Kashmir to Ladakh: Day 7, “Aal Izz Well”

27 September 2017 – Sumur, Pangong Tso, Chang La, Leh
Perjalanan jauh menanti kami pagi itu. Tujuan utamanya adalah Pangong Tso. Pangong Tso adalah magnet utama dari Ladakh. Semua orang pertama ke Ladakh, wajib ke Pangong Tso. That’s why, Pangong Tso terlalu rame.
“At seven.” Begitu balasan singkat Gyal saat saya tanya jam berapa kami dijemput besok paginya. Dan sarapan pun belum siap. Oiya, harga yang ditawarkan Agoda untuk menginap satu malam di Nubra Eco Lodge (yang kami ambil) sudah termasuk sarapan, tapi tidak termasuk makan malam. Jadi, malam sebelumnya kami harus membayar Rs. 960 berdua. Sekitar 180 ribu Rupiah. Yes, memang mahal.
Karena sarapan untuk tamu yang berupa prasmanan belum disediakan, mereka memberikan banyak opsi untuk kami. Apa mau dibuatkan sarapan cepat seperti sandwich, bread toast, omelette, dan telur rebus, atau mau dibungkuskan makanan berat untuk kami santap di perjalanan. Kami memilih untuk sarapan cepat aja. Jadi, karena kami bangun pagi, masih sempet kok setelah packing untuk santai nyeruput milk tea sambil menikmati pagi di Nubra Eco Lodge. Asli deh, pelayanan hotel ini jempolan. Makanannya enak, kamar bersih (selain kamar tidur, karena lokasi Nubra Eco Lodge di samping gurun pasir, jadi harus pake sandal kemana-mana, lantainya berpasir), Staffnya ramah, suka membantu, tidak sombong, saya yakin mereka juga rajin menabung.

This slideshow requires JavaScript.

Jam tujuh teng Gyal datang menjemput kami. Seperti biasa, setelah menyapa Rina dan Yosi, haha hehe sebentar, lalu kami mendengarkan curhatan Rina. Kali ini selain pusing, dia juga mengeluhkan listrik di hotelnya yang cuma menyala sampai jam 11 malam. Yah, satu desa memang begitu kali ya.
Perjalanan dari Sumur menuju Pangong Tso melewati jalanan yang belum diaspal, jadi kami harus menerjang jalanan dari batu, dan sempet juga nyebrang sungai kecil. Sesekali terlihat angin yang menggumpal membuat puting beliung kecil membuat debu dan pasir berputar-putar.
Dua jam perjalanan dan kami berhenti di suatu tempat peristirahatan di tepi sungai yang ramai turis maupun pekerja perbaikan jalan, Refreshment Point. Ada tenda-tenda dipasang di kanan kiri jalan, ada café kecil dari tenda juga. Yang lebih menarik lagi: toilet terbuka dengan pemandangan Himalaya dan Shyok River.

This slideshow requires JavaScript.

Sebelumnya saya pernah bercerita, kalau perjalanan saya di Ladakh ini selalu memukau saya. Setiap satu tempat ke tempat lain disuguhi pemandangan yang luar biasa indah dan selalu berbeda-beda. Kali ini kami beberapa kali menerjang jalanan yang belum diaspal, menaiki pegunungan yang berkelok-kelok, gunung batu tinggi berwarna coklat-kadang abu-abu di sebelah kami, dan jurang di sebelah kami yang lainnya. Shyok River menemani sepanjang perjalanan kami menuju danau Pangong.
Jam 10.30 kami sampai di desa kecil bernama Durbuk. Kami mampir di Pangong Way Restaurant untuk beristirahat. Rina dan Yosi memesan soft drink untuk mengurangi mual, saya cukup mengisi  air putih aja untuk bekal. Saya habiskan sisa waktu untuk duduk duduk aja di depan restaurant.
Durbuk adalah desa kecil dengan rumah-rumah berjejer di sepanjang jalan. Sebagian besar membuka restaurant untuk tempat istirahat, ada beberapa yang membuka penginapan. Kebanyakan truk-truk yang menepi di sini, sebagian aja turis kayak kami.

This slideshow requires JavaScript.

