Day 0 in Norway, “Twenty Hours of Daylight”

5 September 2018: Semarang, Singapore
Packing untuk trip kali ini tak seperti sebelum-sebelumnya. Biasanya, saya mengandalkan packing di malam sebelum berangkat, dan tak begitu meninggalkan kamar dengan kondisi yang acak-acakan. Empat hari sebelum tanggal keberangkatan, paket kiriman dari Adityo sudah datang. Isinya tas duffle warna abu-abu merk Matador Transit 16 L dan sebuah tripod.
Kenapa si kawan ini ngirim barang-barang ini ke saya? Untuk trip kali ini, kami sengaja membeli bagasi. Sebuah kebiasaan yang nggak pernah saya lakukan selama traveling, karena menurut saya menunggu bagasi kita di conveyor belt itu sangat wasting time. Tapi mau gimana lagi, sudah dibilang kalau trip kali ini berbeda. Pada perjalanan-perjalanan sebelumnya, saya tak pernah mau untuk beli bagasi. Selain menghemat biaya, juga saya merasa cukup ringkas dan tak ribet. Apalagi kalau harus menarik koper.
Begitu kiriman dari kawan saya dari Bandar Lampung ini sampai, malam-malam setelahnya saya banyak habiskan di Hypermart atau Giant. Dengan bermodalkan telponan, kami belanja banyak ransum untuk kebutuhan perjalanan  20 hari di negara yang sudah hampir mepet ke Kutub Utara: Norway. Semua bahan makanan yang kami beli sudah diperhitungkan agar tidak terlalu banyak, cukup untuk memenuhi tas duffle dan sepertinya bisa kami andalkan untuk bertahan pada sepuluh hari pertama.
Dua malam sudah saya habiskan untuk nyicil packing. Termasuk Rendang Kaleng dan Gudeg Kaleng yang saya beli secara online, sudah mulai saya tata di dalam tas duffle itu. Mulai penuh dan sesak, berikut berbungkus-bungkus Mie Instant turut saya jejalkan. Bahkan saya sempatkan juga membeli spons di salah satu toko perabotan rumah saat saya pulang ke Magelang. Nama tokonya “Toko 99”, cukup melegenda bagi orang Magelang yang sedang cari barang-barang seperti bahan kain, kardus, plastik. Saya ingat saat saya SMP dulu, juga sempat mampir ke toko ini saat mau membuat tugas Mading untuk membeli gabus setebal satu senti.
Spons ini saya pakai untuk melapisi sekeliling Tas Duffle, karena tas ini bahannya sangat tipis. Tapi jangan salah, bahannya sangat kuat. Saya cuma khawatir kalau mana tau tas ini dilempar-lempar oleh petugas kargo, isinya bakal pecah dan remuk.
Hari Rabu pagi itu, saya masih mondar-mandir ke Eiger Store buat beli headlamp, masih mampir ke swalayan buat nyari minyak goreng, nyari tisu basah. Bahkan mampir ke apotek buat beli vitamin dan norit juga baru saya sempatkan pagi itu. Alhasil, saat beres sholat dzuhur jam satu siang, kamar saya luar biasa berantakan.
Pesawat saya baru akan meninggalkan kota Semarang pada pukul 4 sore, dengan tujuan pertama: Singapore. Tapi jam 13.00, saya sudah siap. Sekali lagi saya perhatikan ‘to bring list’. Memastikan semua daftar sudah tercentang. Agar kejadian packing yang buruk saat perjalanan ke Ladakh tidak terulang lagi. Kalo kamu mau melihat barang-barang yang ada di ‘to bring list’ saya, kamu bisa baca-baca di tulian saya tentang barang-barang yang perlu dibawa untuk backpackeran ke Norway.
Saya sampai di bandara Ahmad Yani jam 13.20, bahkan counter check in untuk penerbangan AirAsia QZ 662 tujuan Changi Airport pun belum dibuka. Saya menyempatkan ke wrapping service, agar tas duffle yang dari tadi saya tenteng nggak sobek dan bekal makanan kami nggak berhamburan.
Saat check in baggage, tas duffle ini ditimbang: delapan kilo lebih. Masih punya jatah 12 kilo untuk saya masukin ke bagasi. Sempet kepikiran kalau tas ransel ikut saya masukan ke bagasi, tapi saya urungkan niat, karena nggak mau terpisah dengan barang-barang penting yang sudah saya persiapkan di tas ransel ini.
