Day 14 and 15 in Norway, “The Edge of Norge”

20 September 2018: Tromsø
Sebuah Kamis pagi yang sendu. Selepas meregangkan badan dan mengumpulkan tenaga untuk beranjak dari kasur, saya menatap ke luar jendela: hujan membasahi seluruh Tromsø, langit gelap menggantung dan menutup sebagian membuat Mount Fløya terlihat gelap samar-samar di seberang Tromsøysundet (Tromsø strait). Saya melihat si Adityo yang sudah terbangun tapi masih belum mau beranjak dari selimutnya. Udara dingin yang terasa berhembus dari tepi jendela memang membuat badan ini lebih ingin kembali nyungsep di balik selimut.
Saya coba buka sekali lagi itinerary yang saya catat di HP,
Day 14 – Tromsø: Explore Tromsø. Hiking to Mount Fløya(?)
Dengan cuaca seperti ini, dapat dipastikan ini adalah kali ketiga kami harus mencoret salah satu menu hiking yang udah kami persiapkan. Pertama saat di Reine, kami gagal hiking ke Reinebringen karena track sedang under construction, yang kedua saat di Henninsvær, gagal hiking ke Festvågtinden karena hujan deres dan gunung tertutup awan tebal. Dan sekarang, di tepian hari-hari kami di Norway, kami gagal hiking ke Mount Fløya karena hujan. Kalau sudah beradu dengan cuaca, tak perlu lah kami memaksa.

Kami masih punya lumayan banyak persediaan kalkun tepung siap goreng hasil belanja kemaren, bisa untuk makan berdua sampai nanti siang. Jadi berbekal microwave di Airbnb, kami sarapan dan nyiapin bekal buat makan siang.
Saya masih berharap kalau tiba-tiba hujan reda, mendung tersingkap, and the blue sky with a ray of light greets us. Tapi ya sudah, sampai hampir jam 10 dan langit masih mendung, hujan sudah lumayan reda, tapi dari kejauhan saya masih bisa melihat titik-titik yang tertangkap genangan air, membuat bayangan yang terpantul di permukaan genangan air menjadi kabur.
Dari pada berdiam diri aja di Airbnb, gegoleran nggak jelas, kami akhirnya memutuskan untuk nyiapin perlengkapan bertempur dan keluar rumah. Semua barang-barang sudah kami packing rapi, kami rapikan kamar yang kami pakai, meskipun meninggalkan setumpuk piring kotor di dapur rumah Espen. Ini nih yang bikin nggak enak hati, di policy Airbnb kami di Tromsø, host kami, Espen, tidak menyediakan tempat untuk cuci piring, jadi dia cuma minta piring dan gelas kotor ditaruh aja di special tray ujung dapur.
Dan kami berjalan menembus gerimis. Ke mana nih tujuannya? Lagi-lagi ke Storgata, jalan-jalan aja dan memang jadi tujuan yang nggak terlalu jauh, masih bisa diakses dengan jalan kaki.
Sampai jam 1 lebih kami keliling Storgata, dan baru memutuskan untuk balik ke Airbnb buat ambil barang-barang kami. Sore itu kami akan melanjutkan ke kota terakhir kami di Norway, Narvik, sebelum kami akan menghabiskan waktu 19 jam naik kereta api menuju Stockholm.
Perjalanan dari Tromsø menuju Narvik menggunakan bus 100, bus yang sama seperti saat kami meninggalkan Lofoten dan bergerak ke utara melewati Bjerkvik, Bardufoss, sampai Nordkjosbotn, hampir seminggu sebelumnya. Yang saya rasakan waktu itu, sudah seminggu dan rasanya baru kemaren. Ada perasaan berat saat benar-benar mengetahui kami sudah berada di ujung perjalanan Norway. Just one or two more steps, before we had to head back home.
Hujan semakin deras, kami memilih untuk menunggu di terminal building dari pada harus hujan-hujanan. Toh juga rasanya udah bosen juga keliling Tromsø. Bus kami masih berangkat jam 4 sore, dan sejak jam setengah dua kami sudah duduk manis di terminal. Terminal utamanya adalah  Tromsø Prostneset, bangunan besar di tepi fjord yang tak hanya melayani perjalanan dengan bus, tapi juga ferry ke beberapa rute seperti Lysnes di Senja Islands (rute yang awalnya mau kami pakai kalo explore Senja Islands) atau Harstad di Lofoten Islands.