Pukul 11.30 kami menepi. Sekitar 30 menit sebelum Pangong Lake. Ada lembah luas yang ditumbuhi rerumputan dan beberapa ekor keledai di sana sini. Ngapain nih Gyal berhenti di sini? Gyal cuma menunjuk-nunjuk daerah lembah itu, kami tanya ada apa juga dia kurang bisa menjelaskan. Jadi yaah, kami turun aja. Di lembah luas ini banyak lubang-lubang, rumah ular? Pas kami mendekat lagi, ada papan warning di situ, “Do not feed the wildlife”. Ah, ternyata ini rumah-rumah marmot! But sadly, 20 menitan kami nungguin di situ, nggak satupun marmot yang muncul. Yah, belum beruntung aja. Yang penasaran coba googling aja: Marmot Pangong Tso.

This slideshow requires JavaScript.

Setengah jam kami melanjutkan perjalanan. Dan kami sampai di Pangong Tso. Langit cerah maksimal. Matahari pas tepat di atas kepala, awan-awan hanya kami temui satu dua di ujung dekat pegunungan di kejauhan. Ah, mungkin saking tingginya kami ada di atas awan!
Dari tempat kami memarkir mobil, rasanya pingin lari-larian menuju danau. Siang itu Pangong Tso memantulkan warna langit dengan sempurna. Warna danau biru pekat di kejauhan, lalu kelihatan segaris di permukaan danau, dan warna danau berubah menjadi biru lebih terang. Semakin mendekat lagi ke darat, warna biru terangnya berubah lagi menjadi biru lebih gelap, di satu sisi terlihat jernih kehijauan. Di sisi ini bisa kita lihat jernihnya air. Batu-batu kerikil di dasar danau terlihat bergerak gerak hasil sinar matahari yang dibiaskan. Bayangan permukaan air danau terukir di dasar danau berupa garis-garis putih yang menari-nari mengikuti permukaan air yang berombak. Dan langitnya! Udah saya bilang belum ya kalo langitnya itu sangat cerah? Hampir nggak ada awan. Langit membentuk gradasi warna dari biru tua, dan semakin muda saat mulai menyatu dengan Himalaya. Terima kasih Pangong Tso, sudah menunjukkan wajah yang cantiknya ora ketulungan.
Saat mendekat, air danau keliatan jernih banget, tapi saat menjauh, Pangong Tso jauh kelihatan lebih indah. I wish I had a better camera. Dulu sebelum datang ke Pangong Tso selalu mikir, kenapa ya orang-orang nggak ada yang nyebur ke danau? Dengan view sebagus itu, air sejernih itu. Dan setelah saya sampai di sana, saya baru ngerasain kalo Pangong Tso sangat dingin (banget nget) dan sangat terik. Terlebih airnya asin dan saya nggak lihat ada tempat untuk mandi. Yeah, I’m not crazy enough to swim in Pangong Tso. Tapi tunggu, setelah saya iseng googling “Swim in Pangong Tso” muncul juga tuh foto foto orang pada nyebur!
Pangong Tso (Chinese: Bangong Co) – Tso: Lake/Danau. Pangong Tso adalah danau di ketinggian 4,350 meter di atas permukaan laut yang dimiliki oleh dua Negara: sepertiga milik India sisanya milik China (Tibet). Untuk ke Pangong Tso, diwajibkan memiliki Innerline Permit (Tulisan tentang Innerline Permit bisa dibaca di cerita saya janjalan di Ladakh hari keempat). Pangong Tso memiliki banyak warna berbeda tergantung dari cuaca: biru tua, biru tosca, hijau cerah, sampai pink. Bahkan di waktu-waktu tertentu bisa menjadi tak berwarna, sehingga saat permukaan air tenang, maka gunung-gunung yang menjadi latar belakang Pangong Tso terrefleksi sempurna di atas permukaan danau.
Gunung-gunung berwarna coklat menjadi latar belakang view danau asin ini, yang di musim-musim tertentu gunung-gunung itu diselimuti sebagian atau bahkan seluruhnya oleh salju. Did I just say ‘asin’? Ya, danau ini memiliki air asin. Kok bisa? Berdasarkan hasil saya ngobrol dengan temen saya, Indra the geologist, katanya danau-danau di Ladakh biarpun berada di atas ketinggian yang ekstrem, bisa memiliki rasa yang asin karena dulunya memang danau-danau ini asalnya dari laut. Jadi (kalo saya nggak salah tangkep), dulunya India Utara dan Benua Asia terpisah oleh laut. Lalu terjadi tumbukan antara lempeng India dengan lempeng Eurasia, persis di India Utara-Nepal-Bhutan-dan seterusnya. Tumbukan yang terjadi terus menerus ini membuat permukaan bumi di daerah tersebut semakin terangkat dan jadilah Himalaya seperti yang kita tau sekarang. Lebih jauh lagi, saat proses tumbuk-tumbukan ini, air laut mengintrusi (menerobos ke atas) dan terjebak di antara Himalaya. Dulunya tuh kapan ya Bar? Yah baru-baru aja sih. Sekitar 40 juta tahun yang lalu. Yang unik lagi dari Pangong Tso, adalah ketika winter, danau ini akan membeku sepenuhnya. Yes, you can walk on it.
Pangong Tso berada sekitar 150 kilometer dari Leh, atau sekitar 4 jam perjalanan. Dan kami berangkat dari Sumur, yang ternyata jaraknya sama aja kayak dari Leh, sekitar 150 kilometer. Jadi, kalau Nubra Valley dan Pangong Tso sama-sama ada di itinerary kamu, jadikan aja satu trip ya. Biar nggak bolak-balik ke Leh dulu.
Ada dataran yang menjorok panjang ke danau, persis yang dipake untuk shooting Three Idiots. Lengkap di situ dibuat property khas film Three Idiots: vespa kuning, tiga kursi duduk bentuk pantat, dan tentu saja, seperti yang udah saya ceritain, rame banget nget. Sampe ada tulisan yang pernah saya baca, tentang bagaimana Three Idiots merusak Ladakh. Yang mau baca-baca juga bisa mampir ke artikel di buzzfeed. Masalahnya apa? Kurang lebih sama aja sih kayak permasalahan wisata di Indonesia, masalah utamanya adalah sampah. Selain sampah, juga eksplorasi berlebih yang merusak ekosistem.
Sepanjang pesisir danau dibangun banyak tempat makan juga penginapan dengan nama-nama yang menurut saya terlihat terlalu terkena dampak boomingnya film Three Idiots. Nama-namanya: Pancho Restaurant, 3 Idiots Café, 3 Idiots Restaurant. Yes, semuanya bertemakan film itu. Terlalu mainstream yang jatuhnya lumayan mengganggu menurut saya.
But, you will definitely still enjoy Pangong Tso. The beauty still awes me.