Masih dua jam sebelum jadwal keberangkatan, counter imigrasi masih ditutup. Belum ada petugas yang berjaga. Bandara Ahmad Yani memang bisa saya bilang masih sepi rute penerbangan internasional. Dulu, untuk menghindari lama menunggu antrean imigasi dan pengecekan keamanan saat masih bolak-balik dari bandara Kualanamu, saya lebih memilih menunggu lama di waiting room, dari pada nggak tenang.
Kini saya duduk santai di Concordia Lounge yang masuknya hasil nuker point dari Credit Card, menunggu pesawat saya yang akan menerbangkan saya ke Singapore.
Tanpa delay, pesawat saya landing di Terminal 4 Changi jam 19.15an. Saya cek WhatsApp hasil koneksi free WiFi bandara, kalau Adityo yang terbang dari Jakarta udah nungguin di departure Terminal 4. Setelah urusan Immigration, Baggage dan Customs beres, saya sepakat dengan Adityo untuk ketemu di deket stasiun MRT. Sebenernya saya masih bingung juga, dan belum tau stasiun MRT ada di Terminal berapa. Saya ngikutin petunjuk aja tuh, dan naik shuttle sampe Terminal 2.
Stasiun MRT ada di lantai 1 (kalo nggak salah), dan saya ada di lantai 2. Sesaat setelah meninggalkan lantai 2, sinyal WiFi ilang. Saya cuma berharap si Adityo ini langsung dateng ke loket MRT. Saya nggak berencana ambil SGD. Biar si Adityo aja, toh cuma untuk makan. Kami memang kebiasaan selalu pake sistem bendahara tiap traveling. Jadi patungan dulu berapa:berapa, nanti bendahara yang pegang uang. Bendaharanya bergantian, bisa dua hari sekali, tiga hari, atau malah sehari sekali. Jadi nggak ribet ngebagi tagihan setiap kali bayar-bayar. Saat di Singapore, si Adityo masih punya SGD, sisa dia nonton Coldplay keknya (sombong lu Dit).
Dan sudah 20 menit saya nungguin di depan loket MRT, si Adityo nggak dateng-dateng juga. Terpaksa saya balik lagi ke lantai 2, buat nyari sinyal WiFi doang sebenernya. Seletelah connected, saya WhatsAppan sama si Adityo. Saya bilang saya di depan lift lantai 2, dia nanya “Di Keberangkatan?” Entah kenapa di otak saya Keberangkatan itu Arrival. Jadi yaudah saya jawab aja, “Iya”. Padahal dia juga ngerasa di Keberangkatan. Lumayan lama kami ngotot-ngototan sama-sama di depan lift Keberangkatan tapi ya nggak ketemu. Sampai akhirnya saya sadar saya di lantai Kedatangan. Ehehehehehe.
Kami sempet keliling Terminal 2 buat nyari makan malem, tapi nggak ada yang murah Pak. Akhirnya kami balik lagi ke Terminal 4 karena ada food court yang harganya lebih ramah. Beberapa minggu sebelum keberangkatan ke Singapore, ada rasa pingin banget buat makan Nasi Ayam Hainan. Sampe nanya-nanya sama kenalan di Singapore tentang Nasi Ayam Hainan Halal termantab versi dia. Pak Dol, temen saya ini, kasih rekomendasi Evertop Chicken Rice di daerah Clementi. Sementara Airbnb kami ada di Rivervale Street. Yang kalo dirunut di Google Maps sangat berjauhan. Ah, jangankan mau mampir ke Clementi dulu nyari makan malem, dari airport sampai ke Airbnb kami aja, kami masih bingung. Hahahaha.
Echo, host kami. Lebih menyarankan buat naik bus aja, sedangkan kami lebih familiar dengan MRT. Setelah menimang-nimang antara bus atau MRT, akhirnya kami memutuskan naik Grab. Cuma 13 SGD berdua dan hanya 20 menit langsung sampai di jalan depan Airbnb kami persis.
Malam itu akhirnya saya kesampaian sih makan Hainan Chicken Rice di food court Terminal 4 Changi Airport, tapi nggak sesuai harapan. Yah, belum rejeki.
Aibnb kami berupa apartment, tepatnya di lantai 4. Dengan lift tua yang hanya muat untuk empat orang, Airbnb kami tepat berada di samping pintu lift. Pintu depannya masih terbuka, namun dipasang teralis. Mungkin masih menunggu kami karena kami sudah bilang akan sampai di tempat Echo sekitar jam 10 malam.
Saya menekan bel. Beberapa saat menunggu lalu datang seorang wanita membukakan pintu. Dia menyapa kami. “Hello, Echo. I’m sorry for being this late,” saya membalas. Kami dipersilakan masuk. Apartmentnya luas, masih terdapat ruang santai dengan TV besar sebelum terdapat pintu-pintu yang sepertinya kamar.
