Day 4 in Norway, “I See You, Lofoten”

10 September 2018: Bodø, Moskenes
Tak seperti pagi-pagi sebelumnya, kami memutuskan untuk bangun lebih siang. Saya tak bisa berbohong kalau kami butuh istirahat lebih. Excitement untuk terus bangun pagi dan ber-morning walk menurun di hari keempat. Jika pagi-pagi sebelumnya, setelah sholat subuh saya memaksa badan untuk bersiap-siap, agar sebelum jam 7 pagi kami sudah siap untuk berkeliling. Kali itu saya kembali berlindung di balik selimut.
Alarm saya setel jam 8 pagi, belum berbunyi namun sinar matahari sudah mulai terasa terik. Saya menggapai iPhone yang sengaja saya letakkan jauh-jauh, jam delapan kurang seperempat. Saya duduk di tepi kasur, sedikit teringat bagaimana tadi malam menerjang angin malam Bodø demi sekilas Aurora Borealis di balik mercu suar.
Kami punya waktu satu harian di Bodø, dan belum tau mau ke mana aja. Saat kami menyusun itinerary, kami punya pilihan untuk berkeliling satu hari di Oslo; atau di Bodø. Membandingkan hasil googling, “Oslo must visit” dan “Bodø must visit”, akhirnya kami lebih memilih Bodø, karena tempat untuk dikunjungi di Oslo kebanyakan museum dan taman. Memangnya ada apa di Bodø? Well, let’s take a look.
Hari kesekian belum ketemu nasi dan kami memilih roti (lagi) untuk sarapan. Ada swalayan Joker tak jauh dari Airbnb kami. Selain roti, kami juga beli smoothies. Si Adityo udah berhari-hari ngelirik beginian kayaknya, tapi memang udah berhari-hari kami nggak makan buah. Dan begitu ada smoothies murah di Joker, kami beli masing-masing satu botol 250 ml. Sebotol harganya 10 NOK atau sekitar 18ribuan. Satu rasa Bringebær & Jordbær yang berwarna merah tua, satu lagi berwarna kuning rasa Mango & Pasjon. Hasil googling Bringebær & Jordbær itu rasa raspberry & strawberry, kalo Mango & Pasjon itu rasa Mangga & Markisa.
Tujuan kami adalah Nyholms Fort, benteng dari abag ke-19 yang kayaknya satu-satunya tempat wisata yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki di Bodø. Jaraknya pun tak begitu jauh dengan Airbnb milik Benedicte, tempat kami menginap

Nih nih rute dari Airbnb kami ke Nyholms Fort, 5.4. kilo aja, karena harus jalan muter. Sekitar jam 10 kami berangkat menuju Nyholms Fort sambil keliling Bodø.

This slideshow requires JavaScript.

Saya pernah cerita sebelumnya. Tiap traveling saya sama temen-temen selalu pake bendahara. Kita ngumpulin duit ke satu orang buat dipake bareng-bareng. Biasanya khusus buat makan sama uang transport, dan gantian. Buat trip ke Norway ini kami sepakat gantian jadi bendahara tiap tiga hari sekali. Hari keempat tuh giliran saya yang jadi bendahara. Karena si Adityo lupa, jadi saya yang nagih uang dia.
Nggak jauh dari kami, sekitar 20 meter ada perempuan usia sekitar 60an lagi jogging ke arah kami. Sepanjang ruas jalan sepi, dan dari kejauhan dia bisa lihat adegan di mana saya ngacungin tangan ke Adityo, lalu nggak lama si Adityo ambil dompet dan ngeluarin semua uang dia terus dikasih ke saya. Si nenek ini memperlambat larinya, dan kebingungan sambil celingukan ke belakang.
Kemungkinan dia mau cari pertolongan karena lihat orang dipalak.
Tapi nggak lama setelah kami berpapasan dan dia bisa lihat saya dan Adityo ngobrol sambil ketawa cekikikan, si nenek ini baru deh ngelanjutin jogging. Saya beneran nggak ngeh, si Adityo yang lihat muka si nenek panik. Sempet kepikiran kalo si nenek teriak-teriak minta tolong dan saya dilaporin polisi karena kasus pemalakan.

This slideshow requires JavaScript.