This slideshow requires JavaScript.

Lumayan lama saya duduk duduk dari kejauhan. Akhirnya saya laper juga. Setelah ketemu sama Ikhsanul, kami berdua mencari Rina dan Yosi yang ternyata udah duduk duduk di Paradise Restaurant (tentu aja di bawahnya ada embel embel 3 Idiot Point) nungguin makan siang. Saya pesan Veg Momo, sop jagung-yang saya lupa apa namanya, dan segelas hot ginger tea with honey and lemon.
Di sini Rina ketemu dengan Ibu-Ibu Punjab yang ngajak dia ngobrol. Dan hey, obrolan mereka nyambung karena sama-sama suka belanja. Ya, saya tau Rina udah nggak sabar meninggalkan Ladakh dan pesta belanja di Delhi.
Jam 2 tepat kami meninggalkan Pangong Tso. Kami pulang menuju Leh yang jaraknya 150 kilometer dan direncanakan untuk sampai di Leh sebelum gelap. Setelah beberapa menit kami meninggalkan Pangong Tso, saya yang duduk di sebelah Gyal tiba-tiba dicolek sama dia (eh). Terus nunjuk nunjuk ke depan. Awalnya saya belum ngeh apa yang ditunjuk Gyal. Ada satu mobil dari arah berlawanan yang sedang menepi. Gyal melambaikan tangan sama si sopir mobil itu saat kami berpapasan, saya lihat laki-laki di balik setir itu ikut membalas sapaan Gyal. Yes, saya kenal sopir itu: Jigmet, driver rombongannya Jebraw dan Naya. Pas mobil saya ngelewatin, saya bisa lihat Mbak Jean lagi naik ke dalam mobil. Hahahahaha. Kali keempat nggak sengaja ketemu sama rombongan mereka. Apakah akan ketemu rombongan mereka lagi? Hehehehehe.
Nama Jigmet sebenernya udah terkenal di perpariwisataan Ladakh di kalangan traveler Indonesia. Beberapa sumber yang saya tanyain pas nyusun ini itu sebelum berangkat trip ini, juga merekomendasikan nama dia. Plus dikasih juga nomer dan email Om Jig. Tapi entah kenapa pas saya kirim email dan WhatsApp, aku tak diiraukan. Sedih loh gaes dicuekin tuh.