Tiket bus yang kami beli seharga 431 NOK per orang, ini kalau diRupiahin sekitar 680 ribu Rupiah, dan jadi biaya bus paling mahal yang kami keluarin selama perjalanan di Norway. Harga segini untuk perjalanan dari Tromsø ke Narvik sejauh 232 kilometer dan akan kami tempuh selama empat jam.
Bus kami ternyata sudah nunggu di tempat pemberangkatan, dan udah hampir penuh. Kelamaan nunggu di waiting room sambil tidur-tiduran, nggak sadar kalo penumpang lain udah mulai naik ke bus. Saya meringis waktu melihat satu demi satu seat didudukin. Biasanya kami ambil seat paling depan biar bisa lihat pemandangan di depan juga, tapi kali ini kami kalah, kami dapat seat di dekat pintu belakang.
Saat kami akan naik bus, tebaklah siapa yang duduk di belakang setir: Mas Shaggy! Driver bus yang sempet ngobrol sama kami di Nordkjosbotn, saat perjalanan jauh ke utara hari ke 9 dan 10. Dia pun masih ingat dengan kami, ketawa renyah sebelum menyapa, “So you’re making a trip this far!”
Bus kami meninggalkan Tromsø, menuju Narvik. Sepanjang perjalanan saya SMSan dengan host Airbnb kami di Narvik, Dag Børge. Nanti kami bakal dijemput di Narvik busstation. Kenapa kami harus dijemput Dag? Karena ternyata lokasi Airbnb kami masih jauuuh dari pusat kota Narvik, masih harus berkendara 40 menitan. Dan setelah saya cek lokasi Airbnb dari google maps, memang sebenernya udah bukan di Narvik lagi. Kalo diinget-inget entah kenapa lah dulu kami bisa milih Airbnb di cabin si Dag.
Cabin? Yoii.
Setelah sampai di Narvik busstation, sekitar 15 menit kami nungguin Dag. Angin menderu-deru, kerasa sedikit hujan, kami mencoba berlindung di bilik bus station.
Dag seorang laki-laki ceking berusia sekitar 50an, dia bercerita pernah tinggal beberapa bulan di Surabaya karena urusan pekerjaan. Tapi itu duluuu, pertengahan tahun 90an. Sepanjang perjalanan dia banyak bercerita tentang pekerjaannya di pertambangan, pernah juga kerja di pelayaran. Dia cerita kalo Norway di akhir tahun itu sangat basah dan cuacanya susah ditebak, bahkan kalo sudah menjelang hari-hari yang selalu gelap, dia bakal cuti beberapa bulan dan liburan! Tahun lalu dia ke Spanyol. Dia cerita juga kalo cabin tempat kami mau nginap ini ada dua tipe, yang lumayan gede dan satu lagi yang kecil. Tentu saja cabin kami adalah yang kecil, karena setelah saya lihat daftar penginepan selama kami di Norway, Narvik inilah kota dengan tempat nginep kami yang paling murah, satu orangnya sekitar 320 ribu Rupiah. Cabin ini jarang ditempatin, dan biasanya Dag mampir ke sini kalo lagi mau main golf.
Empat puluh menit berkendara, berbelok belok dari jalan yang awalnya luas dan rame, lalu masuk ke jalan mulai sempit, meniti fjord dan hutan di gelap malam, akhirnya sampai juga. Sebuah cabin dengan dinding kayu berwarna coklat tua. Kami dipersilakan masuk.
Kami disambut sebuah ruangan yang bisa digunakan untuk ruang santai dengan berjejer mini kitchen di sisinya, lalu sebuah kamar dengan kasur king size. Tepat di sebelah pintu kamar, ada sebuah pintu menuju kamar mandi.
There is something I want to show you.” Dag mengajak kami masuk ke kamar mandi. Sekilas nggak ada bedanya dengan kamar mandi yang biasa saya temui selama perjalanan di Norway.
We use dry toilet.” Terasa atmosfer janggal memenuhi seisi ruang kamar mandi. Saya mencoba tidak menunjukan respon apapun, meskipun rasanya susah untuk menahan senyum di ujung bibir. Saya ngerasa tidak suka dengan apa yang bakal Dag sampaikan.
Okaay..” Jawab saya ringkas.
So we don’t use water to flush.”