Kamar kami ada di ujung sebelah lorong setelah ruang santai. Echo mengantar kami ke kamar dan memastikan kalau saya mendapatkan semua hal yang saya butuhkan: AC, handuk, selimut, colokan. Baru kemudian mengantar saya ke dapur dan kamar mandi. Saya nggak sempat nanya untuk penggunaan dapur, karena kami memang nggak berniat untuk masak apa-apa. Cuma numpang tidur, sebelum besok pagi harus segera kembali ke airport.
Dan ternyata, Mbak Mbak yang dari tadi nemenin kami ini bukan Echo. Dia ART produk Pekalongan. Ehehehehe. Ngobrol banyak pas saya lagi ngambil air minum. Justru malah kami nggak sempet ketemu sama Echo.
6 September 2018: Singapore, London, Bergen
Adzan subuh di Singapore masih jam 05.45, dan kami sudah siap untuk meninggalkan Airbnb kami jam 06.00. Jalanan masih gelap, sepi. Dan kami menggunakan Grab lagi. Jam 06.30 kami sampai di terminal keberangkatan sementara pesawat kami dari Singapore menuju London untuk transit masih jam 09.10.
Karena kami membeli bagasi 20 kilo di penerbangan menuju Bergen, kami coba timbang tas kami. Rencana sih 20 kilo bagasi mau kita maksimalkan, jadi nggak perlu manggul tas terlalu banyak. Tas jinjing Matador kami beratnya 8 kilo lebih. Tas ransel si Adityo 7 kiloan, dan tas ransel saya 9 kiloan. Saya kaget juga ternyata tas ransel saya sampe 9 kilo. Padahal jatah tas yang masuk ke cabin AirAsia untuk pesawat saya dari Semarang ke Singapore Cuma 7 kilo. Mungkin karena ukuran tas ransel saya nggak begitu besar, jadi nggak sampai dicurigai.
Tapi saat kami coba check in baggage satu tas duffle ditambah ransel si Adityo, ditolak oleh petugas Norwegian di counter check in. Jadi jatah 20 kilo bagasi kami dihitung per luggage. Ahahaha.
Pagi itu kami sarapan McD. Tak hanya sarapan, karena kami nggak beli on board meal, jadi kami harus bawa bekal untuk dua kali makan. Perjalanan dari Singapore ke London akan menempuh waktu 15 jam. LIMA BELAS JAM! Karena tahu akan susah menghitung jam riil saat di perjalanan nanti, saya sampai harus menghitung jam makan setiap enam jam. Jadi, saat pesawat kami take off jam 09 lebih, maka enam jam dari saat itu saya baru memperbolehkan kami buat makan bekal pertama. Kemudian enam jam setelahnya, kami baru membuka bekal yang kedua. Si Adityo ini orangnya gampang laper, dan saya gampang tergoda. Jadi kalo sekali saya lemah dan memperbolehkan Adityo buat buka bekal sebelum waktu yang ditentukan, sudah dapat dipastikan kalo saya juga akan tergoda dan ikutan membuka bekal kami.
Jangan lupa juga untuk mengisi botol air minum, karena saya sudah pasti nggak mau beli makan ataupun minum di pesawat. Pasti mahilnya.
Urusan imigrasi beres, kami segera menuju waiting room dan bersiap untuk boarding. Ohiya, saya baru tahu kalo sekarang saat meninggalkan Singapore, passport kita nggak perlu dicop.
Ready to board.
Lima belas jam perjalanan dari Singapore menuju London adalah lima belas jam terbosan yang pernah saya alami. Karena saya nggak bisa tidur. Mana duduk di tengah, nggak bisa nyender. Saya selalu ngiri sama orang-orang pelor yang saat perjalanan jauh gini, baru nggak diajak ngobrol 15 menit aja udah bablas merem. Lah, aku? Kamu tinggalkan seorang diri? Termasuk si Adityo nih. Dulu jaman kuliah, kami sama-sama partner susah tidur. Tapi setelah enam tahun nggak jadi satu, entah berobat ke hypnotherapist mana si Adityo ini sekarang jadi gampang banget tidur.
Dalam lima belas jam perjalanan ini, nggak tau udah berapa film yang saya tonton. Untungnya, Norwegian Air dilengkapi dengan in flight entertainment. Jadi, karena nggak banyak film yang saya copy di flash disk buat nonton di tab, ya gantian nonton di monitor pesawat. Kadang main game semacam Angry Birds yang sampai tamat dua kali. Mata saya sampe pedes nih, ngeliatin monitor mulu. Selain film dan game, juga dilengkapi dengan informasi tentang posisi pesawat terkini. Jadi sampe bosen ngelietin pesawat yang bergerak dikit-dikit.