Kalau Norway udah terkenal dengan Fjordnya, saya menyaksikan Bodø sebagai pintu untuk menjelajah. Kota ini dikelilingi dermaga. Setiap dermaga bisa diisi 10-30 boat terparkir lengkap di masing-masing dermaga dengan pintu yang bisa dikunci. Jadi kalau dilihat dari kejauhan, Bodø dikelilingi ribuan boat. I always imagine to ride one of those and explore the fjords.
Tempat parkir. Nggak ada Mas Mas pake rompi oranye nyeter.
Masih setengah perjalanan dan kami memutuskan untuk istirahat dulu dan nikmatin pemandangan di depan mata kami. Kami duduk-duduk di belakang pergudangan, sebuah halaman luas di tepi Rønvikleira. A little fact about Rønvikleira from google: Rønvikleira tempat kami nongkrong adalah kawasan industry di Bodø yang dulunya adalah Rønvik fjord, dan disulap dengan menimbun fjord untuk dijadikan kawasan industry.

This slideshow requires JavaScript.

A1: Cok kita pose kek lagi ngobrol.
A2: Lah? Lo ngapain ketawa-ketawa sendiri?
A1: Kan biar kek lagi ngobrol.
A2: Kok lo bego sih?

Melanjutkan setengah perjalanan kami ke Nyholms Fort, kami semakin tak yakin. Jalan yang dituntun google maps masuk ke wilayah industry. Dengan tanki-tanki besar, pipa-pipa, debu, banyak juga pekerja pabrik yang mondar mandir. Kami sempet mempertimbangkan buat puter balik, tapi sepanjang jalan saat papasan sama pekerja pabrik, nggak ada yang melihat kami aneh atau nanyain kami mau ke mana. Saya yakin kalo emang kesasar, pasti mereka juga udah ngasih tau dari awal.
Dan betul saja, tak lama setelah kami nerobos pabrik-pabrik, mulai terlihat tujuan kami. Hamparan rumput luas yang menjorok ke lautan, dengan bangunan tersusun dari batu di ujungnya. Perjalanan menuju fort ditemani dengan jalan batu dengan rerumputan luas di tepi fjord. Ada kursi taman yang bisa kita manfaatin buat menikmati kota Bodø di kejauhan.

This slideshow requires JavaScript.

Di teluk tepat di depan kami kapal ferry Hurtigruten besar dengan banyak penumpang yang pada dadah-dadah ke arah kami. Hurtigruten ini merupakan salah satu opsi yang bisa kamu pilih untuk menuju Lofoten dari Bodø. Ada rute menuju Stamsund atau Svolvær yang ceritanya sudah saya bahas di tulisan saya tentang Lofoten.

Nyholm Fort adalah benteng yang dibangun pada tahun 1810 saat Norway dan Denmark sedang berperang dengan Napoleon. Saat itu runtuh dan baru direnovasi di awal tahun 2000an.

This slideshow requires JavaScript.

Saat perjalanan pulang dari Nyholms Fort, pertama kalinya kaki mulai kerasa sakit. Tumit kiri nyeri banget setiap melangkah. Beberapa kali sampe ketinggalan dengan ritme jalan si Adit dan cuma nyengir-nyengir pas ditungguin karena kelamaan jalan.
Masih jam 1 siang, sementara ferry kami menuju Moskenes masih jam 16.30. Hasil searching singkat, kami mau hiking di salah satu viewpoint yang kami temuin dari aplikasi maps.me. Oke oke, “Kaki nyeri banget dan elu masih memutuskan buat hiking?” Yees, pelan-pelan aja jalannya, kalo pas kerasa sakit banget ya istirahat bentar. Jarak viewpoint kami hanya dua kilo dari Nyholms Fort.
Di perjalanan ini pertama kalinya kami mencoba untuk hitchhike. Berhasil? Nggak ada satupun kendaraan yang mau menepi, sebagian besar melengos, sisanya pura-pura tak melihat kami. Siapa bilang hitchhike di Norway gampang? Hahahaha.
Kami ketemu satu store Joker saat menuju viewpoint, karena kami udah kelaperan, kami mampir dulu buat beli makan siang. Lagi-lagi kami memilih roti dan kami bawa untuk bekal di viewpoint kami nanti. Agak susah nemu Trailhead viewpoint ini, agak nggak yakin karena kami harus ngelewatin pekarangan rumah orang. Tapi ada seorang wanita yang sedang beberes di garasinya, kami menyapa sekilas, dan dia tersenyum membalas sapaan kami. Oh, berarti memang betul Trailheadnya di samping garasi rumah orang.
Detail lengkap tentang viewpoint kami ini bisa kamu baca di tulisan saya tentang hiking di Bodø, dan ini beberapa fotonya untuk kamu:

This slideshow requires JavaScript.