This slideshow requires JavaScript.

Jam 4.30, sekitar seratus lima puluh menit berkendara kami sampai di salah satu highest motorable roads in the world, Chang La. Chang La atau Chang Pass, adalah jalanan dipegunungan yang sudah diaspal cantik, menghubungkan jalan antara kota Leh dengan Pangong Tso. Jadi kalau kamu punya rute langsung Leh-Pangong Tso atau sebaliknya, pasti lewat Chang La, kecuali nek kowe numpak helikopter.
Chang La berada di ketinggian 5,360 meter di atas permukaan laut dan sebetulnya lebih tinggi dari Khardung La. Ada tugu penanda dari BRO yang mirip mirip dengan yang ada di beberapa mountain pass yang sudah kami lewati seperti Namika La, Fotu La, dan tentu saja Khardung La. Ada Chang La café di sini kalau kamu betah berlama-lama dan mau ngeteh apa ngopi dulu. Di sini pertama kali saya menginjak jalan yang membeku dan sebagian tertutup salju, licin. Saya beberapa kali harus pegangan biar nggak kepleset.
Sekitar 15 menitan kami berada di Chang La, saya sudah mulai kerasa pusing. Jadi kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Leh.

This slideshow requires JavaScript.

Jalan kami pulang ke Leh mengukir gunung-gunung batu besar berwarna coklat, dengan lembah-lembah tandus dan sungai kecil mengalir di antaranya. Di kejauhan gunung-gunung berjejer membentengi kami, seakan Himalaya tak pernah habis.
Satu tempat yang kami lewati namun sayang tidak kami singgahi, Stakna Gompa. Lokasinya sekitar 42 kilometer sebelum Leh. Sebelum Thiksey Monastery. Kami sempat mampir ke Thiksey karena lokasi Thiksey yang berada di pinggir jalan tepat. Yah, akibat kurang browsing juga kali ya, jadinya kami melewatkan Stakna. Beberapa hari setelah pulang dari India, saya follow IG salah satu rombongannya Jebraw Naya, Mas Febian Saktinegara (@febianns) lihat dia ngeposting Stakna Gompa, haduuh duh bagus bangeeet, kayak lukisan. So please, mampir ke Stakna Gompa ya.
Kami melewati desa Shey. Desa yang lumayan besar dan sepanjang jalan kami diiringi pohon-pohon poplar yang rindang. Daun-daunnya udah mulai menguning, dan sebagian udah gugur mengotori jalan.

This slideshow requires JavaScript.