Okaay..” Saya masih mencoba merespon dengan normal.
Dan Dag lanjut menjelaskan, “Gini bro, kalo lu pada udah selesai boker,” Dag mengangkat tutup closet, dan wew! Tipis-tipis aroma busuk mulai munyeruak. Senyum simpul saya rasa-rasa udah nggak tertahan lagi. Masih mencoba sok serius mencerna kata per kata yang Dag sampaikan. “Lu siram aja nih pake serbuk kompos ini nih.” Tanpa menutup tutup closet, kali ini tak jauh dari WC ada semacam ember yang saat dibuka terlihat serbuk berwarna coklat tua. “Jadi gampang tuh, tinggal lu siram aja pake kompos ini. Wus wus wus.. nggak perlu disiram pake air, dah beres.” Dag sambil memperagakan gaya: sendok sendok kompos – tuang tuang ke closet, beberapa kali dia peragakan. Sendok sendok kompos – tuang tuang ke closet~
Okaay..” Kembali saya menjawab singkat. Si Adityo udah nggak bisa berkata-kata karena pasti udah setengah mati nahan ketawa.
Dan pembahasan pertama kami saat Dag meninggalkan kami adalah: “Jangan pernah lu buka itu WC bro!”
Dag tidak tinggal di dekat sini, rumahnya ada di kota Narvik. (Did I already mention that our Airbnb was actually not in Narvik anymore? I think I did.) Jadi dia meninggalkan kami berdua di cabinnya. Situasi sekitar cabin benar-benar gelap, hanya pepohonan, dan nggak satupun saya lihat lampu rumah. Karena rumah penduduk yang paling dekat masih sekitar sekilo lebih dari cabin kami.
Mungkin kalau jalan-jalan di sekitar cabin besok pagi seru juga nih. Kereta api kami dari Narvik bakal berangkat jam 15.15, check out dari cabin ini bisa jam 12 siang, masih cukup laah pagi jalan-jalan sekitar cabin keknya seru.
And tomorrow I have to pick you up at 8.30. Okay?”
Saya terdiam.
Jadi karena cabin Dag ini jauh, dia memang menawarkan antar jemput, karena transportasi umum sangat jarang, ditambah harus berjalan berkilo-kilo dulu untuk sampai ke bus stop terdekat. Biasanya Dag bisa jemput sesuai tamunya mau check out jam berapa. Tapi karena besok pagi Dag ada kerjaan, jadi mau tak mau dia bisa jemput kami jam 8.30. Tawaran jemputan dia beneran take it or leave it.
Dan saya pun kembali ber, “Okaay..
Malam itu di Narvik, di cabin di tengah hutan, adalah malam terakhir kami berada di bawah langit Arctic. Menjadi kesempatan terakhir kami, dua orang yang datang ke Norwegia dari negara tropis yang sangat jauh, untuk menyaksikan Northern Lights. Dan malam itu, di gelap malam kami tak menemukan satu titik bintang pun, justru saat kami menatap lama ke langit, dibalas dengan titik-titik air ke muka kami.
Sampai jumpa Northern Lights, semoga bisa bertemu denganmu lagi di petualangan-petualangan yang belum kurencanakan.
Northern Lights in Djupvik. Photo by Adityo Prabowo
21 September 2018: Narvik
Selamat pagi! Dan hari terakhir kami di Norway, masih saja langit tertutup mendung. Kami sarapan dengan spaghetti kaleng yang kami beli di mini market Djupvik. Bahkan kami baru ingat kalo masih punya satu kaleng makanan ini, tertimbun jauh di dalam duffel bag.
Saat packing pun kerasa males banget, terlalu membayangkan perjalanan yang segera berakhir, meninggalkan alam Norway yang liar, yang gunung-gunung dan fjordnya beradu membuat rindu.
Jam setengah sembilan kurang mobil sedan Dag datang menepi, saya melambaikan tangan menyapa, dia membalas tersenyum. “Are you ready?
Yeah, sure. Let me take my bags.”
Update 15 Oktober 2019:
Karena ada beberapa temen yang penasaran dengan penampakan cabin punya Dag, nemulah beberapa foto cabin milik Dag hasil ngublek ublek gallery foto di HP yang udah terlanjur di backup!