Tepat jam setengah tiga, setelah menyelesaikan makan siang, kami segera turun dan kembali ke Airbnb, membawa tas-tas yang kami titipkan di tempat Benedicte. Kami tak sempat ngobrol atau bahkan ketemu dengan Benedicte, sebetulnya tempatnya nyaman apalagi sangat deket dengan bandara. But the fact that I can’t take a shower is just a little unacceptable.
Tujuan kami adalah ke Lofoten. Beberapa artikel yang saya baca, ada ferry yang bisa membawa kami langsung dari Bodø ke Moskenes di selatan Lofoten. Tapi, nggak banyak informasi tentang pemesanan tiketnya. Kami takut kehabisan tiket dan sepertinya tiket nggak bisa dibeli secara online.
Tebaklah apa yang kami beli saat mampir di supermarket Coop waktu perjalanan ke pelabuhan? Beras! Hahahahaha, kami udah nggak tahan lagi tiap hari makan roti. Rasa laper dan kenyang nanggung yang menyiksa. Perdebatan alot antara saya dan Adityo antara bisa atau enggaknya masak nasi tanpa dikukus, akhirnya kita coba aja. Kami beli satu kilo beras, harganya 16 NOK. Beli satu kilo dulu, takut kalo nggak bisa dimasak biar nggak berat-beratin bawaan. Selain beras kami ngiler lihat daging kalkun yang sudah dibumbu tepung, ready to fry.
Sampai di pelabuhan, dan kami celingukan. Ada beberapa kapal besar yang sedang merapat, kami menerka-nerka kapal mana yang akan membawa kami ke Lofoten. Ada sebuah bangunan seperti kantor. Saya minta Adityo duduk dan jaga tas, saya coba masuk ke kantor itu. Sepi, dan hanya ada beberapa orang yang sepertinya juga sama-sama penumpang. Saya coba tanya ke mereka tentang ferry tujuan Mosekenes. Seorang lelaki menunjuk salah satu kapal besar tak jauh dari tempat Adityo menunggu. Tepat di tepinya, ada antrean. Ah, jadi beneran penumpang on foot langsung aja naik ke ferry!
That one. You can buy the ticket right before you board to the ferry.” Begitu jawabnya singkat. Tak lupa berterima kasih, saya lalu mengajak Adityo untuk ikut mengantre. Ada seorang wanita bertopi dengan ransel besar sedang ngobrol dengan teman lelakinya di depan kami. Saya tak begitu memperhatikan sampai si wanita ini yang duluan menyapa kami, “You are from Indonesia?”
“Ah iya Mbak! Mbak dari mana?” Jawab saya setelah menyadari kalo muka Mbak-Mbak ini Indonesia banget.
Namanya Mbak Atiek, seorang diri dari Bali dan lagi keliling Eropa. Saya lupa dia udah berapa minggu di Eropa, pokoknya lama sampe saya bilang, “SERU BANGET MBAK!” Dan dia lebih nekat dari kami. Biarpun cewek, dia hampir selalu hitchhike, dan beberapa kali tidur di stasiun. Tujuan dia sama dengan kami, lima hari di Lofoten tapi dia belum tau mau ke mana aja. Yang penting jalani dulu aja. Katanya trip dia ke Norway ini sekalian survey buat ngitung-ngitung berapa biaya kalo mau bawa tamu. Kayaknya sih kerja di tour agent gitu ya. Pantes aja sih nggak terikat jadwal. Pas ditanya, “Mau ke mana habis dari Lofoten Mbak?” Jawabnya juga, “Belum tau, lihat nanti deh.”
Yang awalnya kami kira teman lelakinya, ternyata juga baru ketemu pas lagi mau ngantre mau naik ferry, David the crazy Spanish, begitu jawab si lelaki ini. Berbeda dengan Mbak Atiek yang masih bingung soal penginepan murah, David bakal menghabiskan banyak waktunya untuk hiking dan camping, so he didn’t need any hostel.
Tak lama kami ngobrol-ngobrol datang Mbak-Mbak yang narikin duit buat beli tiket. Pernah liat nggak di XXI ada yang jual pop corn di dalem studio? Yang pop cornnya dibawa pake tas dicantolin di depannya? Nah, Mbak-Mbak yang jual tiket, mirip banget kayak gitu. Bedanya yang tas yang dicantolin di depannya itu mesin cashier lengkap dengan EDC. Jadi untuk beli tiket ferry dari Bodø ke Moskenes langsung aja tanpa beli online, dan bisa pake cash ataupun gesek, dengan biaya tiketnya 221 NOK per penumpang.
The ticket seller.
Setelah urusan tiket selesai, kami langsung dipersilakan naik ke atas ferry. Luassss, lantai bawahnya untuk parkir kendaraan. Kami meletakkan tas-tas besar kami di loker lalu menuju lantai 2. Begitu kami masuk, seperti biasa, kami disambut aroma makanan yang sangat menggoda. Kami lapaaar, we want decent fooood. Tapi kami tetep teguh untuk berhemat. Terpaksa kami keluarkan roti tawar (lagi) dan Nutella (lagi) untuk menemani perjalanan kami ke Lofoten.
David the crazy Spanish dan Mbak Atiek.
Area dalam ferry yang harus dihindari.
Berempat dengan Adit, Mbak Atiek, dan David kami duduk bebarengan. Seolah-olah kami langsung jadi travelmates, padahal jawaban Mbak Atiek mau naik apa begitu sampai Moskenes: nggak tau. Jawaban David: jalan kaki. Sementara kami sendiri sudah berencana untuk langsung menuju rumah Roy Finstad di desa Å di ujung selatan Lofoten. Dan kalo kamu tanya kami mau naik apa dari Moskenes Ferry Port ke Å: nggak tahu.
Sementara Mbak Atiek dan David langsung mencari posisi wenak untuk merem, saya dan Adityo memilih untuk menikmati fjord. Angin tak terlalu kuat berhembus, kami duduk-duduk di sisi belakang ferry.