Dan, akhirnya pesawat mulai persiapan untuk mendarat. Lima belas jam perjalanan dan kondisi di luar masih terang. Saya bisa lihat hamparan hijau yang ditumbuhi pepohonan di luar jendela. Well, Kalo saya bilang berharap bisa lihat Big Ben dari atas pesawat, kamu ketawa nggak?
P.S.: Apakah saya membutuhkan Visa Transit UK? Ini salah satu pembahasan yang membuat saya banyak browsing. Ada tools dari pemerintah UK nih, berupa beberapa pertanyaan yang dari jawaban-jawaban kita akan ketahuan kalo kita butuh atau tidak Visa Transit UK. Tools ini bisa diakses melalui website https://www.gov.uk/check-uk-visa. Setiap traveler tentu punya case yang berbeda-beda. Apakah dia ganti airlines, apakah dia ganti terminal, apakah penerbangan selanjutnya sampai lebih dari 12 jam. Nah, untuk case saya: Transit di UK untuk menuju negara lain dengan kurun waktu hampir lima jam, warga negara Indonesia, sudah check in, boarding pass penerbangan selanjutnya juga sudah di tangan, tidak membutuhkan check in ulang bagasi, tidak perlu melewati border (immigration), tidak meninggalkan gedung terminal ataupun bandara, dan pesawat saya berikutnya masih pada tanggal yang sama. Hasilnya adalah saya tidak memerlukan Visa Transit UK.
Proses pemeriksaan di UK tidak ribet, bahkan sedang sepi dan nggak pakai antre. Selesai dari pemeriksaan, kami cari kursi panjang dan tidur-tiduran karena belum bisa masuk ke waiting room. Dan taukah kamu? Saya tetep nggak bisa tidur. 😦
Hobi si Adityo nih. Ngumpulin sticker snapchat.
Pesawat kami meninggalkan London jam 9 malam. Akhirnya sudah mulai gelap, walaupun di ujung barat masih biru terang. Perjalanan dari London menuju Bergen menempuh waktu tepat dua jam. Jam 12 kurang pesawat kami landing di Bergen! Finaaaaallllly! Total 19 jam perjalanan pesawat dari Semarang-Singapore-London-dan Bergen!
Bergen!
Penumpangnya nggak terlalu ramai, dan kalo saya nguping dari pembicaraan mereka, nggak ada yang berbahasa Inggris. Antrean di imigrasi pun nggak terlalu panjang. Saat dokumen saya diperiksa, saya diinterogasi banyak banget. Nggak seperti penumpang sebelum saya. Passport saya diteliti per lembar, ditanya mau ke mana aja, berapa hari, sampe dites tanggal berapa saya akan meninggalkan wilayah Schengen, lewat mana. Rinci banget. Mungkin nggak banyak kali ya turis Indonesia masuk ke wilayah Schengen lewat Bergen.
Beres urusan imigrasi dan customs, kini saatnya kami mencari kendaraan untuk sampai di Airbnb kami. Menurut Fredrik, host Airbnb kami, cara paling mudah adalah naik Bybanen, hanya 7 minutes walk katanya. Walaupun si Fredrik ini nggak jelas bilang turun di stasiun mana. Kami cuma bermodalkan googling dan mereka-reka apa itu Bybanen, dan di mana pemberhentian terdekat dari lokasi Fredrik. Bybanen adalah LRT, dan pemberhentian terdekatnya adalah Nygård.