This slideshow requires JavaScript.

Kami minta diantar sampai stasiun Narvik, meskipun jadwal kereta api kami masih lama, kami memilih stasiun karena berharap ada locker yang bisa kami pake, karena nggak mungkin kami keliling Narvik dengan memanggul ransel-ransel besar dan menarik-narik tas duffel, meskipun tas duffel kini terasa jauh lebih enteng. Kami nggak belanja banyak lagi, sudah mulai mengosongkan tas duffel agar saat pulang nanti tas duffel dapat kami lipat aja.
Dan tentu saja lockernya pun ada! Ada dua jenis ukuran, besar dan kecil. Yang besar seharga 75 NOK, dan yang kecil seharga 30 NOK, pembayarannya hanya bisa pake uang coin. Yang ukuran kecil bisa muat dua ransel besar kami dan tas duffel pun masih bisa masuk. Harga segini untuk pemakaian 24 jam. Mayan banget.
Ini foto saya dapet dari blog rail.cc. Kalo saya sih seperti biasa, sering kelupaan moto. Diklik aja gambarnya kalo mau mampir.
Hal kedua yang harus saya lakukan di Narvik stasjon: boker. Yuhu, sudah menahan hasrat ini sejak di cabin tengah hutannya Dag, dan memilih buat buang hajat di stasiun dari pada di dry toiletnya si Dag. Dua minggu lebih di Norway dan akhirnya merasakan toilet berbayarnya. Ada mesin EDC nempel di sebelah pintu yang akan terbuka setelah kita melakukan pembayaran, bisa pake debit atau credit card. Biayanya 10 NOK, sekitar 18 ribu. Kalo di Indonesia bisa bolak balik make toilet umum sampe sembilan kali.
Sekali lagi kami memastikan mana barang bawaan yang perlu kami tinggal dan mana yang mau kami bawa keliling Narvik, lalu memastikan sudah memakai pakaian tempur waterproof, dan kami segera menembus gerimis.
Ada beberapa hal yang sebenernya bisa dilakukan di Narvik, yang tentunya menurut saya menarik: Salah satunya adalah meniti jalur kereta Ofotbanen dari Narvik dan Navvy Road menuju Kiruna di Sweden. Serunya di perjalanan ini kita bakal naik kereta klasik yang dibangun awal tahun 1900an, dan bakal dijamu sama orang-orang lokal, Sami People. Kenapa nggak jadi, karena biayanya per orang sekitar 900 NOK! Sekitar satu setengah juta Rupiah. Hehehehe. Yang penasaran sama Ofotbanen ini, bisa mampir ke website visitnarvik di sini.
Ada juga Polar Park, kebun binatang yang isinya hewan-hewan khas Arctic. Atau naik cable car ‘Narvikfjellet Cable Car’ dengan biaya 295 per orang. Dan dari semua pilihan yang lumayan menarik ini, kami akhirnya memilih jalan-jalan aja di sekitaran pusat kota Narvik. Ada mall nggak jauh dari stasiun, kami sempat mampir karena hujan tiba-tiba deras. Lihat-lihat aja karena isinya juga nggak jauh beda dengan mall di Indonesia.

This slideshow requires JavaScript.

Cukup lama kami jalan-jalan keliling Narvik, dan hujan juga awet banget nemenin kami. Pasti Norway sedih mau kami tinggal. Sampe jam setengah tiga akhirnya kami kembali ke stasiun. Kereta SJ Train yang bakal bawa kami menuju Stockholm sudah stand by di jalurnya.
Narvik Station
Tentang perjalanan kami di kereta api ini, sudah saya buat reviewnya ya! Bisa dibaca di sini tentang review perjalanan 19 jam menembus Sweden dengan SJ Trains!
To Stockholm!
Pernahkan kamu saat ngetrip, merasa ada sedikit atau banyak penyesalan? Sebetulnya penyesalan dalam suatu perjalanan itu hal yang tidak perlu. Hal yang sia-sia. Karena seperti apapun perjalanannya, ada banyak pengalaman yang bisa kita dapet. Ada hal-hal baru yang bisa kita jadikan kenangan. Tapi, saya mau jujur. Di setiap perjalanan selalu muncul kata-kata, “Ah, tau gitu.” atau “Wah, kalo gini sebenernya bisa…” Dan itu hal yang wajar. Bahkan saya sering bikin hashtag #AkibatKurangBrowsing!

Saat kereta sudah berjalan, saya  melongok ke luar jendela. Dua hari dua malam di Tromsø dan Narvik membuat bayangan semu di pantulan jendela saat saya memandangi gunung-danau-dan fjord yang tak kunjung habis. Dua hari dua malam yang terasa seperti sedang minum kopi di suatu cafe yang saya harap punya espresso yang nendang. Tapi saat saya sudah excited untuk ngicip, espresso di lidah terasa kurang pahit, terasa kurang mengena. Lalu setelah pulang dari cafe itu, sepanjang jalan hanya berpikir, “Mending ke cafe yang di sana aja kali ya.”
Dari tepi jendela saya berpikir, dua hari dua malam sebetulnya bisa saya habiskan saat di Djupvik untuk terus bergerak ke utara. Atau tentu saja yang sampai sekarang mengusik pikiran saya, “Dua hari dua malam, bisa untuk mampir ke Trolltunga sebetulnya.”