This slideshow requires JavaScript.

Perjalanan ferry dari Bodø ke Mosekenes direct memakan waktu selama tiga jam lebih. Kalau ambil jadwal yang paling pagi, sebelum sampai Moskenes, ferry ini bakal singgah dulu di Røst dan Værøy. Sempet ngelirik dua tempat ini, tapi sepertinya nggak worth it untuk berlama-lama, karena harus nyesuaikan dengan jadwal ferry.
Saya sempat masuk ke dalam ferry karena mulai kedinginan di luar, coba cari kursi yang nggak kepake biar bisa tidur selonjoran. Tapi tetep aja, mata merem, semua indra masih bisa mengenali kondisi sekeliling.
Lalu ferry mulai melambat, saya mencoba melihat ke luar jendela. Di luar mendung dan langit sudah sedikit gelap. Mulai terlihat gunung-gunung tinggi gelap menjulang, hampir bersinggungan dengan mendung. Di bawahnya, titik-titik warna warni rumah dengan dinding kayu yang khas.
Saya masih deg-degan kalo liat foto ini. Masih kebayang gimana perasaan saya waktu detik detik sampai di Lofoten.
Saya ambil kamera dan segera bergegas ke luar ferry. Angin bertiup kencang, tak seperti tadi saat meninggalkan Bodø, cuaca nampak tak begitu ramah. Ferry mulai bergerak memutar, membuat posisi saya semakin dekat dengan tempat berlabuh. Di depan saya, daratan sudah terlihat. Gunung-gunung yang dari balik kaca tadi terlihat gelap, kini sudah berdiri kokoh di depan saya. Langit mendung, gunung-gunung tadi nampak serasi dengan warna langit yang gelap. Suram.. indah..
Ombak sedikit kuat, angin menderu-deru, lampu mercu suar berwarna merah menyala terang, ferry terus-terusan menggemakan klaskson, rumah-rumah penduduk terlihat tak jauh dari dermaga. Rekaman ingatan saya memutar suasana itu tak henti-henti, mencoba mengembalikan kenangan saat saya pertama kali bertemu dengan Lofoten.
Hey,! Now I see you, Lofoten.
Moskenes, Lofoten.
Setelah kapal merapat, saya kembali ke kursi yang tadi saya tinggalkan. Mbak Atiek dan David sudah entah ke mana. Saya dan Adityo bergegas ke loker dan mengambil tas-tas kami. Suasana di lantai bawah lumayan gaduh. Mobil-mobil mulai meninggalkan ferry. Kami masih mencoba mencari-cari Mbak Atiek sambil berjalan ke luar ferry. Belum jauh kami berjalan, dari salah satu sedan yang menyalip kami, Mbak Atiek yang duduk di kursi belakang melambai-lambaikan tangan. Kami ndomblong aja lihat segitu cepet dia dapet tumpangan. Mungkin begitu ferry mau merapat, saat kami sibuk moto-moto, dia sudah stand by di lantai bawah dan cari tumpangan.
Dadah Mbak Atiek.
Kami harus berjalan dari ferry port ke persimpangan jalan E10, jaraknya sekitar 500 meter. Jalan E10 ini jalan utama yang menghubungkan seluruh Lofoten dari paling selatan sampai di Norway mainland. Jadi kami berani cari tumpangan begitu sampai di jalan E10. Karena bisa saja mereka punya tujuan sama ke arah selatan menuju Å, atau bahkan berbelok ke arah sebaliknya menuju Reine. Saya yakin sebagian besar dari mobil-mobil ini akan menuju Reine.
Selain saya dan Adityo, ada dua orang turis lagi dengan carrier besar yang berjalan menuju jalan E10. Jarak dari Moskenes Ferry Port di Sørvågen ke tempat Roy Finstad adalah 5 kilo lebih. Jarak yang lumayan untuk berjalan kaki dengan kondisi yang sudah gelap ditambah gerimis, google maps bilang satu jam. Belum lagi kami memanggul ransel besar, dan berbagi tas duffel yang penuh dengan belanjaan yang kami beli di Bodø. But we don’t have another choice. Ada sih bus dari Moskenes Ferry Port ke Å. Tapi jadwal paling dekat adalah jam 23.04. Masih jam 20.15 dan sangat tidak mungkin kami harus nunggu dua jam di bus stop. We decided to walk, dan mana tau ada yang berbaik hati mengangkut kami.
Kami berdua menembus jalan E10 yang gelap, menyusuri tepi fjord dengan angin dingin yang tak henti-hentinya memburu, langit sedikit gerimis. Dua orang turis yang ternyata berjalan ke arah yang sama mulai saling memakaikan rain cover di carriernya. Saya bawa sih rain cover, cuma saya yakin hujannya nggak bakal deres. So we just kept walking.