Setelah ngambil duit di ATM, kami segera menuju ticket vending machine Bybanen yang berada tepat di dekat pintu keluar. Saat kami asik ngotak-atik beli tiket LRT, kami bisa melihat LRT yang dari tadi berhenti sudah berjalan. Jadi ya sudah, nggak usah buru-buru. Ikut yang keberangkatan setelahnya aja.
Harga tiket LRT dari airport sampe Nygård Bybanestopp adalah 37 NOK atau sekitar 67 ribu Rupiah. Murah! Kirain bakalan mahal, mengingat airport train dari Medan ke Kualanamu aja sampe 100 ribu. Karena belum ada LRT yang kelihatan, kami sempat foto-foto dulu di sekitaran Bybanestopp.
Difotoin Pak Adityo.
Baru sekitar 15 menit kami duduk-duduk di tepi rel, ada petugas yang dateng nyamperin kami. Nanya kami mau ke mana. Kayaknya nggak saya ceritain pun kamu udah bisa nebak ke mana arah cerita saya deh.
Jadi, LRT yang saya ceritain berjalan pas kami beli tiket LRT, itu adalah LRT terakhir. Ahahahaha. Lalu Bapak ini cerita kalo masih ada bus dengan pemberhentian di Storsenter, yang paling dekat dengan Airbnb kami. Kami segera bergegas ke bus stop yang dimaksud, dan biayanya kali ini tak seperti LRT tadi, ngepruk. Per tiket 115 NOK, atau sekitar 210 ribu Rupiah. Tiga kali lipat dari harga tiket Bybanen.
Kami sampai di Storsenter sekitar 30 menit berkendara. Dinginnya udara Bergen yang terasa sehabis hujan menyapa kami. Bahkan sekali-kali masih terasa gerimis. Bergen si kota hujan menyambut kami dengan udara dingin dan lembab sehabis hujan.
Tangan kanan saya menjinjing tas duffle yang sisa tali yang satu ditenteng Adityo. Sementara tangan kiri saya terus menatap maps.me, untuk lokasi rumah Fredrik sudah saya save. Kami meniti jalanan Bergen yang basah, dan lokasi rumah Fredrik yang membuat bagian dalam jaket saya basah terkena keringat. Nanjak teruuuus.
Agak lama kami bolak-balik karena gelap membuat kami kesusahan mengidentifikasi rumah Fredrik yang berwana biru muda pucat. Saat kami sampai, ternyata Fredrik juga tinggal di sebuah apartment dengan lokasi unit paling atas dan kami  harus setengah menyeret tas duffle karena kami harus meniti puluhan anak tangga melingkar yang sempit.
Pintu kami buka, sudah jam 1 lewat dan kami mencoba untuk tak membuat satu suara pun. Saat kami masuk, seorang lelaki botak dengan jenggot tebal menyapa kami. “You must be tired.” Haaha, saya cuma membalas ketawa singkat. Setelah bersalaman, dia menawari kami minum.
Ah, just water. That would be great.” Ya kali gw minta susu anget. Dan Fredrik mengambil dua gelas dan mengisikan air putih dari keran di dapur. Kami ngobrol singkat sambil Fredrik menunjukkan kamar kami beserta kamar mandi tepat di sebelahnya. Dia tahu kami sangat kecapekan, jadi segera meninggalkan kami menuju kamarnya.
Hari itu, Kamis 6 September 2018, saya mengalami hari terpanjang yang pernah saya alami, literally. Nggak Cuma 24 jam, tapi 32 jam, dengan 20 jamnya terus terusan siang hari.
Ah, bed would be great.
Click here to read all my stories in Norway.