I still remember the first time I arrived in Norway. And for more than two weeks we explored the wilderness, the fjords, hiked the mountains, jumped into the freezing lake, staring at the skies, going up and up north trying to see and feel everything I never knew before. From a crowded city called Bergen to a quiet and beautiful Reine. From touristy Tromsø to a calm village we know as Jægervatnet.

This slideshow requires JavaScript.

I could see Norway from google, or Instagram. But it’s just a little peeping from the peephole. And when I decided to visit Norway, it’s like the door became wide open. I could see the whole Norway from the height of its mountains, the depth of the forests, the cold of the lakes, to Norwegian most exquisite fjords.

This slideshow requires JavaScript.

I gazed in awe at Autumn in Norway. The falling leaves, the golden grass, the snow capped mountains, the wind that makes me shiver. Oh and the night! The dark night calls the northern light upon my head. Sweeping the starry skies with its beautiful dance.

We met a lot of strangers. Some just said hi, some we got to know each other, some we even didn’t know their names, some suddenly shared laughs, some had nice conversations, some pulled over when we tried to hitchhike, and some turned into friends.

This slideshow requires JavaScript.

Now I’m standing on the edge of Norway. I always imagine this world is like a place with thousands of doors. Some doors I’ve opened, and the rest are remain closed. Norway is a door I just opened and now I’m ready to open another door, to see more, to feel more, and to explore more. This time is a door to Stockholm, Sweden.
Come jump in this train! Let me take you to Stockholm.
Click here to read all my stories in Norway.

4 thoughts on “Day 14 and 15 in Norway, “The Edge of Norge”

  1. Ahaha dasar mas Bardiq, kebiasaan nih lupa foto, padahal penasaran banget sama kabinnya Dag dan dry toilet itu. Mungkin karena mas Bardiq menjalani trip dengan lebih santai ya. Kalau aku sih, setiap saat di negara baru selalu berpikir, “Wah, ini bagus buat konten!”

    Betul, jika cuaca sudah berbicara, maka tak ada gunanya kita memaksa. Itulah mengapa di setiap perjalanan aku usahakan lower the expectation dan menanamkan prinsip, “Bisa menjejakkan kaki dan kembali dengan selamat aja udah seneng banget!” Karena memang intinya bisa dapet pengalaman baru aja, sih.

    Ada beberapa penyesalan di dalam trip yang sempat kualami. Salah satunya saat di Penang, Malaysia, aku mengabaikan kesempatan bertemu dengan teman yang kuliah di sana. Sebetulnya waktunya masih cukup, namun saat itu travelmate-ku berpikir kami sebaiknya segera ke terminal bus untuk kembali ke KL.

    Terima kasih untuk seri cerita perjalanan di Norwegia yang menarik, mas Bardiq! Ditunggu seri cerita perjalanan berikutnya 😀
    Rencana mau ke mana nih?

    Liked by 1 person

    1. Perasaanku sempet moto itu cabin si Dag lho Mas. Tapi kayaknya di HP lama (sombong, sekarang HP baru). Jadi foto-foto udah dibackup di laptop, nanti coba aku cari-cari lagi di laptop ya Mas. Ehehehehehe.
      Nah itu Mas, kadang aku kepikiran konten di tulisan justru pas udah pulang, pas ngedraft terus kepikiran, “Eh, sempet moto ini nggak sih?” Mohon maklum~ 😀

      Luar biasa prinsipnya Mas, aku masih sering nggerutu nggak jelas kalo ada yang disesalin. Tapi ya lama-lama dijadiin bahan joke aja sih sama temen jalannya. Apalagi kalo nemu postingan orang lain di IG, rame pasti. Wkwkwkwk.

      Apalagi kalo pas udah nyampe KL, dan waktunya sisa pasti makin kepikiran ya Mas? “Lah, masih jam segini. Masih bisa sebenernya tadi ketemu walaupun cuman bentar.” Kadang aku nanggepinnya kalo memang belum rezekinya Mas. Yah, biar ayem aja.

      Makasih juga ya Mas Nugi. Aku terharu hampir setiap postingan cerita di Norway nggak cuma baca, tapi nyempetin untuk komen. Sekali lagi makasih Mas!
      Rencana trip berikutnya masih diatur-atur ini Mas. Belum mateng, minta doanya biar lancar ya.

      Keep traveling Mas Nug!

      Liked by 1 person

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.