Tumit kiri saya kambuh, selalu nyeri saat kaki kiri bergerak maju. Hampir mirip dengan cara saya berjalan, si Adityo justru telapak kaki kanannya yang sakit. Kami sama-sama berjalan pincang, memanggul ransel berat di punggung, dan tangan yang mulai kesemutan nenteng tas duffel. Jalanan sudah sepenuhnya gelap, tak ada lampu jalan, penerangan hanya dibantu dari lampu dari beberapa rumah yang kami temui sepanjang jalan. Jalan rayanya nggak begitu lebar, mungkin hanya cukup untuk dua bus berapapasan. Tak ada bahu jalan sehingga saya dan Adityo nggak bisa jalan bersebelahan karena takut tertabrak kendaraan, kami terpaksa berjalan beriringan. Tas duffel sampai beberapa kali tertendang karena kami tenteng di tengah.
Beberapa kali ada mobil melintas, tapi tak satupun yang bersedia menepi. Kami terpaksa berhenti di beberapa tempat untuk istirahat saat tangan mulai kebas, atau kaki sangat sakit untuk berjalan.
Nggak ada alamat jelas untuk menuju rumah Roy. Dia hanya bilang, untuk terus berjalan sampai ketemu terowongan. It’s a big tunnel, so you won’t miss it. Tepat sebelum terowongan, berbeloklah ke kiri, lalu jalan sekitar 100 meter sampai kamu menemukan rumah bercat putih.
And there we are, standing in front of its door.
Saya menaruh tas duffel sebelum memencet bel rumahnya. Tak lama setelah saya menekan bel untuk kedua kalinya, pintu dibuka. Saya masih ingat, pintu dibuka ke arah luar, membuat saya sampai tergopoh-gopoh menghindari pintu yang didorong ke arah saya. Seorang lelaki berambut putih, berbadan tinggi, dengan sweater warna merah berada di ambang pintu. Lelaki yang sama dengan yang ada di foto profil Airbnb kami.
Hai!” Dia menyapa.
Hello Roy, sorry for being so late.”
It’s okay, come on in.”
Saya buru-buru menaruh tas duffel dan melepas ransel berat. Saat saya sibuk krusak-krusuk di teras dalam rumah Roy, seorang wanita dari dalam rumah turut menyapa kami.
“Halooo. Selamat datang, pasti capek ya?’
Saya melongo mendengar seorang wanita berbahasa Indonesia fasih menyapa kami. Nggak saya jawab pertanyaannya karena saya sibuk terheran-heran. Sejauh ini saya berkelana, 19 jam dengan pesawat, tujuh jam dengan kereta api, dua jam dengan bus, lima jam dengan ferry, belum lagi ditambah puluhan kilo berjalan menyeret kaki, di sebuah desa di ujung Lofoten yang kami kunjungi karena namanya yang unik, ketemu juga sama orang Indonesia.
Namanya Mbak Indah. Tepatnya Indah Finstad. Istri dari pemilik Airbnb kami yang baru dinikahi bulan Juli kemarin. Mbak Indah asli Bali. Ketemu dan berteman lama dengan Roy di Bali. Sebelum akhirnya mereka berpacaran dan menikah. Mbak Indah sendiri baru satu minggu sampai Å, dan satu minggu masih males-malesan di rumah, nggak ke mana-mana. Masih capek katanya.
Pertanyaan kedua dari Mbak Indah lumayan bikin jengkel, “Kalian jalan kaki dari ferry port? Itu kan jauh banget! Telpon dong biar kami jemput.”
Eladalah Mbakyu. Masa iya gue ngelunjak minta jemput.
Kami hanya ketawa ringkas, “It’s fine, not that far.” Ditutup dengan tertawa lagi.
Sudah jam sepuluh malam, jadi kami segera menuju kamar dan menyiapkan makan malem. Saking senengnya kami ketemu Mbak Indah, kami kasih satu kaleng gudeg kami buat Mbak Indah. To be honest, ada Akbar dan Adit seminggu kemudian yang menyesali keputusan ini.
Malam itu kami bagi dua tugas, saya mencuci baju dan Adit masak. Karena cuaca Norway yang sering nggak tentu, hampir semua orang Norway selain punya washer juga punya dryer, jadi kami tenang karena baju-baju kotor kami sudah langsung bersih.
Itu adalah makan malem yang sangat nikmat! Setelah berhari-hari cuma makan roti, paling mewah makan spaghetti di Mathallen Oslo, kami makan nasi! Naaasi! Pake kalkun goreng! Juga akhirnya buka Gudeg Kaleng. Karena nggak mungkin makan gudeg pake roti. Alhamdulillah. Saat ngobrol bareng dengan Roy dan Mbak Indah, Roy cerita kemaren malam Northern Lights bisa kelihatan jelas dari rumahnya karena langit yang juga sedang cerah. Sayang malam itu mendung bahkan sesekali gerimis.

