karangasem buat balikin sepeda motor dan STNK ke Mas Koko. (Pas kami nyampe Jogja, baru kalo sadar si Adityo salah balikin STNK, masih ngantuk bener nih bocah) Dari stasiun Karangasem kami naik kereta api Probowangi ke Jember. Kereta ini kelas ekonomi, dengan perjalanan sekitar tiga jam.
Sampai di sini perjalanan saya di Banyuwangi berakhir, lain waktu mungkin bisa dilanjut nyebrang dari pelabuhan Ketapang ke Gilimanuk. Hehehehehe.
Like this:
Like Loading...
Related
Published by Akbar Siddiq
Remember your game.
View all posts by Akbar Siddiq
Good job. Lanjutkan!
Saya suka bacanya. Apalagi untuk saya yang pelupa 😅
Udah nulis pulau we??
LikeLike
Matur nuwun sudah mampir~ ❤️
Belum, masih ngumpulin niat dan bahan karena lumayan jauh mundurnya. Hahahahahaha.
LikeLike
maaf numpang lewat 😉
YUKK yang mau jalan2 ke Jember, silahkan kunjungi Travel Jember
LikeLike
Itu masker yang begitu apakah wajib dipake yah? btw sewanya berapa? pakenya sesak gak sih karena gede gitu hehe
LikeLike
Perlu menurutku Mbak. Soalnya kalo pas kena asep beneran sesak Mbak. Jadi mending nyewa dari pada beli terus habis itu dibuang.
Kalo nggak salah 10 ribu Mbak.
LikeLike