16 thoughts on “Day 0 in Norway, “Twenty Hours of Daylight”

  1. Sekarang mau nggak mau aku harus beli bagasi karena bawa tripod, mas. Selain itu, berat backpack-ku biasanya berkisar 10 kg karena di dalamnya (selain tripod) ada kamera DSLR sama laptop 15 inch. Jadi kalo fasilitas dari maskapainya cuma bagasi kabin 7 kg, bisa dipastikan aku harus beli bagasi.

    Seru membaca cerita packing dan persiapanmu menuju Bergen, mas!

    Mas, rute bus di Singapura bisa dicaritahu via Google Maps. Akurat banget! Dari nomor bus yang diambil, dari halte mana, berapa pemberhentian, transit (jika perlu), sampai halte tujuan. Kalo menurutku di setiap terminal Changi Airport ada yang murah, mas. Waktu itu aku beli nasi lemak seharga 5.9 SGD di Crave, dapet beberapa potong ayam crispy, telur rebus, sama teri kacang.

    Jadi Norwegian ini maskapai full service tapi bisa memilih nggak beli on-board meal, ya? Kalo aku sih kayaknya bakal memilih tetap beli on-board meal (sekalian buat review maskapai). Apalagi aku anaknya, bukan gampang laper, tapi bosenan. Makan adalah salah satu cara untuk mengusir kebosanan, hahaha. Tos, mas! Aku nggak bisa tidur di perjalanan. Tapi nggak tau ya kalo perjalanan lebih dari 8 jam apakah bisa tidur nyenyak apa enggak.

    Adityo ini seumuran sama aku ya kayaknya, wkwkwk

    Liked by 1 person

    1. Iyaya, kenapa la di Indonesia tripod harus masuk bagasi. Padahal kalo bisa masuk ransel, kan nggak ada masalah.

      Siap Mas. Nanti kalo ada kesempatan ke Singapore lagi, dicoba keliling pake bus. Soalnya selama ini nggak pernah naik bus dan selalu ngandelin MRT. Wkwkwkwk.

      Norwegian LCC kok Mas. Kami beli on board meal di penerbangan pulangnya Mas. Karena mahal, paket makan (dapet dua kali) untuk long haul gitu sampe 500 ribu Mas. 🙁

      Hahahaha. Rasanya badan udah capek, pingin tidur tapi cuma merem doang ya. Nggak tidur tidur.

      Waah. Berarti Mas Nugi lebih tua dari aku ya. Soalnya si Adit ini lebih tua dari aku Mas. 🙈

      Liked by 1 person

  2. Dari percakapan di atas, baru ngeh kalo Norwegian ini LCC, makanya aku heran mesti siap perbekalan segala walaupun di pesawat bisa nonton film.

    Sungguh luar biasa 15 jam tanpa tidur. Aku gak gampang molor tapi alhamdulillah gak sampe susah tidur juga. Kadang aku paksain karena kalau kurang tidur besoknya bisa kayak zombie, teler haha. Saat ke Eropa lalu juga begitu, 2 hari pertama jalan sempoyongan karena jetlag.

    Aku ngakak di bagian salah nunggu depan lift. Untung ya jalan sama temen yang kayaknya udah maklum hal-hal begitu hwhw. Dan, aku kalau jalan sama temen juga pake sistem bendahara gitu. Setiap satu-dua hari sekali itung-itungan hwhwhw, termasuk pas jalan sama adek sendiri 😀

    Liked by 1 person

    1. Heheheh iya Mas. Bagasinya aja 800 ribu. 😭

      Dulu pas ke Jepang, pas perjalanan pulang ketiduran Mas Yan. Beneran nikmat duniawi itu. Hahahaha. Nah, untungnya kami nyampe sana malem Mas. Jadi langsung tidur, pagi habis ngopi udah bisa badan diajak jalan.

      Iya Mas. Lebih nyaman, nggak bentar bentar itung itungan.