This slideshow requires JavaScript.

Tak lama saat saya siap-siap untuk tidur setelah mandi, si Adit masuk kamar sambil ketawa cekikikan.
“Men, lo tau nggak berat badan gue turun berapa? Sepuluh kilo! Berat gue sekarang 49! Itu berat badan gue jaman kuliah dulu. Belum pernah lagi berat badan gue kepala empat!” Lima hari perjalanan dan berat si Adityo udah turun sepuluh kilo.
“Mana timbangan? Mana?” Saya pun nggak kalah excited pingin tau berapa berat badan setelah lima hari jalan jauh. Di kamar mandi ada timbangan, tepatnya di bawah cabinet. Nggak tau juga ini gimana ceritanya si Adit nemu timbangan badan di sini. Saya nimbang, dan berat saya turun tiga kilo. Huaah, masih aman.
Saya balik lagi ke kamar. Berdua cekikian pelan karena suasana di luar kamar kami sudah sepi. Kami cekikian gimana empat hari di Norway dan sudah banyak hal yang patut ditertawakan, termasuk tumit kaki kiri saya yang nyeri nggak keruan dan telapak kaki si Adityo yang ternyata udah kapalan. Kami sudah sampai di Lofoten, tak sabar kami menunggu hari esok.
Lofoten, tunggu kami ya. Kami mau merem sebentar, biar besok bisa menjelajahmu lebih jauh lagi.
Click here to read all my stories in Norway.