Setelah ratusan kilometer kami jalani, akhirnya kami sampai di Leh, hampir gelap. Kami diturunkan oleh Gyal di kantor Ancient Tracks. Gyal lalu lanjut mengantarkan Rina dan Yosi ke hotelnya. Goodbye Rina and Yosi. Tuda!
Sedangkan kami, minta untuk turun di Ancient Tracks. Membayar sisa uang perjalanan tiga hari dua malam ini, juga nanyain kejelasan trip Tso Moriri yang kami buat. Udah berapa korban yang masuk ke jerat kami ya? Beneran deg degan, takut kalo cuma bertiga aja sama si young lady yang diceritain Kesang waktu saya telpon di Nubra Eco Lodge, atau bahkan malah si young lady ini membatalkan trip.
Pertama kami masuk, Kesang langsung menyambut kami, “Hello Akbar. How is your trip?” Aaah, Kesang. Thank you for making me go to Turtuk! Sedikit ngobrol tentang perjalanan kami, (dan tentu saja banyak cerita tentang Turtuk, karena Kesang sendiri belum pernah sampai sana). Lalu kami disuruh menunggu, si young lady yang katanya akan join trip kami di Tso Moriri akan datang juga ke Ancient Tracks, Clara.
Sekitar satu jam kami menunggu di Ancient Tracks, datang satu orang lelaki Ladakhi dan satu orang perempuan kulit putih. Kesang memperkenalkan kami, si laki-laki adalah driver kami untuk trip ke Tso Moriri besok, Stanzin, dan Clara. Yang setelah berkenalan, ternyata namanya Claire. Kami ngobrol singkat dengan Claire dan Stanzin. Claire ini traveler sejati, meninggalkan kerjaan kantorannya dan memutuskan untuk keliling dunia. Yes, I envy her. Dan dia kerja jarak jauh dengan laptopnya tanpa menjelaskan lebih detil apa yang dikerjakan. Kami ngobrol singkat tentang beberapa trip yang pernah dia jalani, dan saya juga bercerita tentang trip-trip saya. Baru kemudian tiba-tiba datang seorang laki-laki ke dalam kantor Ancient Tracks. Kalimat pertama yang dia tanyakan, “Errr.. Tso Moriri trip?” WAAA! Tso Moriri. Saya teriak kegirangan. “Welcome!” Dia adalah Fransisco. Dengan datangnya Frans, jadilah kami berempat membuat satu geng untuk mengexplore Ladakh lebih mblusuk lagi.
Malam itu, kami berencana akan menginap di Oriental Hotel. Salah satu penginapan yang banyak direkomendasikan orang-orang. Kami juga udah pesen tempat sebenernya, tapi karena sudah hari ketujuh perjalanan kami, dan sangu saya juga udah mulai menipis, kami memutuskan untuk kembali ke Silver Line, teringat kata-kata Dorje yang akan memberikan kami BIG DISCOUNT kalau balik lagi ke pelukan dia. Kami pinjam HP Kesang untuk menelpon Dorje, pas diangkat dia nggak inget sama nama saya, tapi dia inget tamunya dari Indonesia. “Sure, we’ll prepare your room!”
Sebelum ke Silver Line kami makan malam di salah satu tempat makan paling enak di Leh, Tenzin Dickey Tibetan Restaurant. Restaurant vegetarian yang menyajikan makanan khas Tibet. Kalo kamu ke Leh, pastikan mampir ke mari. Makanannya enak enak, porsinya banyak, harganya murah. Favorit saya adalah Special Thukpa dan minumnya tentu saja the Tibetan Herbal Tea. Tapi malam itu saya pesan mushroom soup. Believe me, puas!

This slideshow requires JavaScript.

Sebelum pulang kami ambil dulu laundryan kami di dekat Ancient Tracks dan mampir ke pasar di depan Ancient Tracks. Kami beli oleh-oleh gantungan kunci. Saya suka gantungan kuncinya, dari kayu yang diukir, “Ladakh” lalu dilapis sejenis vernis. Ujungnya dibuat simpul tali berwarna hitam sebelum dikaitkan dengan key ring-nya. Cuma satu kurangnya: belinya kurang banyak. Kami memperkirakan masih punya satu malem untuk muter-muter nyari oleh-oleh di malem terakhir. Yang ternyata gagal. Saya ceritakan di cerita besoknya aja ya.
Kami sampai di Silver Line dan kamar kami belum selesai dibersihkan. Kali ini bukan kamar yang kami pakai saat pertama kali sampai di Leh. Padahal kami suka kamar itu, di lantai paling atas, dapet view Himalaya, dan diterpa langsung angin pegunungan yang seger. Sedangkan kali ini kami diberikan kamar di lantai dua, tertutup dan pengap. They said this room was better, Well, turned out it wasn’t. Kalo mau nginap di Silver Line, minta lantai paling atas pokoknya ya.
Perut kenyang, propper shower,  dan saya siap untuk tidur. Saya nggak sabar menunggu esok hari, satu perjalanan yang saya tunggu-tunggu dan selalu saya khawatirin bisa batal. Saya percaya semua akan baik baik saja, all is well.
Click here to see all my stories from Kashmir to Ladakh

2 thoughts on “Kashmir to Ladakh: Day 7, “Aal Izz Well”

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.