      Like

  3. Wahahaha dramanya yaaa receh tapi seru banget! Baru perjalanan pertama lho yamplooopp seruuuu!!! Ini yang seru malah ya, salah janjian, gak bisa tidur (ini kesian banget sih, aku KL – London tidur muluuu sampe ileran wkwk), ditanyain petugas imigrasi (degdegan mesti ini!), terus ketinggalan LRT dan masih sempet foto-foto hahahaha duuuuhh~~~

    Liked by 1 person

    1. Halooo Mbak Justin. Selalu ada cerita-cerita begini di tiap ngetrip ya Mbak. Tapi ya dibuat hepi aja.

      Ah enak kali itu, pesawat terbang belasan jam, tau-tau udah mau landing. Iya, temenku ini juga sampe mangap-mangap tidur terus. Sementara aku berjuang keras nggak dikit-dikit lihat jam. 😦

      Like

  4. Hanupis (hatur nuhun pisan) mas, tulisan nya keren sekali.. Banyak ilmu yg di dapat, semoga kesampain explore norwey nanti.
    Tuhan memberkati mu selalu.

    Liked by 1 person

  5. Wah udah lama bgt ga mampir ke blognya Mas Bardiq ternyata udah ada tambahan artikel trip Norway. Keren! Seru bgt planningnya.
    Terakhir komen di sini pas planning ke NZ 2018.
    Wow what a long day ya 😁 32 jam melek pst jetlagnya berasa.
    Kalau aku justru biasanya pas berangkat bisa tidur nyenyak di pesawat krn hari-hari sblmnya sibuk kelarin kerjaan dan packing sampe larut malem. Maklum saya tim packing mepeeet 😆
    Dan biasanya juga siap2 bawa antimo buat bantu biar bisa tidur.
    Oh ya aku sama temen-temen juga insyaallah pgn ke eropa tahun ini. Ga ke Norway sih tp pgn ke daerah South Tyrol. Doain lancar ya 😊

    Liked by 1 person

    1. Halo Mbak Tita! Selamat datang kembali di diary online saya. Ahahahaha.

      Untungnya sampai Bergen malam Mbak, jadi segala capek dan ngantuk yang ditahan selama 32 jam langsung terbayar tidur semaleman. Nggak bisa ngebayangin kalo landing di Bergen pagi, seharian bakal zombie mode. 😀

      Waah South Tyrol! Kirain mau ke Paris dulu Mbak, nyusulin Mas Adit. (Mohon maaf joke saya gini amat ya. Wkwkwkwk)
      Mau berangkat dari mana rencana Mbak? Aku pernah ngelirik South Tyrol, nyoba bikin itin dari Berlin. Tapi ya gitu, masih sebatas imajinasi.
      Semoga tripnya lancar ya Mbak.

      Sekali lagi terima kasih. 😀

      Like

      1. Maaf baru balas reply komennya. Baru beli tiket beberapa hari yg lalu soalnya, jadi baru bisa jawab pertanyaan mau start darimana 😄
        Kami milih start dari Milan karena memang lumayan dekat sama Dolomite. Dan alasan utamanya krn harga tiketnya termasuk yg paling murah. Kmrn dapet 5.2 PP JKT-Milan naik Emirates. Agak repot sih krn balik lg ke Milan pulangnya. Dan nekad juga sbnrnya karena temen trip lainnya blm pada beli ticket.

        Liked by 1 person

      1. iya murah makanya nekat lagsung beli, tapi dapet jatah bagasi cuma 15 kilo sih. Harus ringkas packingnya.
        Kayaknya sih meskipun nanti jadi barengan temen tapi beberapa hari tetep solo karena temen-temen cutinya lebih pendek. Niat first solo trip ke Jepang malah jadinya ke Eropa ini mah 😀

        Like

      2. Nggak sengaja baca comment ini pas lagi baca-baca tulisan sendiri. (Aku nggak narsis kan?)
        Gimana Mbak Tita, jadi tripnya ke Südtirol? Inget banget Südtirol disebut-sebut jadi daerah paling parah penyebaran pandemi pas awal-awal case tahun lalu.

        Moga-moga replyan ini masuk ke notif di emailnya Mbak Tita. 😀

        Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.