21 thoughts on “Day 4 in Norway, “I See You, Lofoten”

  1. Nggak apa-apa bangun siang, bang. Gue juga nggak memaksakan diri saat traveling. Soalnya kalau sampai sakit, ya malah akan merusak liburan itu sendiri.

    Gue nggak kebayang gimana lo minta duit ke Adit, apakah kalian lagi berdiri berhenti terus jaraknya agak berjauhan sampai dikira nenek-nenek lo tukang palak 😀

    Pemandangan kapal-kapal di tepi laut itu epic banget, mas!

    Keren banget ya, mbak Atiek. Sampai tidur di stasiun gitu, memangnya nggak diusir? nggak pegel-pegel badan?

    5 KILOMETER ITU JAUH BANGET, MAAASSS. Kebayang dah capeknya. Mana udah capek seharian, bawa backpack, belum lagi nenteng-nenteng tas duffel. Pasti malam itu berasa di surga deh di rumahnya Roy dan Indah.

    Liked by 1 person

    1. Iya bener Mas. Lima hari pertama emang kerasa banget maksa jalan terus. Untung memang pas dapet tempat yang attractionnya nggak banyak.

      Hahahaha. Lagi jalan aja padahal kami sebelahan Mas. Padahal muka alim begini kok dikira kriminal.

      Ah iya Mas. Setuju banget. Bisa seharian piknik gitu ya. 😁

      Nah itu. Heran juga aku Mas. Belum lagi kalo malem angin tuh nggak kira kira dinginnya.

      Kalo pas siang dan nggak bawa banyak barang mungkin masih bisa jalan pelan pelan sambul ngobrol ya Mas. Hahahaha.

      Liked by 1 person

  2. Mas Akbar,

    Nimbrung lageee ni….

    Di Bodo dan moskenes itu ada ruang tunggu buat angetin badan gak ya? Hehe… seperti resto atau toko2 makanan, kan lumayan banget dinginya kalau berjam2 nunggu diluar (rencana naik ferry yang jam 1 malam sih).

    Thanks mas akbar 😊

    Like

      1. Oh iya kan Mas Akbar udah tau medan jalanannya dari A – Sorvagen – Svolvaer yah, kira2 kalau nyetir buat kita pemula yang biasanya pakai setir kanan gimana Mas?

        Dan jalananya berbahaya gak ya?

        Rencana maret besok nih semoga saljunya udah tipis.

        Thanks again Mas…

        Like

      2. Halo Mbak Susan. Mohon maaf baru balas.

        Jalannya bagus kok Mbak, udah mulus. Mungkin perlu pembiasaan awalnya aja karena beda posisi setir.

        Jalannya memang relatif sempit, cuma cukup untuk dua bus papasan gitu, tapi sepi kok. Jadi enak aja.

        Kemungkinan kalo Maret masih tebal saljunya, nanti mobil biasanya dipakai ban rantai.

        Like

  3. Wah akhirnya makan nasi juga! Nikmat bgt pasti 😁 keren bgt chefnya berhasil masak nasi pake panci doang. Saya aja blm pernah nyoba.
    Salut sama kalian berdua bisa bertahan makan roti selama 4 hari. Klo saya pasti dah pusing nyari nasi 😁
    Maklum anaknya ga terlalu doyan makan roti. Makanya pas ke New Zealand dibelain bawa travel rice cooker biar bisa makan nasi. Orang indonesia sejati emang 😆

    Liked by 1 person

    1. Iya bener Mbak. Aku masih keinget gimana enaknya ketika pertama kali nasi masuk ke perut setelah empat hari lebih cuma makan roti. Tapi ya gitu, lama. Dan ngaduknya harus sabar biar nggak gosong. Karena mau bawa mini cooker gitu males nenteng nentengnya. Kecuali kalo kek di NZ kan, ada mobil, nggak perlu nenteng/manggul.

      Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.